Viral pernikahan di bawah umur di Bulukumba, simak penjelasannya dari perspektif hukum dan Islam

- 24 Desember 2022, 14:02 WIB
Ilustrasi pernikahan
Ilustrasi pernikahan /Dewi Rahmayanti/Canva

WartaBulukumba - Pernikahan di bawah umur kembali merebak viral dan kali ini melibatkan sejoli asal Bulukumba dan Bantaeng di Sulawesi Selatan.

Berbagai kalangan terutama praktisi hukum dan pemangku kebijakan angkat bicara dan menyikapi pernikahan di bawah umur tersebut. Dua daerah jadi sorotan, Bulukumba dan Bantaeng.
 
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
 
 
Kemudian, setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Telusur literatur, persoalan pernikahan dini dalam perspektif hukum perkawinn dapat dibaca dalam buku "Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Perkawinan" yang ditulis oleh Catur Yunianto, S.H.,M.H, terbit tahun 2018.
 
Salah satu buku lainnya juga bisa Anda baca, yaitu "Hukum Pencegahan Pernikahan Dini", disusun oleh Syahrul Mustofa, S.H., M.H. diterbitkan Guepedia tahun 2019.
 
 
Dikutip dari laman Hukumonline, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 16/2019”) mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
 
 
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan sebelum laki-laki dan perempuan calon mempelai mencapai usia 19 tahun.
 
Dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini, yaitu yang calon suami/istrinya di bawah 19 tahun, pada dasarnya tidak dibolehkan oleh undang-undang.
 
 
Selain itu, bila calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun, ia harus mendapatkan izin kedua orang tua agar dapat melangsungkan pernikahan.
 
Dispensasi Umur Kawin
 
Meski pada dasarnya tidak dibolehkan, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 masih dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap ketentuan umur 19 tahun tersebut, yaitu dengan cara orang tua pihak pria dan/atau wanita meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
 
 
 
Yang dimaksud dengan alasan sangat mendesak adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan.
 
Permohonan disepensasi tersebut diajukan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam.
 
Pemberian dispensasi oleh pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
 
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, secara hukum pernikahan dini masih dimungkinkan. Namun, pernikahan tersebut tidak dapat dilakukan sembarangan dan harus memenuhi persyaratan tertentu
 

Dikutip dari laman Badilag.mahkamahagung.go.id, secara yuridis, apabila terdapat calon pengantin yang belum memenuhi batas minimal usia perkawinan, orang tua mereka dapat mengajukan permohonan ke pengadilan yang dikenal dengan istilah dispensasi kawin (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Dalam hal ini, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan dispensasi kawin.

Atas hal tersebut, setelah berlakunya usia perkawinan minimal 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, Pengadilan Agama malah ‘kebanjiran’ perkara permohonan dispensasi kawin.

Baca Juga: Misteri siluman poppo di Gunung Latimojong, Bupati Wajo terjun ke jurang saat ikuti Trail Adventure

Tentu saja ini dilema. Di satu sisi, dinaikkannya batas minimal usia menikah dimaksudkan untuk mengatasi perkawinan anak.

Akan tetapi di sisi lain, undang-undang menawarkan alternatif apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh pihak yang belum memenuhi batas minimal usia menikah. Hal tersebut semacam menambal satu lubang yang bocor, namun membiarkan lubang lainnya tetap terbuka.

Hukum pernikahan dibawah umur menurut hukum islam adalah sah asal sudah baligh, mumayyiz, bisa bertanggung jawab serta rukun dan syarat sahnya pernikahan dipenuhi.

Baca Juga: Ikuti Sumpah Pemuda, diam-diam Andi Sultan Daeng Radja berangkat dari Bulukumba ke Batavia

Jumhur atau mayoritas ulama memandang umur bukan bagian dari kriteria calon mempelai. Oleh karenanya, mereka menganggap sah perkawinan anak kecil di bawah umur.

Hal ini disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli, seperti dikutip dari laman Islam.nu.or.id berikut ini:

ولم يشترط جمهور الفقهاء لانعقاد الزواج: البلوغ والعقل، وقالوا بصحة زواج الصغير والمجنون. الصغر: أما الصغر فقال الجمهور منهم أئمة المذاهب الأربعة، بل ادعى ابن المنذر الإجماع على جواز تزويج الصغيرة من كفء

Artinya, “Mayoritas ulama tidak mensyaratkan baligh dan aqil untuk berlakunya akad nikah. Mereka berpendapat keabsahan perkawinan anak di bawah umur dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi anak di bawah umur, menurut jumhur ulama termasuk ulama empat madzhab, bahkan Ibnul Mundzir mengklaim ijmak atau konsensus ulama perihal kebolehan perkawinan anak di bawah umur yang sekufu,” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 179).

Pandangan jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah riwayat hadits yang berkenaan dengan perkawinan anak di bawah umur.

Sedangkan beberapa ulama menolak perkawinan anak di bawah umur.

Mereka mendasarkan pandangannya pada Surat An-Nisa ayat 6 yang membatasi usia perkawinan sebagai kutipan berikut ini:

المبحث الأول ـ أهلية الزوجين :يرى ابن شبرمة وأبو بكر الأصم وعثمان البتي رحمهم الله أنه لا يزوج الصغير والصغيرة حتى يبلغا، لقوله تعالى: {حتى إذا بلغوا النكاح} [النساء:6/4] فلو جاز التزويج قبل البلوغ، لم يكن لهذا فائدة، ولأنه لا حاجة بهما إلى النكاح. ورأى ابن حزم أنه يجوز تزويج الصغيرة عملاً بالآثار المروية في ذلك. أما تزويج الصغير فباطل حتى يبلغ، وإذا وقع فهو مفسوخ

Artinya, “Pembahasan pertama, kriteria calon mempelai. Ibnu Syubrumah, Abu Bakar Al-Asham, dan Ustaman Al-Bitti RA berpendapat bahwa anak kecil laki-laki dan perempuan di bawah umur tidak boleh dinikahkan sampai keduanya baligh, berdasarkan ‘Sampai mereka mencapai usia nikah,’ (Surat An-Nisa ayat 6).

Manakala perkawinan dilangsungkan sebelum mereka baligh, maka perkawinan itu pun tidak memberikan manfaat karena keduanya belum berhajat pada perkawinan.

Ibnu Hazm berpendapat bolehnya perkawinan anak kecil perempuan di bawah umur dengan dasar sejumlah riwayat hadits perihal ini.

Sedangkan akad perkawinan anak kecil laki-laki di bawah umur batal sampai anak itu benar-benar baligh. Kalau perkawinan juga dilangsungkan, maka ia harus difasakh,” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H] cetakan kedua, juz VII, halaman 179).

Dari keterangan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa ulama berbeda pendapat perihal masuk atau tidaknya umur sebagai kriteria calon mempelai. Ini yang membedakan persetujuan dan penolakan atas perkawinan anak di bawah umur.

Meskipun jumhur ulama menerima perkawinan anak di bawah umur, hanya saja kita perlu mempertimbangkan terutama masalah kesiapan psikologis dan kematangan akal pikiran calon mempelai sebelum melangkah ke jenjang perkawinan.***

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah