Melayari asal usul Pinisi Bulukumba dari cerita rakyat 'Sawerigading'

- 16 Maret 2023, 15:56 WIB
Ilustrasi pengrajin perahu pinisi di Tanah Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba.
Ilustrasi pengrajin perahu pinisi di Tanah Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. /Dok. Arall dan kanal YouTube Delicate Channel

 

WartaBulukumba - Berlayar ke samudra sejarah, menyelami budaya juga selalu membawa serta legenda. Begitu pula halnya yang berkibar-kibar pada histori perahu Pinisi dari Bulukumba.

Salah satu catatan sejarah penting dalam perjalanan Bulukumba bahkan Indonesia adalah bahwa pada Kamis 7 Desember 2017, Pinisi resmi menjadi warisan budaya dunia UNESCO yang ditetapkan di Paris, Perancis.

UNESCO memutuskan bahwa seni pembuatan kapal Pinisi dari Bulukumba Sulawesi Selatan terpilih sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural of Humanity).

Baca Juga: Pinisi, kriya logam dan seniman muda Bulukumba ini 'melayari' pameran tunggal di Joning Art Space Yogyakarta

Menyusuri legenda perahu Pinisi di jagat folkore, perahu ini selalu ditautkan dengan sebuah cerita rakyat yang memuat kisah Sawerigading.

Legenda Sawerigading

Sawerigading, putra Mahkota kerajaan Luwu di pesisir Sulawesi Selatan baru saja pulang.

Sang Pangeran yang gagah perkasa ini baru pulang melanglang buana. Di kampung halamannya, ia justru jatuh hati pada saudara kembarnya sendiri, Watentri Abeng yang jelita. Tentu saja Sang Puteri menolak cinta terlarang ini. Raja dan Permaisuri pun murka.

Baca Juga: Asal muasal Pinisi Bulukumba dalam cerita rakyat 'Sawerigading'

Niat Sawerigading hanya akan mendatangkan petaka bagi Kerajaan  Luwu. Begituklah sehingga Sawerigading harus dilaknat. Meskipun menolak cinta terlarang Sawerigading, Watentri Abeng rupanya ikut berduka.

Walau bagaimana pun, Sawerigading adalah tetap saudara kembarnya. Untuk menghibur Sawerigading, Watenri menyuruh saudara kembarnya itu pergi ke negeri Tiongkok.

Watentri berkata, “Di negeri Tiongkok ada seorang puteri yang wajahnya sangat mirip dengan wajahku. Puteri We Cudai namanya.”

Baca Juga: Filosofi dan ritual di balik kelahiran setiap kapal Pinisi di Bulukumba

Sawerigading menerima usulan adiknya itu. Celakanya, Sawerigading tidak dapat berlayar karena kapalnya sudah tua dan rapuh. Untuk membuat sebuah kapal yang baru dan tangguh, ditunjukkanlah kepadanya pohon welengrenge, sebatang pohon milik Dewata di Mangkutu.

Pohon bertuah itu coba ditebang. Tetapi, sekuat daya diupayakan, pohon itu tidak bisa tumbang. Atas saran Wetenri Abeng, diadakanlah upacara besar-besaraan, dipimpin Iangsung oleh nenek Sawerigading, seorang sakti mandraguna.

Namun, ketika pohon bertuah itu tumbang, pohon welengrenge tetiba saja masuk ke perut bumi membawa serta nenek Sawerigading. Ajaib, sesat kemudian muncul sebuah perahu, bagai muncul dari perut bumi, megah dan indah.

Baca Juga: Baju Bodo Bugis Makassar adalah busana adat tertua di dunia? Bulukumba melengkapinya hijab dua dekade lalu

Maka berlayarlah Sawerigading denga perahu ajaib itu menuju negeri Tiongkok. Sebelum Sawerigading berlayar, sempat dia mengucapkan sumpah bahwa dia tidak akan pulang ke tanah Luwu, kecuali bila tulangnya dibawa tikus.

Singkat cerita, Sawerigading pun berhasil mempersunting Puteri We Cudai dari Tiongkok .

Namun setelah sekian lamanya dia tinggal di negeri Tiongkok timbul juga rasa rindu ke tanah kelahirannya. Suatu ketika akhirnya ia memutuskan berlayar kembali ke tanah Luwu.

Baca Juga: Melihat Bulukumba masa silam dari prosa puitis Mahrus Andis: 'Sungai Kecil di Depan Rumahku'

Rupanya dia lupa akan sumpahnya, dan dia kembali berlayar pulang dengan perahu Walengrenge dulu.

Dewata menjadi murka, menjelang perahu mendekat ke pantai Luwu, tiba-tiba perahunya pecah menjadi beberapa bagian. Pecahan perahunya terdampar di tiga tempat di Bulukumba, yaitu seluruh papan lambung perahu terdampar di Ara. Tali temali dan layarnya terdampar di Bira.

Sedangkan lunas yang ada pada haluan sampai buritan terhempas di Lemo-lemo. Oleh masyarakat setempat bagian-bagian perahu itu dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah dan kelak perahu itu dinamakan perahu Pinisi atau Penes.

Baca Juga: Menjelajahi karya dan warisan pemikiran intelektual dan sastrawan Bulukumba, Prof Andi Rasdiyanah Amir

Dari cerita rakyat itulah muncul ungkapan "Panre patangan’na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo-lemoa" yang artinya,”Ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan papan) dari Desa Ara, dan ahli menghaluskan dari Lemo-Lemo.

Ungkapan ini berkaitan dengan kemampuan membuat perahu yang akhirnya diwariskan turun-temurun. Para pengguna perahu pinisi yakin, bila para ahli dari ketiga daerah ini terlibat dalam pembuatan perahu, dapat dipastikan hasilnya akan sangat prima.***

Editor: Nurfathana S


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x