Tidak lama setelah itu, status Gunung Ruang meningkat drastis, dari normal menjadi waspada, lalu siaga, dan akhirnya mencapai status awas—peringatan tertinggi yang diberikan kepada sebuah gunung berapi.
Dalam sekejap, 272 kepala keluarga atau sekitar 828 jiwa mendapati diri mereka harus mengungsi, meninggalkan rumah dan kenangan mereka di balik selimut debu yang tebal.
Baca Juga: Syarat dokumen dan cara daftar CPNS 2024
Sebagian besar pengungsi, dengan cepat dan teratur, ditarik ke daratan yang lebih aman. Mereka menemukan tempat perlindungan di rumah kerabat atau di fasilitas umum yang sudah disiapkan oleh pemerintah setempat, seperti Gereja GMIST Nazareth Bahoi dan Gedung Balai Pertemuan Umum di Kecamatan Tagulandang.
Sementara itu, di kota Bitung, sebuah kapal milik KPLP bernama KN Pasatimpo telah melakukan perjalanan bolak-balik untuk memindahkan mereka yang terisolasi oleh lahar dan abu.
Wali Kota Bitung, Maurits Mantiri, dengan nada suara yang mencerminkan kepedulian dan kecemasan, mengungkapkan bagaimana kota Bitung menjadi tempat perlindungan bagi mereka yang terkena dampak langsung erupsi.
“Kami menerima warga terdampak erupsi Gunung Ruang yang dievakuasi dengan kapal KN Pasatimpo milik KPLP Bitung, total 87 orang,” ucapnya.
Kelompok terakhir ini adalah gambaran kecil dari kegigihan dan kerentanan—dewasa, lansia, bahkan balita dan bayi yang harus menghadapi kenyataan pahit bahwa pulang ke rumah mungkin masih jauh dari jangkauan.
Di luar kepanikan dan ketakutan yang mendasari evakuasi tersebut, ada pula cerita-cerita kepahlawanan sehari-hari—para dokter dan perawat dari Dinas Kesehatan Kota Bitung yang, tanpa kenal lelah, melakukan pemeriksaan kesehatan bagi semua pengungsi, memastikan bahwa tidak ada yang terlewatkan, bahwa setiap batuk atau demam tidak menjadi pintu bagi tragedi yang lebih besar.***