WartaBulukumba.Com - Langit di atas dua markas pasukan IDF berubah menjadi kanvas abu-abu pekat, diterangi oleh kilat ledakan yang mengejutkan. Brigade Mujahidin melancarkan serangan taktis terhadap dua markas komando pasukan penjajah 'Israel, "Raim" dan Batalyon 1 di Brigade Selatan, "Kissufim".
Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, seorang tentara Zionis ditemukan tak bernyawa, bukan karena luka fisik, melainkan trauma psikologis yang menggerogoti jiwanya, berujung bunuh diri. Sebuah cerminan nyata dari semua yang ia saksikan pada tanggal 7 Oktober.
Sebuah video yang dirilis Brigade Mujahidin memperlihatkan peluncuran roket mereka, sebuah gambaran pertempuran yang nyaris tanpa jeda.
Baca Juga: Krisis air bersih warga Gaza terpaksa minum air kotor
Bara di Tepi Barat
Sementara itu, Taufan Al Aqsa juga terus membara di Tepi Barat, yang merekam 16 insiden dalam 24 jam terakhir.
Di Ramallah, Turmus Aya menyaksikan bentrokan batu dan kata-kata dengan penduduk ilegal, sementara Kafrayn dikejutkan oleh deru demonstrasi.
Nablus, dengan Deir Sharaf sebagai episentrum penembakan, mengalami hari yang panjang dan penuh luka. Menjadi ajang bentrokan, lemparan batu, dan kerusakan alat militer.
Baca Juga: Serdadu penjajah 'Israel' yang cacat permanen akibat perang di Gaza bisa mencapai 30 ribu orang
Di Odla dan Cyrenaica, batu-batu terbang menemui batu, suara bentrokan bergema.
Di Tulkarm, kamp Nour Shams berubah menjadi medan pertempuran bersenjata, diselingi teriakan demonstrasi. Tulkarm kota tidak luput dari kekacauan bersenjata.
Betlehem dan Hebron, khususnya di Kamp Aida dan kota Hebron, tak lepas dari irama lemparan batu.
Baca Juga: Gaza: Narasi kesedihan dan kekuatan rakyat Palestina di tengah puing
Korban tak hanya di medan perang, tetapi juga di koridor-koridor pendidikan. Sebanyak 395 sekolah dan universitas berubah menjadi reruntuhan, 4895 pelajar Palestina kehilangan nyawa.
Sebanyak 94 akademisi menjadi syahid, dan 227 kader pendidikan tak lagi dapat memberikan ilmu dan asa.
Tragisnya, 625.000 pelajar harus menangguhkan mimpi mereka, sementara 133 sekolah kini menjadi tempat pengungsian, bukan tempat belajar.***