Menyingkap kembali kebrutalan PKI di sudut kelam sejarah dan politik Indonesia

29 Mei 2023, 15:22 WIB
DN Aidit dalam kampanye PKI pada Pemilu 1955. /Dok. Arsip Nasional RI

WartaBulukumba - Dalam bara situasi politik di zaman Orde Lama, Partai Komunis Indonesia (PKI) bberjalan dalam apa yang mereka sebut sebagai langkah revolusioner. Di pihak lawan-lawannya, PKI berjalan dalam langkah-langkah kejam untuk mencapai tujuan mereka.

Dalam ruang obyektifitas, dalam upaya memahami konsep dan pergerakan PKI, kita bisa menelusuri buku "37 tahun Partai Komunis Indonesia" yang ditulis oleh D. N. Aidit dan M. H. Lukman, Njoto pada tahun 1957.

Salah satu buku langka milik PKI tersebut di-digitalisasi pada 17 September 2010 oleh Jajasan Pembaruan berdasarkan buku original yang dimiliki University of California.

Baca Juga: Menyibak misteri lautan: Mermaid di antara mitos, sejarah dan penemuan arkeologi yang mengejutkan

Literatur lainnya bisa kita simak dalam "Bahan untuk Kongres Nasional ke-VI Partai Komunis Indonesia" yang berisi "surat terbuka CC PKI, rentjana tesis, rentjana perubahan program, rentjana perubahan konstitusi" yang disusun oleh  Comite Central Partai Komunis Indonesia pada tahun 1958 yang ditervitkan Depagitprop CC PKI. Buku ini di-digitalisasi pada 25 Januari 2011 berdasarkan koleksi buku original perpustakaan University of Michigan.

Jejak-jejak Berdarah PKI

Dalam keremangan malam yang gelap, segerombolan bayangan hitam mengendap-endap di sekitar masjid yang sunyi. 

Tanpa ampun, senjata api mereka menyalak dengan kejam. Bunyi letusan merobek keheningan, dan peluru-peluru menembus tubuh para jemaah yang baru saja usai sholat shubuh.

Baca Juga: Misteri manusia raksasa: Sejarah, penemuan arkeologi dan manuskrip

Serangan tanpa belas kasihan itu mengejutkan dan menakutkan. Wajah-wajah tak berdosa yang sedang menghambakan diri pada Tuhan terpapar ketakutan dan kepanikan. Namun, sebelum mereka bisa berlari menuju keselamatan, serombongan PKI itu telah menghilang seperti hantu dalam kegelapan.

Mereka yang terlibat dalam perjalanan sejarah tak akan pernah melupakan tragedi yang melanda Desa Kanigoro di Kediri, Jawa Timur, pada tahun 1965. Meskipun waktu terus berjalan, kenangan kelam itu tetap ada.

Akhyar, seorang saksi mata Tragedi Kanigoro, mengungkapkan betapa sulitnya melupakan peristiwa tersebut.

"Kami berusaha melupakannya, namun tragedi itu tetap menghantuiku hingga kini," ungkanya saat diwawancarai Antara pada Kamis, 28 September 2017 silam.

Baca Juga: Hari Ibu tanggal 22 Desember berawal dari peristiwa bersejarah ini pada 1928

Pria tersebut menceritakan dengan jelas peristiwa yang terjadi pada 19 Januari 1965. Saat itu, sekitar 100 orang anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) dari berbagai daerah di Jawa Timur berkumpul di Masjid At Taqwa setelah melaksanakan salat subuh. Tiba-tiba, segerombolan orang berpakaian hitam datang menyerang mereka.

Akhyar, yang bertugas menjaga keamanan acara tersebut, merasa tak berdaya menghadapi ribuan aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendobrak masuk ke dalam masjid dan membubarkan rapat PII tersebut. Ia dan beberapa panitia keamanan acara akhirnya ditangkap dan dibawa ke kantor kecamatan dan kantor polisi di Kras.

"Saya dan beberapa teman langsung digelandang ke kantor kecamatan dan kantor polisi yang ada di Kras. Jika kami melawan, tentu banyak korban jiwa di pihak kami," kenangnya.

Beruntung, sebagai tetangga dekat dengan Suryadi, pemimpin kelompok PKI, Akhyar mengaku masih lebih beruntung dibandingkan rekan-rekannya yang mengalami penyiksaan.

Baca Juga: Wajib tahu! Inilah ciri-ciri fisik dan tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi

Akhyar menyebutkan bahwa saat itu PKI telah menguasai seluruh wilayah Kediri, termasuk pejabat pemerintahan, kepolisian, dan tentara yang dikuasai oleh simpatisan PKI. Di Desa Kanigoro sendiri, perbandingan antara kelompok santri seperti Akhyar dengan kelompok PKI adalah 1:25.

"Tragedi Kanigoro terjadi saat PKI sedang aktif menghabisi anggota Masyumi. Mereka melihat PII sebagai bagian dari Masyumi," urainya.

Setelah Gerakan 30 September 1965 terjadi, masyarakat Kediri berhasil melakukan serangan balik dengan melawan pengikut PKI. Desa Kanigoro menjadi tempat pembantaian anggota PKI, dan jasad mereka dikuburkan dalam sebuah galian besar yang kini dikenal sebagai Makam Parik oleh warga setempat.

Salah satu lembaran fakta sejarah suram Indonesia berada dii kegelapan politik Orde Lama saat Partai Komunis Indonesia (PKI) masih menjadi parpol resmi yang diakui rezim Sukarno.

Baca Juga: Menuju Armageddon: Buya Arrazy ungkap sosok Imam Mahdi sudah ada di tengah-tengah kita!

Gerakan 30 September 1965

 

Dalam buku "The September 30th Movement and Suharto's Coup D'Etat in Indonesia"  yang ditulis oleh John Roosa 2006 University of Wisconsin Press, diuraikan detil  dengan pendekatan berbeda, bahwa pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September menculik dan mengeksekusi enam jenderal Angkatan Darat Indonesia, termasuk panglima tertingginya.

Buku itu menguraikan, klompok tersebut mengklaim bahwa mereka mencoba untuk mencegah kudeta, tetapi dengan cepat dikalahkan karena jenderal senior yang masih hidup, Haji Mohammad Suharto, mengusir para partisan G-30-S dari Jakarta.

John Roosa menuliskan, mengendarai puncak kekerasan massal, Suharto menyalahkan Partai Komunis Indonesia sebagai dalang gerakan tersebut dan menggunakan keadaan darurat sebagai dalih untuk secara bertahap mengikis kekuasaan Presiden Sukarno dan menempatkan dirinya sebagai penguasa.

Baca Juga: Misteri peradaban maju Tartarian yang hilang! Bangsa raksasa berteknologi canggih yang melampaui zaman modern?

Salah satu yang masih menjadi perdebatan tentu saja adalah bagian yang menyebutkan bahwa suharto memenjarakan dan membunuh ratusan ribu orang yang diduga komunis selama setahun berikutnya.

John Roosa menyebutkan, Suharto mengubah peristiwa 1 Oktober 1965 menjadi peristiwa sentral Indonesia modern.

Dari pendekatan yangberbeda, buku "Sastra dan Politik - representasi tragedi 1965 dalam negara Orde Baru" yang ditulis oleh Yoseph Yapi dan diterbitkan Sanata Dharma University Press Taum pada 2015 , memperlihatkan ketegangan dan dinamika hubungan antara sastra dan politik melalui kajian yang cermat terhadap representasi tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru

Baca Juga: Lingkaran misteri Atlantis di antara mitos dan sains

Keganasan PKI Sebelum Gestapu

Pada tahun 1948, di Kabupaten Magetan, Jawa Timur juga terjadi pembantaian pejuang, ulama, dan tokoh masyarakat oleh orang-orang PKI. Salah satu yang menjadi incaran PKI adalah Pondok Pesantren Cokrokoptopati Ibnu Sabil Takeran, Magetan.

Pesantren Ibnu Sabil Takeran dikenal sebagai basis Partai Masyumi. Di sana pula para tokoh-tokoh Masyumi, para ulama besar dan kaum santri biasa berkumpul.

Semua tragedi itu kini dapat disaksikan melalui Monumen Soco yang terletak di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Magetan. Monumen itu menjadi simbol sejarah kebrutalan PKI terhadap warga Magetan. Tepat di bawah monumen itulah, dulunya mayat-mayat korban pembantaian PKI dari kalangan ulama dan santri dibuang.

PKI menciduk para ulama untuk kemudian dibunuh. Misalnya saja dengan membujuk, merayu hingga menangkap mengatasnamakan pemerintah. Ulama yang terciduk itu kemudian digiring ke sebuah sumur hingga kemudian dihabisi nyawanya.

Di Monumen Soco terdapat bukti gerbong maut dan sumur yang digunakan untuk mengangkut dan membuang ratusan korban. Salah satu gerbong yang dulunya digunakan untuk mengangkut tebu dan hasil gula itu kini diletakkan sebagai bukti sejarah. Bekas sumur yang dijadikan tempat pembuangan sudah ditutup dan di atasnya dibangun sejenis tugu kecil.

Di dekat sumur itu juga dibangun prasasti nama-nama korban pembataian PKI. Di sumur itu ditemukan tak kurang dari 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang diantaranya dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal.

Di antara nama-nama yang tertera di monumen Soca itu adalah pimpinan Pondok Pesantren ath-Thohirin Mojopurno Magetan, KH. Sulaiman Zuhdi. Beliau merupakan salah seorang kiyai yang tidak hanya pandai dalam bidang agama, namun juga sebagai pengamal tarekat Naqsyabandiyyah-Khalidiyyah. Dia juga mampu menciptakan tenaga pembangkit listrik bertenaga air pada 1938, membuat pabrik rokok, membuat pabrik kain tenun (tekstil), dan menyamak kulit hewan.

Menurut Kiai Sulaiman,  yang juga dikenal sebagai pejuang gigih kemerdekaan di barisan tentara Hizbullah dijelaskan bahwa,  dia merupakan salah satu komandan dan panutan dalam kesatuannya yang berkedudukan di Mojokerto. Disamping itu, Kiai Sulaiman sangat dikenal oleh masyarakat Magetan sebagai pemimpin yang disegani.

Pada masa kemerdekaan, Kiai Sulaiman kemudian menjadi penasehat Bupati Magetan, Sudibjo. Namun, keduanya akhirnya meninggal dunia pada 1948 September karena keganasan PKI ketika melakukan petualangan politik di Madiun, yang dikenal dengan Madiun Affair. Selain Kiai Sulaiman, beberapa nama lain yang menjadi korban pembantaian PKI di Desa Soco adalah Jaksa R Moerti, Kiai Muhammad Suhud yang merupakan ayah mantan Ketua DPR/MPR Kharis Suhud, Kapten Sumarno dan beberapa pejabat pemerintah lainnya.

Selain Monumen Soca, ada juga Monumen Keganasan PKI yang terletak di Rejosari, Kawedanan, Magetan, Jawa Timur. Di sana terpacak 26 nama korban pembataian PKI. Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis K. H. Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, Madiun.

Kiai Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut, setelah disiksa berkali-kali oleh kelompok PKI yang biadap dan tidak berperikemanusiaan. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam sumur, Kiai Shofwan sempat mengumandangkan azan. Selan itu, dua orang putra Kiai Shofwan, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani juga menjadi korban keganasan PKI dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.

Pondok Modern Gontor

Sejak tanggal 18 September 1948, Muso memproklamirkan negara Soviet Indonesia di Madiun. Setelah Magetan, Ponorogo juga menjadi sasaran berikutnya. Kiai di Pondok Takeran Magetan sudah dihabisi oleh PKI. Sekitar 168 orang tewas dikubur hidup-hidup.

Kemudian PKI bergeser ke Ponorogo dengan sasaran Pondok Modern Darussalam Gontor. Di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, keadaan yang semula tenang menjadi penuh kekhawatiran. Meskipun jarak antara Gontor dan Madiun terpaut sekitar 40 kilometer, semua peristiwa itu membuat para santri resah. Mereka khawatir akan menjadi korban situasi yang tidak menguntungkan itu.

Sebagian santri kemudian ada yang minta izin pulang, khususnya mereka yang bertempat tinggal tidak jauh dari pondok. Sementara itu yang lain masih banyak yang tetap tinggal di dalam pondok.

Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Ahmad Sahal sebagai pimpinan Pondok Pesantren Gontor mencoba bersikap tenang sambil berpikir tentang langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengatisipasi keadaan tersebut.

Ahmad Sahal dan KH. Imam Zarkasyi, kemudian bermusyawarah dengan beberapa santri seniornya, seperti Ghozali Anwar dan Shoiman Lukmanul Hakim. Dari musyawarah itu lalu ditetapkan bahwa melawan pemberontak sesuatu yang tidak mungkin.

Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah menyelamatkan diri dari para pemberontak dengan cara mengungsi.

Dalam buku berjudul: “Dari Gontor Merintis Pesantren Modern”, dijelaskan bahwa untuk menjaga pondok selama pengungsian berlangsung sekaligus menghadapi PKI jika sewaktu-waktu datang , secara khusus kedua kiai tersebut menugaskan santrinya, Shoiman untuk menjaga Pondok Modern Darussalam Gontor selama kiai mengungsi.

Selain itu, muballigh Alumni Gontor, Ahmad Ghozali Fadli dalam tulisannya menjelaskan bahwa, setelah santri-santri mengungsi, akhirnya para PKI betul-betul datang.

Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh pondok Gontor. Mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari gedeg bambu dirusak.

Buku-buku santri juga dibakar habis. Peci dan baju-baju santri yang tidak terbawa juga mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku.

Termasuk beberapa kitab suci Al Quran mereka injak dan bakar. Aksi sepihak yang dilancarkan oleh kelompok PKI dalam bentuk kekerasan dan pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945, ternyata masih berlanjut dan muncul ke permukaan sejak 1960. Meletusnya aksi Gerakan 30 September 1965  menjadi antiklimaks.

Sejarah selalu menampilkan perulangan di zaman yang berbeda. Sangat logis jika Suharto di era Orde Baru mengingatkan bahaya laten PKI.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler