Pulau Rempang: Antara warisan sejarah dan investasi besar

- 18 September 2023, 22:29 WIB
Polisi amankan puluhan warga pasca unjuk rasa yang berakhir ricuh di Pulau Rempang.
Polisi amankan puluhan warga pasca unjuk rasa yang berakhir ricuh di Pulau Rempang. /Instagram.com/@fraksirakyat_id

Baca Juga: Kisruh Rempang: Pengamat peringatkan kemarahan rakyat kian meluas jika pemerintah tetap lakukan penggusuran

Jacob Ereste lalu menuturkan telusur histori literatur, para penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari para Prajurit atau Lasykar Kesultanan Riau Lingga yang telah mendiami pulau tersebut sejak tahun 1720, semasa Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I. Mereka bahkan terlibat dalam perang melawan Belanda pada tahun 1782-1784.

"Generasi anak dan cucu para pejuang Kesultanan Lingga terus menempati pulau tersebut, mempertahankan warisan leluhur mereka. Penduduk Pulau Rempang yang berjumlah sekitar 5000 orang saat ini menghadapi ketidakpastian terkait dengan proyek investasi besar yang akan mengubah nasib pulau mereka," ungkap Jacob Ereste.

Konflik Investasi dan Kehidupan Masyarakat Lokal

Pada 26 Agustus 2004, lanjut Jacob Ereste, Group Pengusaha Artha Graha PT. MEG (Mega Elok Graha) memperoleh konsesi untuk membangun Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) di Pulau Rempang. Namun, proyek ini mangkrak hampir 20 tahun hingga mendapatkan investor dari China pada April 2023.

Baca Juga: Media-media asing sorot konflik Rempang: Anak-anak menjadi korban, polisi menangkapi warga

"Investor ini berencana membangun Pabrik Kaca dan Solar Panel terbesar kedua di dunia di Pulau Rempang dengan nilai investasi yang mencapai triliunan rupiah," kata Jacob Ereste.

Namun, urai Jacob Ereste lebih lanjut, perjanjian MoU yang diperbaharui antara PT. Mega Elok Graha dan pemerintah daerah, yang mencakup pengosongan tempat hunian warga Pulau Rempang, telah memicu kontroversi.

Jacob Ereste mengungkapkan, penduduk Pulau Rempang, yang telah tinggal di sana selama berabad-abad, merasa bahwa mereka memiliki hak untuk tetap tinggal di tanah kelahiran dan warisan leluhur mereka.

"Mereka tidak menolak investasi, tetapi mereka menolak untuk digusur dari tempat tinggal mereka tanpa mendapatkan kompensasi yang layak. Solidaritas datang dari berbagai penjuru negeri, karena masyarakat di tempat lain juga khawatir menghadapi situasi serupa," tuturnya.

Baca Juga: Konflik Rempang: UAS dan UAH angkat bicara, HRS juga bergerak

Halaman:

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah