Tradisi masyarakat Bulukumba ini sudah lama hilang setiap menjelang bulan suci Ramadhan

8 Maret 2024, 16:15 WIB
Ilustrasi - Tradisi masyarakat Bulukumba ini sudah lama hilang setiap menjelang bulan suci Ramadhan /Pexels

WartaBulukumba.Com - Menjelang bulan suci Ramadhan, sejenak kita melongok sejarah, menembus waktu ke masa silam, bertemu para petani Bulukumba di pelosok-pelosok.

Para petani di Bulukumba itu dengan wajah yang polos dan lugu meneteskan minyak pada telapak tangan sebagai simbol dari penghentian aktivitas kerja demi menghormati bulan suci Ramadhan dan berfokus pada ibadah.

Mereka mempraktikkan tradisi "appattannang minnyaq ri palaq lima", yaitu simbol mengistirahatkan rutinitas di sawah dan kebun lalu berkonsentrasi pada ibadah di bulan Ramadhan.

Baca Juga: Menyingkap tradisi 'massuro baca' suku Bugis Makassar jelang Ramadhan, termasuk di Bulukumba

Dalam denyut nadi sejarah yang mengalir di Kabupaten Bulukumba, kisah-kisah yang memeluk erat bulan Ramadhan dengan tradisi-tradisi unik ini telah terjalin selama beberapa dekade. Namun kini sudah menghilang.

Realita hilangnya tradisi meneteskan minyak ke telapak tangan diabadikan dalam catatan pada buku "Bulukumba Nol Kilometer", karya Andhika Mappasomba, sastrawan sekaligus budayawan Bulukumba.

Buku ini diterbitkan oleh Rumah Bunyi pada tahun 2020, mencatatkan dengan apik kisah-kisah Bulukumba dari berbagai masa.

Baca Juga: Mengapa komunitas adat Ammatoa Kajang di Bulukumba harus memakai pakaian hitam-hitam? Ini filosofinya

Salah satu bab dalam buku tersebut, "Tradisi Ber-Ramadhan", mengungkap cerita menarik lewat wawancara dengan Puang Harapiah, seorang warga Desa Karama, Kecamatan Rilau Ale. Cerita ini menceritakan tentang tradisi masa lampau di Bulukumba ketika bulan suci Ramadhan tiba.

Masyarakat, kebanyakan adalah petani, akan mengistirahatkan lahan dan diri mereka dari kegiatan bertani. Namun, dalam perubahan zaman, tradisi ini tampaknya telah memudar dari kehidupan masyarakat Bulukumba saat ini.

Membawa refleksi ke daerah kita masing-masing, apakah kita juga memiliki tradisi Ramadhan yang telah hilang seiring waktu? Adakah kebiasaan khas yang pernah hidup dalam ingatan kita, namun kini hanya tinggal cerita?

Baca Juga: Belajar cara merawat alam pada komunitas adat Ammatoa di Bulukumba

Rekomendasi literatur

Bagaimana memahami tradisi yang tetiba menghilang di tengah masyarakat? Buku "Culture and Change: An Introduction" karya Laura Nader, terbitan Yale University Press pada tahun 2019, agaknya bisa cukup membantu. Buku ini membawa kita menelusuri arus perubahan budaya. Nader, dengan kecakapannya, menjelaskan bagaimana tradisi masyarakat berubah, bertumbuh, dan kadang terkikis oleh ombak zaman. 

Kita juga bisa membaca "Tradition in the Twenty-First Century: Locating the Role of the Past in the Present" oleh Trevor J. Blank & Robert Glenn Howard, yang diterbitkan oleh Utah State University Press pada 2013. Blank dan Howard membahas bagaimana tradisi bertahan dan bertransformasi dalam cengkeraman zaman modern, khususnya dalam interaksi dengan teknologi. 

Ada pula buku "Globalization and Culture: Global Mélange" karya Jan Nederveen Pieterse, terbitan Rowman & Littlefield Publishers, edisi ketiga pada tahun 2019. Seperti seorang penjelajah, Pieterse mengajak kita menyelami efek globalisasi pada kebudayaan lokal. Buku ini menggali bagaimana globalisasi, layaknya gelombang besar, membawa serta pengaruh yang meresap ke dalam setiap pori-pori kebudayaan, mengubah tradisi, dan menentukan identitas budaya kita.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler