Namun setelah sekian lamanya dia tinggal di negeri Tiongkok timbul juga rasa rindu ke tanah kelahirannya. Suatu ketika akhirnya ia memutuskan berlayar kembali ke tanah Luwu.
Baca Juga: Melihat Bulukumba masa silam dari prosa puitis Mahrus Andis: 'Sungai Kecil di Depan Rumahku'
Rupanya dia lupa akan sumpahnya, dan dia kembali berlayar pulang dengan perahu Walengrenge dulu.
Dewata menjadi murka, menjelang perahu mendekat ke pantai Luwu, tiba-tiba perahunya pecah menjadi beberapa bagian. Pecahan perahunya terdampar di tiga tempat di Bulukumba, yaitu seluruh papan lambung perahu terdampar di Ara. Tali temali dan layarnya terdampar di Bira.
Sedangkan lunas yang ada pada haluan sampai buritan terhempas di Lemo-lemo. Oleh masyarakat setempat bagian-bagian perahu itu dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah dan kelak perahu itu dinamakan perahu Pinisi atau Penes.
Dari cerita rakyat itulah muncul ungkapan "Panre patangan’na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo-lemoa" yang artinya,”Ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan papan) dari Desa Ara, dan ahli menghaluskan dari Lemo-Lemo.
Ungkapan ini berkaitan dengan kemampuan membuat perahu yang akhirnya diwariskan turun-temurun. Para pengguna perahu pinisi yakin, bila para ahli dari ketiga daerah ini terlibat dalam pembuatan perahu, dapat dipastikan hasilnya akan sangat prima.***