PP Muhammadiyah desak Presiden Jokowi cabut pernyataannya yang dapat merusak netralitas institusi kepresidenan

- 29 Januari 2024, 18:56 WIB
Jokowi makan bakso dengan Prabowo
Jokowi makan bakso dengan Prabowo /Lidiyawati Harahap/

WartaBulukumba.Com - Pada 24 Januari 2024, Presiden Jokowi, menyulut kobaran kontroversi dengan satu kalimat tajam terang benderang soal sikapnya di Pemilu 2024 yang terlontar langsung dari bibirnya.

Dalam pernyataan yang kemudian  menjadi headline di seluruh penjuru negeri, Jokowi berbicara tentang Pemilu 2024.

"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh lho memihak," kata Presiden Jokowi.

Baca Juga: Debat Cawapres 2024: Cak Imin sindir Gibran soal etika, tebakan istilah dan ijazah palsu

Sudut Pandang Normatif

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu secara tegas menyatakan bahwa "Presiden dan Wakil Presiden adalah calon dalam pemilihan umum yang tidak dapat digantikan oleh siapapun dalam pemilihan umum." Ini adalah dasar hukum yang membuat Jokowi merasa yakin bahwa dia dan para menterinya memiliki hak untuk terlibat dalam kampanye pemilu.

Namun, sebuah undang-undang tidak hanya bisa dilihat dari teksnya, tetapi juga dari semangatnya. Aktivitas kampanye bukan sekadar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, tetapi juga bagian dari pendidikan politik masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.

Tujuannya adalah agar masyarakat dapat memahami pilihan-pilihan politik yang ada, mendapatkan informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang tepat, dan akhirnya berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi.

Baca Juga: Poling online Pikiran-rakyat.com: Gimik hanya 5 persen sebagai pertimbangan dalam memilih Capres Cawapres

Pernyataan Presiden Jokowi juga mengundang pertimbangan filosofis yang mendalam. Presiden, sebagai kepala negara, adalah pemimpin seluruh rakyat. Dalam posisinya yang penuh tanggung jawab ini, dia bertanggung jawab untuk memastikan integritas pemilihan umum. Pemilu adalah momen penting di mana rakyat memilih pemimpin mereka, dan integritas proses ini harus dijaga dengan sungguh-sungguh.

Namun, apakah presiden yang aktif terlibat dalam kampanye, bahkan saat cuti, sesuai dengan filosofi kepemimpinan yang ideal? Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, seorang presiden memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan penyelenggaraan pemilu yang adil dan bersih. Dalam konteks ini, kegiatan kampanye yang aktif bisa membawa konflik kepentingan yang serius.

Pertanyaan filosofis yang muncul adalah apakah seorang presiden yang secara aktif terlibat dalam kampanye bisa dianggap netral? Dalam posisinya yang sangat penting, presiden harus berdiri di atas semua kontestan, memastikan bahwa proses pemilihan umum berjalan dengan adil dan bebas dari pengaruh eksternal. Dengan terlibat dalam kampanye, bahkan saat cuti, apakah seorang presiden bisa memenuhi kewajibannya untuk menjaga integritas pemilu?

Baca Juga: Isu pemakzulan Jokowi, Stafsus Presiden sebut hal wajar

Pernyataan Sikap Muhammadiyah

Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah merasa perlu untuk mengambil sikap atas pernyataan kontroversial ini. Dalam pernyataannya, Muhammadiyah menggarisbawahi pentingnya menjaga demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia. Mereka menyadari bahwa pernyataan Presiden Jokowi tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang normatif, tetapi juga harus dilihat dari sudut pandang filosofis, etis, dan teknis.

Melalui siaran pers, PP Muhammadiyah mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut pernyataannya yang dianggap dapat merusak netralitas institusi kepresidenan. Mereka juga meminta Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat pada hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara. Muhammadiyah berharap agar Presiden menghindari pernyataan dan tindakan yang dapat memicu fragmentasi sosial, terutama dalam konteks penyelenggaraan Pemilu yang intens.

Selain itu, Muhammadiyah meminta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitivitasnya dalam melakukan pengawasan terhadap dugaan penyalahgunaan fasilitas negara dalam mendukung salah satu kontestan Pemilu. Mereka juga menuntut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, terutama terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan salah satu kontestan.

Muhammadiyah juga mengajak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi melakukan kecurangan. Hal ini diharapkan agar MK dapat memastikan bahwa pemilu berlangsung dengan segala kesuciannya dan tidak tercemar oleh praktik-praktik yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.

Terakhir, Muhammadiyah mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan penyelenggara negara. Pengawasan ini diperlukan untuk memastikan bahwa pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas, sehingga pemimpin yang terpilih nantinya memiliki legitimasi yang kuat dan berintegritas.

Kontroversi yang dipicu oleh pernyataan Presiden Jokowi tentang keterlibatan dalam kampanye Pemilu 2024 membuka ruang untuk pertimbangan yang mendalam. Diskusi tentang hukum, filosofi, dan etika kepemimpinan adalah hal yang penting dalam memahami implikasi dari pernyataan tersebut.

Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tegas menyampaikan pandangannya dan mengajukan tuntutan yang mereka anggap penting untuk menjaga integritas pemilu. Pernyataan ini adalah panggilan untuk selalu mendorong pemimpin negara kita agar tetap berada di jalur yang benar, mematuhi prinsip-prinsip demokrasi, dan menjunjung tinggi etika dalam menjalankan tugas mereka.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah