Aktor dan penyair Bulukumba Aspar Paturusi, setitik dari segelintir penakluk Ibu Kota                    

- 5 Mei 2022, 06:00 WIB
Aktor dan penyair Bulukumba Aspar Paturusi, setitik dari segelintir penakluk Ibu Kota                       
Aktor dan penyair Bulukumba Aspar Paturusi, setitik dari segelintir penakluk Ibu Kota                     /Dok. Aspar Paturusi

 

WartaBulukumba - Datang dari Bulukumba semasa muda dengan hasrat dan impian dalam berkesenian, Aspar Paturusi akhirnya kemudian menapaki 'jalanan keras' Ibu Kota.

Aktingnya yang gemilang menuai banyak pujian dalam banyak film nasional, di antaranya dalam film Sanrego (1971), Tragedi Bintaro (1988), Tutur Tinular (1989), Saat Kukatakan Cinta (1991), Fatahillah (1996), dan Ketika Cinta Bertasbih (2009).

Sebelum jadi aktor film ia pernah merasakan menjadi guru dan wartawan. Sedikit banyak, kedua profesi tersebut ikut memahat karakternya di kemudian hari.

Baca Juga: Muhammad Arief Saenong dan mimpi tentang museum Pinisi di Bulukumba

Dinukil dari buku "Inspiring Bulukumba" yang ditulis Alfian Nawawi, penerbit Mafazamedia, tahun 2014, pertama kali Aspar Paturusi main dalam film Latando di Tanah Toraja (1971), beralih ke dunia sinetron sejak tahun 1992.

Karena aktingnya yang gemilang dalam Anak Hilang (1992), ia mendapat Piala Vidia pemain utama pria dalam FSI (Festival Sinetron Indonesia) 1992. Di luar aktifitasnya sebagai aktor film, ia adalah penulis karya sastra seperti puisi, drama dan novel.

Bagi Aspar, berkesenian sungguh nikmat, dan karena itu Sarjana Muda Fakultas Sastra UNHAS ini  terus menjalaninya selama lebih dari empat dekade.

Baca Juga: Kepak sayap spiritual dan intelektual dari Bulukumba, Muhammad Yusuf Shandy

Karier yang panjang itu diakuinya tidak memberinya harta berlimpah, seperti bisa diharapkan pada sukses hidup seorang bankir atau wirausaha, meski benar bahwa namanya dikenal luas di kalangan sastrawan dan dramawan di Indonesia. Tapi bakatnya rupanya memang terbentuk dalam gelombang kesunyian. Dan itu memberinya sesuatu yang sangat besar, watak yang  terbentuk dalam riak besar kehidupan.

Sampai hari ini banyak seniman muda lintas genre seni di Sulawesi Selatan masih tetap “berguru” padanya. Ia memang dianggap “pinisepuh” namun selalu bersemangat dan jiwanya senantiasa muda.

Figur, karya dan kariernya adalah alasan penting untuk menjadi inspirasi bagi sebagian besar pekerja seni, khususnya di Indonesia Timur.

Baca Juga: Mochtar Pabottingi, cendekiawan nasional dari Bulukumba dalam sastra dan politik yang holistik

Dunia memang menua, dan dia tetap berkarya. Bagi Aspar Paturusi, jiwa dan dedikasi tidak boleh tergerus zaman. Baginya, berkesenian adalah konsistensi dan konsekuensi menjalani hidup. Sosoknya adalah setitik dari sedikit seniman daerah yang berhasil menaklukkan Ibukota Jakarta dan Indonesia.

Aspar Paturusi lahir di Bulukumba pada 10 April 1943. Konsisten berkesenian, hingga kini ia tetap memilih menjadi seorang teaterawan, aktor film, penyair dan novelis. Sudah tentu harus disebut bahwa ia salah satu seniman kebanggaan warga Sulawesi Selatan, satu hal yang bahkan diformalkan dengan penghargaan yang ia terima pada tahun 1978 sebagai Warga Kota Berprestasi. “Apa yang saya punya? Uang di tangan datang dan pergi begitu saja,” tuturnya tetap merendah.

Dalam banyak film dan karya sinematografi lainnya, aktingnya yang gemilang menuai banyak pujian di antaranya dalam film Sanrego (1971), Tragedi Bintaro (1988), Tutur Tinular (1989), Saat Kukatakan Cinta (1991), Fatahillah (1996), dan Ketika Cinta Bertasbih (2009).

Baca Juga: Prof Dr Mattulada cendekiawan dan tokoh sastra nasional dari Bulukumba dengan karya-karya yang mendunia

Salah satu kenangan termanis bagi Aspar adalah ketika bermain untuk film layar lebar yang terilhami kisah nyata dalam film Tragedi Bintaro arahan sutradara Buce Malawau, sebuah film yang dianggap cukup gemilang di jamannya. Kenangan lainnya yang tak terlupakan baginya ketika ia bermain di dalam produksi TVRI yang dibantu lembaga John Hopkins, “Alang-Alang” garapan Teguh Karya yang masih diingat orang sampai kini. Kebanggaannya membuncah ketika terlibat dalam beberapa sinetron arahan sutradara besar, Chaerul Umam seperti Bengkel Bang Jun. Namun, ia sempat juga merasa konyol ketika bermain dalam sinetron Pelangi Harapan produksi dari Multivision. Ternyata ia bermain sebagai hantu.

Dia ikut ambil peran film Ketika Cinta Bertasbih garapan sutradara Chaerul Umam sebagai ayah Furqon. Aktingnya dalam sinetron “Badik Titipan Ayah” (2010) yang digarap di kampung halamannya, Bulukumba menuai banyak pujian dari kritikus film.

Sejumlah naskah dramanya dan ia sutradarai sendiri antara lain Samindara yang dipentaskandi TIM tahun 1982, Perahu Nuh II pentas di TIM tahun 1985 dan Festival Istiqlal tahun 1995, serta Jihadunnafsi yang dipentaskan di Makassar tahun 1986 dan TIM tahun 1991.

Ia adalah setitik dari segelintir seniman daerah yang dengan penuh percaya diri tampil sepanggung dengan sejumlah nama besar dari pentas teater nasional. Ia bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C Noer. Bersama Teater Saja-nya Ikranegara, ia bermain di Taipei di tahun 1984, Singapura dan Malaysia di tahun 1985.

Selain bermain teater dan menulis novel humanisme ia juga sukses menulis puisi. Karya buku antologinya “Apa Kuasa Hujan” berisi 134 judul puisi yang ia tulis sejak tahun 1971 sampai tahun 2002. Ia lama menunggu untuk bisa menerbitkan kumpulan karyanya “Apa Kuasa Hujan” sebagai buku, walau begitu, ia malah menikmatinya, “Tak ada yang cuma-cuma, tak ada yang instan. Semua membutuhkan proses dan waktunya bisa sangat panjang,” kata seniman yang pernah menjadi pengasuh siaran sastra di RRI Makassar ini.

Dua buah buku kumpulan puisi Aspar Paturusi: Badik, Puisi Untukmu (Garis Warna Indonesia: 2011) dan Secangkir Harapan (Kosa Kata Kita: 2012) yang kesemuanya dibubuhi kata pengantar yang mendalam oleh Maman S. Mahayana, menegaskan sebentuk jalan dan pilihan yang telah ditempuh oleh sang penyair.

Kata pengantar yang panjang dari kedua buku ini, Maman S. Mahayana hendak mendendangkan sebuah petak untuk menunjukkan kamar sastra seorang Aspar Paturusi. Ia mengemukakan resonansi pembacaannya terhadap puisi yang kesemuanya dalam kedua antologi ini pernah disiarkan Aspar Paturusi di akun facebook pribadinya.

Dikatakan kalau puisi Aspar Paturusi hendak mengatakan sesuatu langsung pada apa yang ingin dikatakan. Karena realitas itu sudah ada. Sehingga, tak perlu menulis ‘begini’  jika ingin mengatakan ‘begitu’ .

Peristiwa itu boleh jadi apa yang dialami oleh sang penyair secara langsung  maupun yang sedang ia dengar, amati, dan diikuti perkembangannya (resonansi). Kedua dasar inilah yang mendasari Aspar Paturusi menjejali proses lahirnya sebuah puisi. Simak saja salah satu puisinya, “Tukang Koran”:

 

TUKANG KORAN

pagi sekali kabar-kabar terbaring

tukang koran terlatih melemparnya

segera kupungut sarapan pagiku

kulahap kabar seraya mereguk teh

 

tukang koran tak selalu bawa kabar baik

bahkan kini lebih banyak kabar buruk

pembaca koran sudah tahu jenisnya

dari presiden, koruptor, hakim diadili

sampai anak menganiaya ibu sendiri

 

kabar-kabar membuatku mabuk

kadang membakar emosi

menikam-nikam perasaan

meluapkan amarah

mengacaukan pikiran

melumpuhkan harapan

 

namun sehari saja tak ada kabar-kabar

tukang koran tak muncul di depan rumah

kok pagi terasa sepi

 

Jakarta, 26 Oktober 2011.

 

Usianya masih 17 tahun saat dua puisinya: "Mereka Tercinta" dan "O Anak Kemana Kau" dimuat di lembaran kebudayaan Mimbar Indonesia pada tahun 1960,  di mana  saat itu redakturnya adalah HB Jassin dan AD Donggo.

Rasa percaya dirinya semakin tumbuh kala berusia muda ketika ia kerap menjuarai lomba baca puisi yang mendorongnya untuk berani menyutradarai teman-temannya, bahkan menulis naskah drama sendiri, di samping memainkan lakon dari pengarang ternama.

Bersama perkumpulannya, Sanggar Harimau atau Ikatan Seniman Budayawan Muhamadiyah Sulawesi Selatan, ia membawakan Timadhar karya Yunan Helmy Nasution atau Fadjar Sidiq gubahan Emilia Sanoza maupun Yang Konsekuen dari B. Sularto di gedung pertunjukan di kota, atau menyuruk ke kampung-kampung di pedalaman. “Kami main di mana saja. Di gedung oke, di perkampungan ayo. Kalau tidak ada listrik, kami gunakan lampu petromaks sebagai penerang. Begitulah suasana Makassar tempo dulu,” tutur Aspar.

Rekannya sesama sutradara dari kelompok lain, seperti Rahman Arge, juga terus bergiat di dunia kesenian, termasuk penyair seperti Husni Djamaludin. Beberapa lainnya menjadi cendekiawan, seperti Mochtar Pabottingi. Mereka semua ini kini ia anggap sebagai kenangan manis: kebersamaan, dengan hasrat berkesenian yang menggebu meski tidak ada fasilitas yang cukup.

“Tak ada uang transpor seperti orang bermain teater sekarang di Jakarta. Tak ada makan, kecuali ketela goreng atau kami minum sarabba, minuman jahe hangat. Paling juga rokok yang terus mengepul,” kenang Aspar sambil terkekeh.

Ia ingin menggarisbawahi bahwa sejak awal ia sudah melihat tidak ada penghasilan yang bisa diharap dari dunia teater.

Ia menyelesaikan sekolahnya di Universitas Hasanuddin sampai tingkat sarjana muda, tetapi yang menjadi pegangannya adalah bakat dan pengalaman di bidang seni. Dan itu berarti ia sudah memilihnya sebagai jalan hidup.

Ia sulit menjawab apakah ia menyesal hijrah ke Jakarta. Satu hal yang jelas jelas, katanya, ia tidak produktif lagi menulis naskah drama. Di Makassar, melihat banyak temannya yang menganggur, ia tergugah menulis agar bisa berpentas bersama. Di Jakarta kebutuhan semacam itu tidak muncul.

Menikah dua kali, yang pertama dengan Fatima yang memberinya lima anak dan tujuh cucu. Yang kedua dengan Sulasmywati yang memberinya dua anak.

Aspar pernah menjabat Ketua Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah (ISBM) Sulawesi Selatan periode 1962-1968.

Ia juga ikut mendirikan Dewan Kesenian Makassar dan menjadi pengurus selama 18 tahun. Menjadi Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Sulawesi Selatan dan kemudian Wakil Ketua Umum PB Parfi, anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan menjadi ketua komite teater tiga periode 1990-2001.

Di sela-sela kesibukannya, ia tak pernah berhenti menulis. Dalam zaman yang begitu mudah menghubungkan manusia antar bangsa melalui jejaring sosial, ia juga dikenal sebagai salah seorang sastrawan cyber di dunia maya. Tetap berjiwa muda dan bersemangat. 

Salah satu hasilnya yang bisa dilihat adalah bahwa ia  satu dari segelintir seniman daerah yang menaklukkan ibukota. Ia mengaku tetap mengawetkan cinta dalam berkesenian.***

Editor: Nurfathana S


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah