Sejarah syiar Islam pertama kali berpendar di utara Bulukumba: Jejak Guru Assing dari Enrekang ke Bingkarongo

- 5 Juli 2023, 05:00 WIB
Ilustrasi - Sejarah Bulukumba dari pinggir: Menelusuri cahaya syiar Islam pertama kali berpendar di Rilau Ale masa silam
Ilustrasi - Sejarah Bulukumba dari pinggir: Menelusuri cahaya syiar Islam pertama kali berpendar di Rilau Ale masa silam /Unsplash

WartaBulukumba - Lekuk liuk sejarah parsial Bulukumba sangat menarik ditelusuri di  kawasan  bagian utara daerah ini. Diperkirakan pada pengujung abad ke 18 hingga awal abad ke 19, syiar Islam pertama kali menyemburatkan cahayanya di utara Bulukumba pada masa silam.

Di balik gemerlap cahaya perjalanan syiar Islam di Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, terjalin sejarah yang tercatat dalam narasi histori yang diperoleh dari referensi berupa tutur turun temurun dari generasi ke generasi.

Berdasarkan sejumlah sumber lisan itulah, WartaBulukumba.com kemudian mendokumentasikan dalam bentuk teks melalu artikel ini. Di masa-masa mendatang, generasi muda Bulukumba bisa memanfaatkannya sebagai salah satu rujukan penting dalam penelitian sejarah ataupun bentuk metodologi ilmiah dari disiplin ilmu lainnya yang bertautan langsung dengan Bulukumba di masa silam.

Baca Juga: Bola JabbaE, rumah tua saksi bisu pembantaian pemuda pejuang di Palampang Bulukumba

Guru Assing dari Maiwa Enrekang

Di suatu kampung kecil bernama Bingkarongo, cahaya petunjuk mengalir dari sosok ulama yang dikenal dengan nama Puang Assing yang sangat dihormati. Puang assing juga disebut Puang Guru Assing atau Guru Assing. 

Guru Assing datang dari Maiwa, Enrekang, Sulawesi Selatan, menapaki jalan berliku untuk menuntun warga setempat menuju cahaya kebenaran agama.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Guru Assing kemungkinan besar merupakan murid salah satu dari tiga ulama besar yang menyiarkan agama Islam di Ssulawesi Selatan.

Baca Juga: Melihat Bulukumba dari pinggir: Palampang 'kampung pejuang'

Murid dari Dato Patimang

Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Guru Assing merupakan murid dari Dato Patimang. Ada sumber yang menyebutkan bahwa Guru Assing merupakan murid langsung dan ada pula yang menyebutkan bukan murid langsung. Dato Patimang, menurut catatan sejarah, menyebarkan agama Islam di Kerajaan Luwu. Menilik kampung asal Guru Assing, pendapat ini dikuatkan oleh kelahirannya yakni Maiwa di Enrekang, daerah yang dekat dengan Luwu secara geografis.

Pendapat lain menyebutkan bahwa Guru Assing adalah muurid dari Dato ri Tiro. Namun pendapat ini termasuk lemah lantaran Guru Assing menurut riwayat lebih banyak mengajarkan fikih. Sedangkan Dato ri Tiro cenderung lebih ke tasawuf.

Datuk Patimang atau Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke Kerajaan Luwu, Sulawesi sejak kedatangannya pada tahun 1593 atau penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya.

Dia bersama dua orang saudaranya, yaitu Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk ri Tiro atau Dato ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa itu, dimulai dari Bontotiro, Bulukumba.

Baca Juga: Melihat Bulukumba dari jalan rusak puluhan tahun pada tiga dusun di Rilau Ale

Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis Makassar ketika itu.

Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sedangkan Datuk ri Bandang yang ahli fikih di Kerajaan Gowa dan Tallo sementara Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro, Bulukumba.

Pada awalnya Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menganut agama Islam.

Dengan hikmat dan penuh kasih, Guru Assing merawat dan mengurus masjid setempat. Suara azan yang lantang menggema di atas bumi, mengundang umat untuk berhimpun dalam ketaatan.

Baca Juga: Gerakan natural farming di Bulukumba: Cara memanfaatkan lahan pekarangan rumah ala Kepala Desa Salassae

Selain tauhid, Guru Assing mengajarkan rukun-rukun shalat, tuntunan wudhu yang benar, dan lainnya.

Namun, takdir berkata lain. sang guru melabuhkan jiwa dalam perjalanan terakhirnya, putra beliau yang bernama Baji meneruskan tongkat estafet perjuangan. Baji, yang kemudian dikenal sebagai Katte Baji, menerangi jejak langkah ayahnya dengan ketekunan dan keikhlasan.

Dia menjaga dan mengurus masjid. Seiring waktu berjalan, namanya pun terpahat dalam hati umat sebagai pemuka agama yang bijaksana. Beliau kemudian dikenal sebagai Katte Baji. Istilah 'katte' dalam bahasa Bugis berarti pemuka agama Islam atau penghulu.

Seiring berjalannya waktu, cahaya yang dipancarkan oleh Guru Assing dan Katte Baji terus menyala dalam dada umat. Jejak mereka yang tertoreh dalam sejarah syiar Islam di Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, menjadi tonggak berharga yang mengilhami generasi-generasi berikutnya.

Dengan semangat kebersamaan dan pengetahuan agama yang diperjuangkan oleh para ulama tersebut, masyarakat setempat terus menerus menghidupkan iman dan ilmu Islam. 

Menurut salah satu catatan sejarah, bahkan di kawasan Bingkarongo pernah berdiri sebuah pondok pesantren yang besar pada sekitar tahun 1940 hingga 1950-an. Salah satu sumber lisan (belum terverifikasi) menyebutkan bahwa pendiri dan pemimpin pondok pesantren tersebut adalah ayahanda dari Dr H Hakim Bohari, Sekretaris MUI Kabupaten Bulukumba. 

Baca Juga: Andi Sultan Daeng Radja rutin beribadah di sini, masjid bersejarah di Bulukumba yang didirikan Haji Kantoro

Hingga kini, anak keturunan Guru Assing banyak menetap di Kecmatan Rilau Ale, terutama di kawasan Bingkarongo dan Palampang.

Salah satu anak cucu keturunan Guru Assing adalah Pemimpin Redaksi WartaBulukumba.com, Alfian Nawawi. 

Alfian Nawawi dalam sebuah bincang-bincang dengan penulis, membenarkan bahwa Guru Assing adalah leluhurnya. 

Guru Assing adalah ayah dari Katte Baji, ayah dari neneknya, Puang Sangke.

"Jadi beliau adalah ayah dari Katte Baji. Puang Katte Baji memiliki dua anak, yaitu Puang Cahu dan Puang Sangke. Nah, Puang Sangke inllah nenek saya. Puang Sangke adalah ibu dari ibunda saya, Puang Rosmani," tutur Alfian Nawawi menjelaskan silsilah dari Guru Assing.

Pernikahan Kembar 'Silang'

Katte Baji akhirnya besanan dengan Karaeng Paganti Daeng Patoro bin Petta Sompa yang datang dari Kindang.

Karaeng Paganti Daeng Patoro bin Petta Sompa memiliki dua anak, yaitu seorang putri bernama Puang Kasumang dan seorang putra bernama Puang Kanna.

Putra Katte Baji yaitu Puang Cahu dinikahkan dengan Puang Kasumang. Sedangkan putrinya yaitu Puang Sangke dinikahkan dengan Puang Kanna.

Begitulah sehingga pernikahan mereka disebut 'pernikahan kembar silang'. Artinya, dua saudara dari satu pihak keluarga dipertemukan dengan dua saudara dari pihak lainnya.

Dari Puang Cahu dan Puang Kasumang inilah lahir Puang Mona yang kemudian melahirkan banyak keturunan.

Karaeng Paganti atau dikenal juga dengan nama Petta Toro memiliki dua saudara perempuan bernama Petta Kaca Daeng Macinnong dan Puang Cani. Menurut riwayat, Puang Cani tidak pernah menikah hingga meninggal dunia.

Petta Kaca memiliki anak bernama Petta Sali. Petta Sali yang merupakan sepupu Puang Kanna dan Puang Kasumang inilah yang memiliki banyak keturunan yang tersebar di Kabupaten Bulukumba, Sinjai hingga beberapa daerah di tanah air. Petta Sali memiliki banyak anak, di antaranya yaitu Karaeng Sommeng, Karaeng Data, Karaeng Dala, Karaeng Mulli, dan Karaeng Munde.

Salah satu putri Petta Sali yaitu Karaeng Dala menikah dengan Andi Siradj, seorang pejuang kemerdekaan di Palampang yang menentang penjajahan Belanda pada masa Agresi Militer Belanda I dan II.***

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x