Redenominasi, sanering dan devaluasi tak mampu menjamah dinar dan dirham! Alternatif ekonomi global?

- 5 Juli 2023, 17:05 WIB
Ilustrasi dinar dan dirham.
Ilustrasi dinar dan dirham. /Pixabay

WartaBulukumba - Redenominasi, sanering dan devaluasi tak mampu menjamah dinar dan diham! Inikah alat tukar alternatif ekonomi global? 

Pada 2021 lalu, Indonesia pernah disibukkan dengan kegaduhan polemik tentang dua mata uang bernama dinar dan dirham. Terutama, ketika laporan transaksi bermunculan dari Pasar Muamalah di berbagai kota seperti Depok, Bekasi, Jawa Barat, dan DIY Yogyakarta yang menggunakan Dinar dan Dirham sebagai alat tukar.

Kehadiran dinar dan dirham ini mengundang perhatian tajam dari Bank Indonesia yang tak segan menegaskan bahwa Rupiah tetap menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah di negeri ini.

Baca Juga: Redenominasi rupiah! Ekonomi Orde Lama pernah gagal menerapkannya?

Redenominasi Rupiah adalah Bukti Inflasi Kronis?

Mengutip pendapat Zaim Saiidi, Direktur Wakala Induk Nusantara, di laman Wakalanusantara.com/  13 Februari 2013, munculnya gagasan untuk rekalibrasi rupiah dengan cara redenominasi rupiah melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis. Tetapi bagi masyarakat umum apakah ada perbedaan implikasinya antara sanering, devaluasi, dan redenominasi?

Dia menegaskan, secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya. Ketiganya hanya bermakna bahwa mata uang rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Arti kongkritnya adalah masyarakat yang memegang rupiah semakin hari semakin miskin.

Tidak ada bedanya apakah rupiah itu diberi lima angka 0 (Rp 100.000) ataukah digunduli hanya dengan dua angka 0 (Rp 100) hasil redenominasi. 

Baca Juga: Redenominasi rupiah: Siap-siap penggantian tiga angka nol, Rp1000 jadi Rp1

Sejarah Dinar dan Dirham

Mengutip Deutsche Welle, dalam artikel yang ditulis Monique Rijkers berjudul "Peluang Transaksi Syariah dengan Dinar dan Dirham" pada 21 November 2020, , meski dinar dan dirham diklaim sebagai mata uang Islam sesungguhnya dalam teks kitab suci umat Yahudi dan Kristen sudah muncul penggunaan mata uang dinar dan dirham. Islam lahir di tahun 610 Masehi, 40 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Keberadaan Islam sebagai sebuah agama bisa dibilang baru muncul setelah Yahudi dan Kristen eksis di Timur Tengah.

Saat hendak membangun Bait Suci, tempat ibadah umat Yahudi pada tahun 970 Sebelum Masehi, bangsa Israel memberikan sumbangan berupa uang, emas, perak atau permata.

Menurut Kitab 1 Tawarikh 29:6-8 tertulis: “Lalu para kepala puak dan para kepala suku Israel dan para kepala pasukan seribu dan pasukan seratus dan para pemimpin pekerjaan untuk raja menyatakan kerelaannya. Mereka menyerahkan untuk ibadah di rumah Allah lima ribu talenta emas dan sepuluh ribu dirham, sepuluh ribu talenta perak dan delapan belas ribu talenta tembaga serta seratus ribu talenta besi.” 

Baca Juga: 10 mata uang terendah di dunia! Rupiah Indonesia di urutan ke berapa?

Di masa Romawi berkuasa di Israel, mata uang yang digunakan juga dirham dan dinar. Yesus dan murid-murid dikisahkan harus membayar bea untuk Bait Suci.

Dalam Kitab Matius 17:24 tertulis: Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?" Lalu pada saat orang banyak mengikuti Yesus, Yesus ingin memberi makan namun tidak ada makanan. Kitab Yohanes 6:7 tertulis, “Jawab Filipus kepada-Nya: "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja." Inilah yang memunculkan kisah lima roti dan dua ikan.  

Sedangkan merujuk pada sejarah Islam, dinar dan dirham diakui digunakan oleh Romawi dan Persia, bukan oleh orang Yahudi. Dari koleksi koin masa Islam milik Museum Inggris di London bisa diketahui gambar dan tulisan pada koin yang meniru bangsa-bangsa di wilayah yang ditaklukkan oleh Arab. Contoh yang ada misalnya dua koin dinar emas yang dicetak di Damaskus, Suriah tahun 690 Masehi.

Koin yang termasuk koin tertua ini meniru koin emas Kaisar Byzantium Heraklius (610-641 Masehi) dan kemudian menjadi standar koin di masa Umayyah. Tentu saja simbol salib, ciri koin Byzantium sudah dihilangkan. Sejak masa Khalifah Abd al-Malik tahun 697 Masehi, gambar pada koin-koin masa Islam mulai berkurang hanya ada tulisan Arab saja. Namun saya tidak menemukan ada koin dari Arab Saudi dalam kurun waktu sebelum 690 Masehi.  

Di masa Abbasiyah koin dinar emas dicetak tahun 750 Masehi di Damaskus, Suriah sebelum masa Umayyah berakhir atau di Kufa, ibukota Abbasiyah pertama. Saat khalifah al-Mansur membangun Baghdad tahun 762 Masehi mulai muncul koin perak yang disebut dirham. Pencetakan koin sangat aktif di masa khalifah Harun al-Rashid tahun 786 karena ada dua percetakan koin yakni di Baghdad, Irak dan Fustat, Mesir. Mata uang generasi awal ini bentuknya koin, uang kertas baru muncul belakangan di era Fatimiyah sekitar abad ke-14.  

Dalam film dokumenter produksi tahun 2018 “From Cairo To Cloud” yang mengangkat penemuan naskah-naskah kuno dari gudang buku sinagoga di kota tua Kairo yang kemudian dikenal sebagai Cairo Geniza, uang kertas sudah mulai digunakan dalam transaksi perdagangan antara orang Yahudi, Kristen dan Islam di masa Fatimiyah yang berpusat di Kairo, Mesir pada abad ke-14.

Mata Uang yang Stabil

Mengutip laman Sahabat.pegadaian.co.id,  dinar dan dirham memang dikenal sebagai alat perdagangan resmi yang paling stabil sejak berabad-abad lamanya. Namun, pemanfaatan dinar dan dirham sebagai mata uang mulai ditinggalkan dan hanya beberapa negara di kawasan Timur Tengah yang masih memanfaatkan dinar dan dirham sebagai mata uang.

Di Indonesia sendiri, pemakaian dinar dan dirham sebagai alat tukar transaksi jual beli, tidak sesuai dengan hukum positif Indonesia. Hal ini karena dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang, Indonesia mengatur bahwa alat transaksi sah di Indonesia hanya rupiah. Saat ini, dinar dan dirham lebih banyak digunakan sebagai alat investasi, pembayaran zakat, hingga mahar.

Belajar dari sejarah dinar dan dirham tersebut, logam mulia seperti emas memang dianggap sangat berharga sejak dulu kala. Bahkan, dijadikan alat perdagangan resmi yang sah. Terbukti juga nilai emas yang tahan inflasi hingga saat ini sehingga banyak digunakan untuk investasi. 

Dinar modern merujuk pada mata uang yang digunakan oleh negara-negara yang mayoritas berbahasa Arab. Sementara Dinar dalam arti lain merujuk pada koin emas yang sesuai dengan syari’ah Islam. Ini yang menjadi fokus tim penulis yakni Dinar emas dan Dirham perak sebagai koin yang masih berlaku hingga sekarang, bukan sebagai mata uang resmi—meski masih dapat dikaitkan.

Dinar sebagai koin uang, terbuat dari emas murni yang memiliki berat 1 mitsqal atau setara dengan 4,5 gram atau bisa juga disebut 1/7 troy ounce. Namun World Islamic (WIM) lebih setuju dengan pendapat Syaikh Yusuf Qardhawi yang menetapkan 1 Dinar memiliki berat 4,25 gram.

Ketentuan ini juga diikuti oleh beberapa pihak lain seperti Kerajaan Kelantan di Malaysia, Wakala Induk Nusantara di Indonesia, dan Gerai Dinar di Indonesia.

Sama seperti Dinar, mata uang Dirham merujuk pada satuan mata uang pada beberapa negara Arab.

Sementara dirham kuno merujuk pada koin yang dibuat dari perak dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah pada zaman Kekaisaran Utsmaniyah dan Persia. Sejarah dan penggunaannya dalam masa kesultanan Islam sama dengan Dinar, karena pada dasarnya fungsi dan kegunaan kedua koin ini juga sama. Pembedanya hanya didasarkan pada bahan pembuatan serta beratnya.

Sesuai dengan ketentuan Open Mithqal Standard (OMS) Dirham memiliki kadar perak murni dengan 1/10 troy ounce. Berat ini setara dengan 2,975 gram. OMS adalah standar untuk menentukan berat atau ukuran dinar dan dirham modern yang sudah diakui oleh masyarakat.

Standar ini juga dikenal sebagai standar Nabawi, dikarenakan OMS berfokus pada model dinar dan dirham yang digunakan pada zaman kesultanan Islam.

Standar dari koin yang ditentukan oleh Khalifah Umar bin al-Khattab adalah 10 Dirham beratnya sama dengan 7 Dinar. Pada tahun 75 Hijriah atau 695 Masehi, Al-Hajjaj mencetak koin Dirham pertama kalinya dengan standar mengikuti Khalifah Umar bin Khattab tersebut. Dirham yang dicetak bertuliskan “Allahu ahad, Allahush shamad”.

Hal ini merupakan modifikasi dari kaum Muslimin atas perintah Khalifah Abdalmalik. Ini sekaligus menghentikan penggunaan gambar manusia maupun hewan dari koin-koin Dirham dan mengubahnya menjadi kalimat yang berkaitan dengan Islam.***

 

 

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah