Mengulik fakta sejarah Fatmawati Soekarno dan hubungannya dengan pergerakan Muhammadiyah

18 Agustus 2021, 11:17 WIB
Mesin jahit yang digunakan menjahit bendera pusaka saat ini tersimpan di rumah Fatmawati di Bengkulu. /Instagram.com/@sejarahbangsa

WartaBulukumba - Sosok Fatmawati dalam sejarah begitu meruah.

Bukan hanya karena berbagai kisahnya mendampingi perjuangan Soekarno, sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Lebih dari itu, kisah perjuangan Fatmawati tak lepas dari andilnya dalam pergerakan Muhammadiyah di Indonesia.

Dari pernikahannya dengan Soekarno, Fatmawati dikaruniai lima anak, tiga diantaranya adalah perempuan yakni Megawati Soekarno Putri, Rachmawati Soekarno Putri dan Soekmawati.

Baca Juga: Snowdrop dan kontroversinya lantaran distorsi sejarah

Fatmawati dikenang dalam sejarah sebagai sosok yang berjasa dalam menjahit Sang Saka, bendera Merah Putih pertama Republik Indonesia.

Saat usia kandungan anak pertamanya, Muhammad Guntur Soekarno Putra, berusia sembilan bulan antara Oktober-November tahun 1944, seorang perwira Jepang datang ke rumahnya membawa dua macam kain sesuai warna bendera Jepang, merah dan putih, yang di kemudian hari ia jahit sebagai bendera yang kelak dikenal sebagai bendera Indonesia.

Dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Fatmawati, Soekarno dan Muhammad Guntur Soekarno Putra yang masih bayi diamankan oleh para pemuda selama dua hari di Rengasdeklok.

Baca Juga: Merah Putih berkibar di kawasan jejak abrasi Luppung Manyampa

Bendera yang dijahit oleh Fatmawati lebih dari delapan bulan sebelumnya akhirnya dikibarkan untuk pertama kali diiringi lagu Indonesia Raya karya W.S Supratman.

Fatmawati adalah juga seorang ibu negara yang sangat tangguh mendampingi gerak perjuangan sang suami, Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia Soekarno.

Terutama dalam masa-masa sulit di alam penjajahan Jepang, masa revolusi merebut kemerdekaan, hingga mempertahankan kemerdekaan di bawah serangan Agresi Militer Belanda 1 dan 2.

Baca Juga: Lirik lagu optimistik Red Velvet 'Queendom' lengkap dengan terjemahan Bahasa Indonesia

Salim dan Hardiansyah melalui buku Napak Tilas Jejak Muhammadiyah Bengkulu (2019) mencatat secara kronik, jejak kultural dakwah progresif yang kelak menjadi cikal bakal Muhammadiyah telah sampai di Bengkulu pada 1915 oleh para pendakwah Islam dari Minangkabau.

Ketika Fatmawati lahir pada 5 Februari 1923, Muhammadiyah belum memiliki cabang resmi di luar Jawa. Tetapi, antara tahun tersebut hingga 1925 saat kedatangan pendiri Sarekat Ambon Alexander Jacob Patty di Bengkulu untuk menjalani masa pembuangannya, ditengarai sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi pergerakan di Bengkulu.

Dalam otobiografi Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1985) Muhammadiyah ketika itu langsung memanfaatkan kehadiran AJ Patty untuk turut berkiprah dalam pengembangan pendidikan Muhammadiyah.

Baca Juga: Alhamdulillah, Inayah bocah tanpa anus dari Bulukumba sudah dioperasi

Suasana tanah air pada 1923-1930 yang subur oleh pergerakan nasional membuat Hassandin tidak berpikir panjang untuk keluar dari zona nyaman menjadi pegawai Borsumy dan memulai hidup dengan pendapatan tak menentu atas keputusannya untuk tetap berkhidmat pada Muhammadiyah sebagai jalur perjuangan kemerdekaan.

ibunda Fatmawati, yakni Siti Jubaidah pun dikenal aktif di dalam ‘Aisyiyah dalam bidang pendidikan yakni memberikan ketrampilan atau mengajar baca tulis.

Saat Fatmawati menginjak usia remaja, baik Hassandin maupun Siti Jubaidah telah menjabat sebagai konsul Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Tidak heran, Fatmawati selalu dilibatkan dalam konferensi Muhammadiyah yang digelar setiap tahun untuk menyanyi atau membaca Al-Qur’an.

Baca Juga: Protes, umbul-umbul hitam meriahkan HUT Kemerdekaan RI ke-76 di Luwu Utara

Saat Bung Karno diasingkan di Bengkulu bersama istrinya Inggit Garnasih pada 1938, Fatmawati yang terpaksa berhenti sekolah dasar tingkat 5 tetap giat dalam organisasi Nasyi’atul ‘Aisyiyah.

Saat Fatmawati menginjak usia 17 tahun, Soekarno memberanikan diri melamar Fatmawati. Soekarno beralasan 18 tahun pernikahannya bersama Inggit tidak kunjung memberikan keturunan sementara Ibunda Soekarno yang telah berusia senja di Blitar terus menanyakan kapan bisa memiliki cucu.

Mendengar lamaran Soekarno, Fatmawati menjawab bahwa sebagai perempuan Muhammadiyah, Fatmawati tidak mau dipoligami.

Baca Juga: Niat Puasa Tasua dan Puasa Asyura, tata cara dan keutamaannya

Atas alasan tersebut, Soekarno harus bersabar selama tiga tahun untuk menceraikan Inggit Ganarsih secara baik-baik dengan bantuan para sahabatnya terutama Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, pengurus pusat Muhammadiyah Kiai Mas Mansyur hingga tokoh Muhammadiyah Bengkulu Oey Tjeng Hien.

Setelah urusan dengan Inggit selesai, pada tahun 1943 pernikahan melalui wali pun dilaksanakan antara Fatmawati yang berada di Bengkulu dengan Soekarno yang berada di Jakarta.

Pasca kelahiran anak kelimanya, Fatmawati berpisah dengan Soekarno. Peristiwa itu dipicu oleh berita tentang Soekarno yang hendak meminang Hartini.

Baca Juga: Pidato kenegaraan tak singgung jumlah korban jiwa Covid-19, Dosen UIN sindir Jokowi

Fatmawati tetap teguh pada prinsipnya bahwa perempuan Muhammadiyah tidak mau dipoligami.

Setelah berpisah dengan Soekarno, Fatmawati tetap berkiprah bagi pengembangan dakwah Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. 

Pada 4 November 2000 Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid melalui Keppres Nomor 118/TK/2000 menetapkan Fatmawati sebagai Pahlawan Nasional.***

 

Editor: Nurfathana S

Sumber: Muhammadiyah.or.id

Tags

Terkini

Terpopuler