“Amar putusan, dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya, saat membacakan amar Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022, dikutip daru laman resmi KM di Mkri.id.
Permohonan pengujian UU Pemilu tersebut diajukan oleh Riyanto, Nono Marijono, Ibnu Rachman Jaya, Yuwono Pintadi, Demas Brian Wicaksono, dan Fahrurrozi. Para Pemohon mengujikan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terhadap UUD 1945.
Pasal-pasal yang diuji tersebut mengenai sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Baca Juga: Partai NasDem: 'Sudah saatnya Indonesia punya pemimpin kelas dunia!'
Para Pemohon pada intinya mendalilkan pemilu yang diselenggarakan dengan sistem proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
Dengan ditolaknya permohonan ini, maka Pemilu anggota DPR dan DPRD 2024 tetap menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Peran Sentral Partai Politik
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, sampai sejauh ini partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon termasuk penentuan nomor urut calon anggota legislatif.
Terlebih lagi, fakta menunjukkan sejak penyelenggaraan pemilu setelah perubahan UUD 1945, partai politik menjadi satu-satunya pintu masuk bagi warga negara yang memenuhi persyaratan untuk diajukan sebagai calon anggota DPR/DPRD.
Selain dalam proses pencalonan, peran sentral partai politik juga dapat dilacak dalam mengelola jalannya kinerja anggota DPR/DPRD yang terpilih. Dalam hal ini, partai politik memiliki kewenangan untuk sewaktu-waktu melakukan evaluasi terhadap anggotanya yang duduk di DPR/DPRD melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW) atau recall.