Hadir memperkaya jagat sastra: 'Sepotong Tangan untuk Indonesia' lahir dari pegiat literasi Bulukumba

16 Maret 2023, 16:34 WIB
Hadir memperkaya jagat sastra: 'Sepotong Tangan untuk Indonesia' lahir dari pegiat literasi Bulukumba /Rumah Buku Bulukumba

WartaBulukumba - Menentukan sekumpulan puisi sebagai diksi-diksi yang 'memuisi' adalah wilayah kewenangan para kritikus sastra namun hadir memperkaya jagat sastra adalah kerja-kerja kebudayaan untuk semua, termasuk bagi penulis muda Bulukumba, Musakkir Basri. Seorang yang juga penyair dan sedang 'menyala'.

 

Terbit dari timur tanah air, sebuah buku antologi berjudul 'Sepotong Tangan untuk Indonesia' lahir dari tangan Musakkir Basri, yang juga dikenal sebagai salah satu pegiat literasi di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Disunting oleh Bandung Mawardi, penata letak dan sampul oleh Mas'ud, diterbitkan pada bulan Maret 2023 oleh Rumah Buku, sebuah penerbit sekaligus komunitas literasi di Bulukumba.

Baca Juga: Kolaborasi esai penggiat literasi Bulukumba dalam buku 'Sabda Teknologi'

Buku ini tentu saja akan tiba ke tangan pembacanya, dari ruang self publishing, dengan cara memesan melalui Instagram @rumah.buku_id dan toko online jaringan bahasa pada @tokopedia.

Membaca wajah buku ini, sebelum menyelami isinya yang 'sehimpun puisi', buku ini teror romantisisme. Mengumpulkan kata demi proyek kehidupan. Terlihat saat penulis memanusiakan bahasa.

Memperlihatkan diri menuju keabadian. Mengedarkan pandangan pada sudut di seberang kamus kehidupan.

Baca Juga: Buku 'Ngopi Rongg' karya mendiang wartawan senior asal Bulukumba Usdar Nawawi adalah juga nisan

Menyasar pada sepotong tangan untuk Indonesia. Seperti pada bagian tulisan tentang merawat persatuan.

Buku kecil ini sebagai kumpulan puisi Musakkir Basri dengan bahasa kesederhanaan. Beberapa di antaranya adalah pulang sebagai simbol: kembali kepada diri. Pesan tak hanya tersampaikan oleh amarah.

Tapi, adakalanya pesan tersampaikan melalui sajak agar hidup tak diam di antara kata pengulangan dan copy paste.

 

Baca Juga: Buku La Bungko Bungko, antologi cerita rakyat yang ditulis tangan ditemani pelita oleh pemuda Kajang Bulukumba

Hadirnya buku ini menunjukkan critical of thinking melalui tangan seperti pada muatan tulisan dalam setiap lembar. Setelah membacanya, saya teringat pada dalil amor fati dari Friedrich Nietzsche: “Aku tidak sekadar menerima penderitaan hidup, tapi telah mencintai penderitaan.” Buku ini bisa membawa pembaca untuk mencintai setiap keadaan dan tidak membenci setiap kejadian.

Sebagian besar dalam buku ini (sehimpun puisi) menyoal tentang gerak kehidupan manusia pada persoalan cinta, derita, dan air mata.

Sementara dari ruang kata yang diberikan kepada Musakkir Basri dalam 'Pengantar Penulis' di awal-awal buku antologi puisi ini, dia menyatakan bahwa sebuah perasaan tidak mengenakkan apabila hidup dalam suatu kerumunan manusia penuh keegoisan. Sering kepala tertusuk nafsu materi untuk melanggengkan kuasa.

Baca Juga: Buku terbaru 2021 'Hujan dan Senja yang Tak Lagi Sama', antologi prosa puitika pegiat literasi Bulukumba

"Tak tinggal diam, tangan melambai pada sepotong kata: Hidup tanpa orang dalam adalah omong kosong. Fenomena kita hari ini begitu menyeruak. Terkapar oleh luka dan terpapar cahaya kebingungan. Roda pengetahuan sering tidak mendapatkan perhatian khusus untuk menemukan diri sendiri. Istilah determinisme jadi alasan untuk tidak melakukan transaksi pengetahuan. Ini bukan perkara kecil yang dialami manusia. Penyakit determinan sudah jadi obrolan bagai makanan di atas meja: Siap untuk dilahap bersama," tulisnya.

"Orang-orang mulai berlari dan melompat dengan argumentasi paling unik. Seolah tak ada lagi pengetahuan benar selain argumentasi sendiri. Ego pengetahuan menampik kekuasaan. Kebingungan mulai menanjak. Dan kemalasan, kian meningkat di antara waktu. Kesadaran terkunci dengan cara paling serius. Cuitan modernisasi jadi kanker di atas kehidupan manusia. Kembang Indonesia mengangang dengan sapu tangan di lutut: Menandakan lelah sudah mempersiapkan diri. Kerja ekonomi tak lagi menyoal sumber daya manusia. Tapi, ekonomi kita membentuk demarkasi pada manusia. Teriakan tangan memberi isyarat, 'saatnya ekonomi jadi sajak perlawanan.' Mengitari kehidupan dengan kewarasan."

 

Dia lantas meyakinkan, buku kecil ini hadir dengan takdir menyakitkan. Beberapa kata terjebak pada tebaran nominasi.

Baca Juga: Melayari asal usul Pinisi Bulukumba dari cerita rakyat 'Sawerigading'

"Tapi, sengaja aku sampaikan agar setiap kata mencari dirinya sendiri. Tak seperti dengan realitas kita yang memiliki sapu tangan untuk menghapus setiap luka agar terlihat baik-baik saja. Barter keresahan menjemput kerja kehidupan. Berharap, semoga buku kecil ini bisa memberi warna kehidupan untuk hidup penuh lamunan," tuturnya lagi.

Namun Musakkir Basri, salah satu penulis berbakat di Bulukumba ini menghaturkan terima kasih.

"Terima kasih pada orang-orang hebat di setiap pengenalan pada kata, koma, dan tanya. Semoga kita tidak mati dengan peti keegoisan," tandasnya.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler