Hari Pahlawan 10 November: Pekik 'Allahu Akbar' dan Resolusi Jihad dalam pertempuran Surabaya

10 November 2022, 06:00 WIB
Pemuda-pemuda pejuang dalam pertempuran Surabaya, 10 November 1945 /Tangkapan layar YouTube.com/@SerbaSerbi

WartaBulukumba - Para wanita pemberani merayap dalam kegelapan malam di Kota Surabaya menuju area berbahaya di garis depan di mana peluru musuh bisa menembus tubuh mereka.

"Di Surabaya, wanita-wanita Indonesia merayap di kegelapan malam menuju medan perang untuk mengevakuasi mayat-mayat rekannya," demikian ditulis Surat Kabar The Herald, 12 November 1945.

Hari Pahlawan 10 November adalah penegas bahwa Surabaya menjadi pemilik kisah-kisah pertempuran yang heroik dari masa revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga: Ikuti Sumpah Pemuda, diam-diam Andi Sultan Daeng Radja berangkat dari Bulukumba ke Batavia

"Wanita kita maju ke garis depan tanpa gentar sedikitpun juga, kalau peluru datang berdesing-desing mereka merangkak dan terus mendatangi pahlawan-pahlawan kita dengan membawa makanan sambil berkata: mari saudara, makanlah dahulu barang sebentar," demikian kesaksian Prof Osmand Raliby, wartawan Surat Kabar "Merah Putih", 15 November 1945.

Banyak ditemukan buku lainnya yang mengurai kisah-kisah heroik dalam pertempuran Surabaya dari berbagai sisi.

Mulai Resolusi Jihad, pekik 'Allahu Akbar' dalam setiap pertempuran, sosok Bung Tomo yang membakar semangat pemuda-pemuda pejuang melalui siaran radio, pekik 'merdeka atau mati', pengorbanan tak terperikan, dan cerita-cerita yang tak tertuliskan dalam sejarah.

Baca Juga: Hari Lahir Pancasila 1 Juni atau 18 Agustus?

Salah satu fakta yang tak bisa dinafikan adalah bahwa kobaran perang 10 November 1945 di Surabaya melawan tentara sekutu merupakan seruan jihad dari pimpinan NU waktu itu, KH Hasyim Asyari.

Menurut beberapa ulama, Resolusi Jihad di Surabaya 10 November 1945 memang tidak perlu ditulis dalam sejarah karena memang jihad itu ibadah, jadi tidak perlu ditulis.

Namun, media massa waktu itu seperti kantor Berita Nasional Antara memberitakan bahwa peristiwa 10 November 1945 di Surabaya merupakan peristiwa ibadah, jihad. Meskipun bertempur atas nama nasionalisme dan kibaran bendera Merah Putih.

Baca Juga: Buku ini karya asli pemikiran Qahhar Mudzakkar tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia

Buku berjudul "Pertempuran Surabaya" terbit tahun 1985, ditulis oleh Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling menegangkan yang menunjukkan semangat patriotisme tinggi rakyat Indonesia untuk membela bangsa, agama, dan negaranya.

Setidaknya 6.000 hingga 16.000 pejuang dan rakyat Indonesia gugur dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari kota Surabaya.

Korban dari tentara sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris dan India, dan Gurkha kira-kira sejumlah 600 hingga 2000 tentara.

Baca Juga: Menyibak Bulukumba Toa 1900-1911 dari catatan antropolog Belanda BF Matthes

Pertempuran berbesar di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan.

Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan hingga sekarang.

Kejadian ini juga dibahas dalam komentar Ricklefs pada bukunya yang berjudul "A History of Modern Indonesia Since C.1200" yang menyatakan bahwa pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling sering sepanjang masa revolusi.

Baca Juga: Sepuluh Fakta unik dan istimewa tentang Soekarno

Pihak Inggris sebagai bagian dari pertempuran ini memandang pertempuran Surabaya tersebut sebagai laksana inferno atau neraka.

Hal ini disebabkan rencana Inggris yang ingin menguasai Surabaya menjadi terlambat dua hari dari target waktunya yaitu tanggal 26 November yang disebabkan kegigihan para pejuang Indonesia yang keukeuh bertahan di Surabaya.

Meskipun pada akhirnya Surabaya secara keseluruhan tetap jatuh ke tangan tentara Inggris, pertempuran Surabaya telah mengubah cara pandang atau perspektif bangsa Inggris dan juga Belanda terhadap Indonesia.

Baca Juga: Sidang BPUPKI dan kronologi sejarah Piagam Jakarta

Inggris menjadi lebih mempertegas posisi serta kedudukannya sebagai pihak yang netral dan tidak perlu untuk mendukung Belanda.

Selain itu, Belanda yang pada awalnya meremehkan semangat Indonesia mulai menyadari dan melihat perjuangan para pejuang yang ada dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pertempuran Surabaya juga tercatat dalam sejarah sebagai perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Ketika pasukan Sekutu mendarat pada akhir Oktober 1945, Surabaya digambarkan sebagai "benteng bersatu yang kuat di bawah Pemuda".

Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah komandan pasukan Britania, Brigadir A. W. S. Mallaby tewas dalam baku tembak.

Pasukan Inggris melakukan serangan balasan punitif pada 10 November 1945 dengan bantuan pesawat tempur. Mereka merebut sebagian besar kota dalam tiga hari, pasukan Republik yang minim senjata melawan selama tiga pekan. 

Kilas balik ke tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian pada tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Kekaisaran Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati.

Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Pulau Jawa dan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

Tiga tahun kemudian, 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah Amerika Serikat menhatuhkan bom atom di Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945.

Soekarno-Hatta didesak oleh sekelompok pemuda  yang dipimpin Sukarni Kartodiwiryo, untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan para pemuda terpaksa harus menculik Soekarno dan membawanya ke Rengasdengklok.

Jepang sudah kalah. Di mana-mana rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Meletus berbagai pertempuran-pertempuran yang memakan korban di berbagai wilayah di Indonesia. 

Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, pada 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945.

Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya.

Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. 

Netherlands Indies Civil Administration (NICA) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris. 

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya.

Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru atau  Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jalan Tunjungan no. 65 Surabaya.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.

Keesokan paginya para pemuda Surabaya menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasaan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih di Surabaya.

Massa lalu berdatangan ke Hotel Yamato. Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono.

Residen Soedirman berunding dengan Mr. Ploegman beserta kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.

Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda. Perundingan berlangsung memanas. Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.

Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris.

Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan situasi.

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.

Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30.

Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.

Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya baku tembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya. Terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.

Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris murka. Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Ultimatum disebarkan melalui pamflet udara oleh tentara Inggris membuat rakyat Surabaya sangat marah.

Nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata. 

Pertemuan pemuda dan kelompok bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan mengangkat Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sini, muncul semboyan "merdeka atau mati".

Bung Tomo di Surabaya menjadi salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati.  Pada 1944, ia terpilih menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru dan pengurus Pemuda Republik Indonesia di Surabaya yang disponsori Jepang. Bisa dibilang, inilah titik awal keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November.
 
Dengan posisinya itu, bung Tomo bisa mendapatkan akses radio yang lantas berperan besar untuk menyiarkan orasi-orasinya yang membakar semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan Indonesia. Terlebih, sejak 12 Oktober 1945 Bung Tomo juga memimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya.

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi pada tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.

Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan sengit dari pasukan dan milisi Indonesia.

Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan.

Pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai atau ulama sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot dari hari ke hari.

Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran Surabaya mencapai waktu sekitar tiga pekan.

Dengan pekik 'Allahu Akbar' dan semangat Resolusi Jihad itulah, maka pertempuran Surabaya meletus dengan begitu sengit.***

 

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler