Hari Ibu tanggal 22 Desember berawal dari peristiwa bersejarah ini pada 1928

15 Mei 2023, 14:17 WIB
Hari Ibu tanggal 22 Desember berawal dari persitiwa bersejarah ini pada 1928 /Padamu.net/

WartaBulukumba - Meruah saban tanggal 22 Desember setiap tahun, Hari Ibu yang dirayakan secara nasional di Indonesia telah datang dari sejarah panjang perjuangan, pergerakan dan pengorbanan perempuan-perempuan hebat di abad ke 19.

Hari Ibu di Indonesia beranjak dari kisah-kisah perjuangan merebut kemerdekaan yang di dalamnya tersemat perempuan bersama peran-peran pentingnya, terutama dalam pergerakan di dunia pendidikan.

Hari Ibu tanggal 22 Desember diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928.

Baca Juga: Menyingkap sejarah Mother's Day 14 Mei di Amerika Serikat, ini bedanya dengan Hari Ibu di Indonesia

Kongres Perempuan Indonesia I, 22-25 Desember 1928 merupakan tonggak sejarah Gerakan Perempuan Indonesia dimana organisasi-organisasi perempuan berkumpul, membahas dan menyusun agenda perjuangan bersama untuk meningkatkan derajat dan kedudukan perempuan serta perlindungan bagi anak-anak perempuan.

Kita bisa telusuri sejarah peristiwa tersebut dalam buku "Kongres Perempuan Pertama" yang ditulis Susan Blackburn dan Monique Soesman, diterbitkan Yayasan Obor Indonesia pada 2007.

Koalisi Perempuan Indonesia menyebut Peringatan Hari Ibu sebagai Hari Pergerakan Perempuan untuk mengembalikan makna perjuangan.

Baca Juga: Inilah persamaan Mother's Day di Amerika Serikat dengan Hari Ibu di Indonesia

Tokoh tokoh besar yang terlibat dalam kesuksesan kongres perempuan pertama adalah: 

Tokoh tokoh besar yang terlibat dalam kesuksesan kongres perempuan pertama adalah sebagai berikut: R.A. Sukonto, Siti Munjiah, Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito, Sunaryati Sukemi, Raden Ayu Catharina Sukirin Harjodiningrat, Nyonya Sujatin Kartowijono, Nyi Hadjar Dewantara, Nyi Driyowongso, Nyonya Alfiah Muridan Noto, Nyonya Badiah Moerjati Goelarso, Nyonya Siti Hajinah Mawardi, Nyonya R.A. Surya Mursandi, Nyonya lsmudiyati Abdul Rachman Saleh, dan Raden Ayu Bintang Abdulkadir.

Mengutip buku "Perempuan di atas Pematang" yang ditulis Israwaty Samad, penerbit Oksana, tahun 2016, sekali waktu Koalisi Perempuan pernah menyoroti UU Desa yang telah disahkan oleh parlemen yang saat itu masih belum mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan desa. Bahkan cenderung mengabaikan peran, kedudukan dan Hak Perempuan desa.

Baca Juga: Sejarah Hari Ibu yang dirayakan setiap tanggal 22 Desember

Hal tersebut dapat dilihat dari, tidak dicantumkan UU No 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination all form Discrimination Against Women-CEDAW) dalam konsideran UU Desa. Padahal Pasal 14 CEDAW mewajibkan negara untuk memenuhi hak-hak perempuan desa.

Republik ini banyak memiliki perempuan yang begitu heroik di berbagai bidang. Banyak perempuan ditempa sejarah dan menjadi aktor aktif menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa.

Diselenggarakannya Kongres Perempuan pertama, pada 22 Desember tahun 1928 di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto Yogyakarta adalah salah satu bukti.

Para pejuang perempuan kala itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan gender.

Baca Juga: Cendekiawan dan sastrawan Bulukumba inilah rektor perempuan pertama di Indonesia Timur

Dari titik itu pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Yang lebih hebat, pemikiran dan aneka upaya penting itu terjadi jauh sebelum kemerdekaan negeri ini diraih dan jauh sebelum konsep-konsep adil gender dan feminisme dibawa oleh Barat.

Rezim Orde Baru sekali waktu pernah menggeser pemaknaan hari ibu tersebut yang diolah sedemikian rupa sehingga menancap kuat di seluruh wajah negeri ini. Benar memang tak sedikit organisasi bagi kaum Ibu yang dibentuk orde baru seperti misalnya; Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK, Dasa Wisma, dan sebagainya. Namun aktivitasnya tak lebih hanyalah mengumbar hedonisme belaka.

Memang ada saja kegiatan sosial yang dilakukan. Namun sifatnya sekedar seremonial belaka. Sementara kegiatan yang rutin justru hanya arisan, saling unjuk kecantikan, bergosip, belanja ke mall, dan seabrek aktivitas non-politis lainnya.

Baca Juga: Perempuan melamar lelaki, bolehkah dalam Hukum Islam?

Ketidakpercayaan akan kemampuan sebagai pemimpin karena perempuan di republik ini masih mengalami penghancuran identitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik dan budayanya.

Hal itu berangkat dari watak maskulinitas yang masih mengakar kuat di negeri ini. Perempuan masih didefinisikan menjadi pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, sistem yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak.”

Sejatinya di tangan pemimpin perempuan peluang untuk mengeliminasi maskulinitas kekuasaan cukup besar. Sebab perempuan identik dengan pribadi yang lemah lembut, penuh kasih dan cinta damai. Identitas tersebut selaras dengan ideologi feminisme.

Baca Juga: Sariamin Ismail, novelis perempuan pertama Indonesia tampil di Google Doodle

Para perempuan yang bersemangat dan memiliki cita-cita kemerdekaan di Indonesia mengagas dan menggelar sebuah kongres yang sangat terkenal dalam tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Hari Ibu di Indonesia dimulai dari pertemuan para pejuang wanita pada kongres perempuan tahun 1928. Kongres tersebut dihadiri oleh 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera.

Para tokoh perempuan dalam kongres tersebut merumuskan visi dan misi dalam memajukan perempuan di Indonesia. Kongres tersebut akhirnya membentuk Kongres Perempuan yang saat ini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Baca Juga: Menelusuri sejarah awal masuknya Islam ke Bulukumba, ketika tasawuf bertemu mistisisme

Pada akhir tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959 yang menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu Nasional di Indonesia.

Sejak saat itu, setiap tahunnya pada tanggal tersebut, seluruh rakyat Indonesia memperingati Hari Ibu untuk menghormati dan mengapresiasi peran serta jasa para ibu dalam membentuk karakter dan masa depan bangsa.***

Editor: Sri Ulfanita

Tags

Terkini

Terpopuler