WartaBulukumba - Seperti apa puisi mampu mencegah korupsi? Budayawan yang juga sastrawan Bulukumba, Mahrus Andis pun membedahnya.
Penyair asal Bulukumba yang dikenal sangat produktif menulis buku ini beranjak ke Makassar dan 'bertukar tangkap dengan lepas' secara berlama-lama di Kafebaca, Jalan Adhyaksa No. 2 Makassar pada Sabtu malam, 12 November 2022.
Kafebaca tempat 'Meja Solusi' kerap digelar. Edisi teranyar 'Meja Solusi' adalah membincang dan membedah buku antologi puisi berjudul "Saat Berjumpa di Kertas" yang selanjutnya disingkat SBDK.
Baca Juga: Puisi-puisi sketsa sosial penyair Bulukumba Mahrus Andis
Sejumlah puisi yang telah lahir dari rahim sejumlah penyair itu dikuliti di sana.
Antologi puisi bertema anti korupsi itu memuat karya Andi Ruhban dan kawan-kawan, dibedah di Meja Solusi oleh Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT).
Buku ini berisi 89 puisi dari 47 penulis berlatar belakang profesi yang berbeda. Ada dosen, guru, karyawan, mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, wiraswasta dan peminat sastra lainnya. Para penulis berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, yaitu Sulawesi, Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTB, dan NTT.
Lantas benarkah puisi-puisi yang terhimpun di buku antologi SBDK itu puisi?
Baca Juga: Puisi empat penyair Bulukumba terpilih masuk antologi 'Wasiat Botinglangi' 100 penyair Indonesia
Mahrus Andis dalam uraiannya menjelaskan, ada sembilan tema khusus yang tersimpul menjadi satu judul buku “Saat Berjumpa di Kertas” yaitu: sabar, taat, berani, jujur, mandiri, peduli, adil, disiplin, tanggung jawab dan sederhana.
"Sebuah judul yang luar biasa, terangkai dari slogan kemanusiaan di balik kata-kata besar," lontar Mahrus Andis.
Menggenerialisir puisi-puisi di SBDK, Mahrus Andis mengakui sebahagian besar karya di dalam buku antologi ini tergolong puisi yang baik.
"Indikatornya, antara lain ide atau pesan-pesan puitik tersaji dengan verbal dan menggunakan elemen semiotika yang jelas, khususnya dari dimensi linguistik-sintaksis," ujarnya.
Baca Juga: Puisi 'Kepada Para Pengkotbah' penyair Bulukumba Andhika Mappasomba
Melalui salah satu uraian versi teks, Mahrus Andis mengatakan verbalisme ideologi penyair dan pemanfaatan dimensi sintaksis yang sangat komunikatif dapat dibaca pada puisi pertama.
Dalam Kata Pengantar antologi ini, ada La Ruhe dengan puisi berikut:
Jujur & Sederhana
Aku ini rakyat jelata
bagaimana kusiap ikuti pemimpin bangsa
jika hidupnya tak jujur tak sederhana
Aku ini jamaah umum
bagaimana kuikhlas patuhi pemimpin agama
jika hidupnya tak jujur tak sederhana
Aku ini warga biasa
bagaimana kumampu taati pemimpin negara
jika hidupnya tak jujur tak sederhana
Aku ini orang rendahan
bagaimana kuakan panuti pemimpin setempat
jika hidupnya tak jujur tak sederhana
Akan kudengar kata-katamu wahai siapapun yang mengaku pemimpin
jika hidupmu jujur dan sederhana.
(Makassar, 09 Desember 2017)
Biasanya, penulis yang sering menggunakan nama La Ruhe adalah Andi Ruhban. Dia kurator tunggal buku puisi ini.
Baca Juga: Puisi-puisi 'realitas sosial dan cinta' penyair Bulukumba Andhika Mappasomba
"Terlepas siapa La Ruhe, puisi itu cukup merepresentasi seluruh ideologi kebencian penyair terhadap musuh negara yang bernama korupsi. Dari sudut kualitas penciptaan, beberapa puisi di buku ini memiliki derajat kreativitas yang patut dipertimbangkan," ungkap Mahrus Andis.
Puisi Diafan, Gelap dan Prismatis
Ada tiga sifat puisi yang tersaji dalam buku antologi SBDK ini, yaitu Diafan, Gelap dan Prismatis.
Puisi Diafan. Puisi ini memiliki ciri bahasa yang polos, kurang memanfaatkan majas (figurative language) dan sangat mudah dipahami artinya. Hampir semua puisi di buku ini bersifat diafan.
Baca Juga: Mengulik Doel dan karya-karya seniman Bulukumba ini dalam pameran tunggal di Yogyakarta
Untuk beberapa contoh, puisi tersebut dapat dibaca pada judul: “Mari Berjanji” (Andi Anton Himawan, Semarang, hal. 20), “Sekeping Taman Surga” (Diana Arsjad, Tj. Selor, hal. 41), “Jujur” (Dina Indarsita, Medan, hal. 43), “Surat Terbuka untuk Penguasa Negara Kleptokrasi” (Heru Mugiarso, Jakarta, hal. 68).
Berikut ini, Mahrus Andis mengutip satu bait puisi “Mari Berjanji”, karya Andi Anton Himawan:
“Gemah Ripah Loh
Jinawi/Negara
makmur rakyat
sejahtera/Tanah
Indonesia tanah
surga/Adalah
cita-cita para
pujangga/
Kesejahteraan untuk
rakyat/Keadilan
sosial bagi seluruh
bangsa
… ”
(SBDK, hal.20)
Mahrus Andis pun merambah ihwal puisi gelap.
"Puisi gelap biasanya disebut juga puisi kamar. Puisi tersebut terkesan berlebihan dalam penggunaan bahasa figuratif, sifatnya simbolistik dan amat pribadi," ulasnya.
Kemudian, secara runut, Mahrus Andis membedahnya berikut ini.
Model puisi ini dapat dibaca pada beberapa judul, seperti: “Ribang Sangkakala” (Amiruddin Lallo, Takalar, hal.13-15), “Anak Kandung Matahari” (A. Wanua Tangke, Makassar, hal. 25), “Puisimu Korupsi” (Bahar Merdu, Gowa, hal. 29), dan “Sebuah Kemajemukan” (Denaar, Bantul, hal. 40).
Contoh puisi gelap dapat dibaca pada kutipan puisi berjudul “Ribang Sangkakala”, karya Amiruddin Lallo berikut ini:
“…
putik majemuk
timangan manusia/
elok berbisik di daun
kepala/duhai yang
bertarung di meja
berbunga/usaikan
ladang kerja nikmat
hari ke bulan/lelah
jakung memilin daun
duri/ini bukanlah
saga di kebun
manusia/ah,
deritaku, semisal
abdi/diri terbayang
para cukong kereta
Oktober/ingin
menanam wajahku
di pokok kelasi/
lindungi kebodohan
pintu kematian
… ”
(SBDK, hal.13-14)
Puisi gelap sering juga disebut puisi kamar karena diksi-diksi yang digunakan terlalu bersifat individual. Dengan kata lain, hanya Tuhan dan pemilik puisi yang mampu mengerti maknanya. Umumnya puisi gelap menjadi penanda lemahnya penyair mengeksploitasi unsur-unsur puitik secara baik, benar dan tepat.
Puisi Prismatis. Puisi prismatis, umumnya banyak ditulis oleh penyair yang sudah memiliki bahasa sendiri. Ciri puisi yang bersifat prismatis, kaya dengan bahasa figuratif,.
Pemilihan diksi, pengimajinasian, dan penggunaan kata konkret terpelihara cukup baik. Penggunaan simbol-simbol bahasa pun bersifat universal, mudah ditelisik melalui berbagai teori dan mengandung nilai-nilai perenungan batin.
Dalam buku antologi SBDK, beberapa puisi yang nyaris utuh bersifat prismatis dapat dilihat pada judul “Satu Kata: Lawan !” (Muhammad Amir Jaya, Makassar, hal.80), “Kata Ibu” (Muhammad Ferdhiyadi N, Makassar, hal. 85), dan “Mati Bagi Kamu” (Suradi Yasil, Makassar, hal. 99).
Sebagai contoh prismatis, kita ikuti puisi berjudul “Mati Bagi Kamu”, karya Suradi Yasil:
Mati Bagi Kamu
Seorang anak muda berambut gondrong
Masuk ke lorong waktu abad ke seratus
Dan secepat cahaya dia kembali ke abad kini
Panah mini kematian sakunya
perangkat sejuta canggih
pasti tepat ditunjuknya si koruptor
Satu milyar ke atas
Si gondrong menghadiri sidang kasasi
Dan palu berkata kamu kena lima tahun
Dan panahnya si gondrong membungkam
Koruptor itu terkulai selamanya
Sudah seribu sidang kasasi di Indonesia/Kena panah mati dari abad seratus (sama sekali tak diketahui apa penyebab matinya para koruptor satu milyar ke atas masih di ruang sidang kasasi.
(SBDK, hal.99
Membaca puisi di atas, kita menangkap nada yang misterius. Simbol-simbol bahasa seperti: anak muda berambut gondrong, abad ke seratus, panah mini kematian dan koruptor satu miliar, merupakan ungkapan semiosis yang sengaja dipilih oleh penyair. Karena itu, puisi ini boleh disebut kontemplatif dan membutuhkan pisau bedah untuk memahami makna filosofinya.
Puisi prismatis tidak harus selalu menggunakan simbol-simbol bahasa yang berat atau rumit. Sebuah puisi disebut prismatis apabila di dalamnya menawarkan nilai intensitas perenungan yang bermanfaat.
Salah satu contoh puisi prismatis yang hanya menggunakan lambang bahasa sederhana, namun berhasil mengundang pembaca untuk merenungkan isinya, yaitu dapat dibaca pada puisi berikut ini:
Seekor Ulat dalam
Buah Jambu
aku terkejut melihat seekor ulat
menggeliat dalam buah jambu
ketika aku akan memakannya
aku termenung sesaat, kupikir
mungkin ulat itu ingin berbisik
bahwa ia sama laparnya seperti aku
(Horison, 1976)
Puisi karya Mira Sato amat sederhana, baik bentuk maupun isi. Namun untuk memahami makna tersirat di balik lambang bahasa yang digunakan, pembaca dituntut merenung. Misteri ulat yang menggeliat di dalam jambu itu menyiratkan pesan kemanusiaan yang dalam. Pesan moral itulah yang ingin disampaikan penyair lewat metafora seekor ulat yang sedang lapar.
Mahrus Andis mnyimpulkan, ke-47 puisi yang terhimpun di dalam antologi SBDK mencerminkan kualitas puitika penyairnya.
"Ada proses kreatif yang lahir dari perenungan batin yang serius. Pada dimensi semiotika, keterbatasan menuangkan nilai puitika ke dalam struktur bahasa puisi cukup mempengaruhi derajat karya yang dihasilkan. Maka hadirlah puisi yang bersifat diafan (puisi auditorium), gelap (puisi kamar), dan prismatis (puisi yang memuisi)," tandasnya.
Begitulah, puisi juga memiliki wilayah perang melawan korupsi dan di sisi berbeda juga sedang bertempur melawan dirinya sendiri, yakni perlawanan untuk menjawab tanya: 'Puisikah puisi itu? Dan apakah dia memuisi?'***