Sejarah halalbihalal yang dimulai di era Presiden Soekarno

- 9 Mei 2022, 13:36 WIB
Halalbihalal jadi tradisi di setiap Lebaran
Halalbihalal jadi tradisi di setiap Lebaran /Freepik/

WartaBulukumba - Setelah Salat Ied usai maka suasana lebaran di Indonesia akrab dengan halalbihalal.

Dalam suasana lebaran, orang-orang dari jauh maupun dekat silih berganti mengetuk pintu maaf dan pintu rumah. Mereka kerabat dan sahabat maupun handai tolan.

Tradisi halalbihalal sejatinya lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif.

Baca Juga: Pancasila sebagai hikmah ada dalam Al Quran

Di dalamnya ada makna dan upaya terkait kemaslahatan bersama.

Lebaran usai, terbitlah halalbihalal dan begitu membumi semenjak masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Sejarah mencatat, tahun 1946, di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno mengundang KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) ke Istana Negara.

Baca Juga: SIM mati selama libur Lebaran bisa diperpanjang, ini rincian biayanya

KH Abdul Wahab Chasbullah dimintai pendapat oleh Presiden Soekarno ihwal cara mengatasi situasi politik Indonesia yang sedang'gaduh' saat itu.

KH Abdul Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menghelat sebuah acara silaturahim.

Berdasarkan masukan KH Abdul Wahab Chasbullah itulah kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara menghadiri silaturahim yang diberi nama halalbihalal.

Baca Juga: Heboh Deddy Corbuzier dituding beri panggung buat LGBT

Sejak saat itulah istilah halalbihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi umat Islam Indonesia pasca-lebaran hingga kini.

Sementara itu Halal Bihalal dilihat dari segi hukum fikih menurut Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah tersebut.

Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.

Dengan demikian, halalbihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi.

Prof Quraish Shihab tidak cenderung memahami kata halal dalam istilah halalbihalal dengan pengertian atau tinjauan hukum.

Sebab, pengertian hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar-sesama.

Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya.

Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.

Lalu tinjauan Qur’ani, halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan.

Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa halalbihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambung hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, dan berbuat baik secara berkelanjutan.

Pesan yang berupaya diwujudkan Kiai Wahab Chasbullah melalui tradisi halal bihalal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antar-anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara.***

Disclaimer: Artikel ini telah tayang sebelumnya di SuaraMerdeka.com berjudul "Mengenal Sejarah Halalbihalal yang Digagas KH Abdul Wahab Chasbullah".***

Editor: Muhlis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah