WartaBulukumba - Lelaki kelahiran Kampung Barebba, Gantarang-Bulukumba, Sulawesi Selatan, 17 Juli 1945 itu meninggalkan banyak warisan berupa karya, pemikiran, hasil renungan, dan kenangan. Semuanya kembali terurai selepas hujan yang merintik duka.
Tidak terkecuali bagi sastrawan dan kritikus sastra di Bulukumba, Mahrus Andis.
Dalam sebuah posting online di akun media sosialnya, Mahrus Andis mengguratkan kenyataan bahwa Prof. Dr. Mochtar Pabottingi baru saja berangkat ke alam Barzah.
Baca Juga: Innalillah cendekiawan dan sastrawan Bulukumba Mochtar Pabottingi meninggal dunia
Mochtar Pabottingi meninggal dunia pada Ahad dini hari, 4 Juni 2023 di Jakarta karena sakit.
"Di masyarakat luas, Mochtar Pabottingi tidak banyak dikenal sebagai sastrawan. Kehadirannya selaku peneliti ahli di satu lembaga ilmiah terkemuka di Indonesia, seakan menutupi kreativitas seninya di bidang penulisan sastra," tulis Mahrus Andis di postingannya, seperti dikutip WartaBulukumba.com pada
Mahrus Andis juga menyibak, bahwa di kalangan budayawan, Mochtar Pabottingi dikenal sebagai penyair “suara alam sunyi”.
"Belum jelas mengapa ia berjuluk seperti itu. Boleh jadi karena puisinya berjudul 'Suara-suara(Jakarta 1986)' yang selalu mengusik dirinya di rahim malam," imbuh Mahrus Andis.
Baca Juga: Puisi religi sastrawan Bulukumba Mahrus Andis di malam takbiran: 'Doa Terakhir'
Selain Peneliti Utama di LIPI dan Analis Politik terkemuka di negeri ini, Mochtar Pabottingi juga seorang pengarang yang kreatif menulis puisi, cerita pendek, dan esai di berbagai media cetak.
Terakhir ia menulis buku otobiografi berjudul “Burung-burung Cakrawala” (Gramedia, 2013). Buku ini berkisah tentang dirinya, sejak kecil di salah satu kampung bernama Barebba-Bulukumba, hingga menyelesaikan pendidikan di Luar Negeri (University of Hawaii Amerika Serikat, 1991).
Berikut in memoriam Mochtar Pabottingi sekaligus ulasan terhadap beberapa puisinya, oleh Mahrus Andis.
Baca Juga: Melihat Bulukumba masa silam dari prosa puitis Mahrus Andis: 'Sungai Kecil di Depan Rumahku'
Filosofi Karaeng
Di Sulawesi Selatan, khususnya daerah Bugis-Makassar, ada gelar kebangsawanan yang disebut Karaeng. Tidak jelas asal-usul istilah itu. Namun sebuah desas-desus yang, boleh jadi mitos, mengatakan bahwa Karaeng berasal dari bahasa Arab.
Konon, di awal Islamisasi kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-16 Masehi, pedagang yang juga ulama dari Arab menghadap Raja. Terjadi dialog di antara mereka. Pimpinan rombongan yang berbicara langsung dengan Raja sering terlihat manggut-manggut, seraya dari mulutnya keluar kalimat: “Ya, karim.”
Ucapan “Ya, karim” ini bermakna semiosis meng-iya-kan sesuatu, yang artinya: “baik, yang mulia”. Dari frasa inilah terjadi proses morfofonemik, menyesuaikan karakter bahasa Makassar, menjadi “Yo’, Karaeng.”
Narasi di atas hanya sekilas pengantar memasuki gagasan puitik sastrawan Mochtar Pabottingi.
Baca Juga: Menemu kenali salah satu tabiat siluman parakang melalui cerbung sastrawan Bulukumba, Mahrus Andis
Salah satu puisinya berjudul “Karaeng” ingin saya bicarakan di sini.
Puisi tersebut ditulis di Honolulu, 1986, dan saya petik dari buku “Lima Puluh Seniman Sulawesi Selatan dan Karyanya”, terbitan Disbudpar Sulsel, 2005. Puisi ini terbilang panjang, sebagai berikut:
KARAENG
(I)
Karaeng tegak di hulu kapalnya
Memandang ke ufuk yang gemetar
Oleh riuh badai
Di balik samudera
Dilihatnya dasar gelombang
Yang berpacu
Didengarnya lagu darah
Yang mengembangkan layar-layar pinisi
Hingga ke pantai-pantai asing
Hingga ke benua-benua yang jauh
Dibiarkannya laksana kata yang meletup-letup di sekitarnya
Bagai gelembung-gelembung pecah
Dia rindu pada kata
Yang menampakkan wajahnya
Seperti nama leluhurnya yang tewas di ujung tangga
Seperti nama leluhurnya yang ditebas batang lehernya
Seperti nama leluhurnya yang bersemayam di balai palangnya
Dia rindu pada kata
Yang masih setia
Leluhurnya tidak memperalat kata
Tidak menunggangi kata
Tidak memantra kata
Jadi sampah
Bersama dirinya
Baca Juga: Puisi ini ditulis Mahrus Andis sebelum pemakaman Fahmi Syariff di Ponre Bulukumba
(II)
Karaeng tegak di hulu kapalnya
Memandang ke ufuk yang gemetar
Oleh riuh badai
Di balik samudera
Setelah kilat dan gelegar
Setelah pengembaraan di tujuh benua
Dia tak memerlukan gita
Untuk jadi nyata
Dia perlu jadi partha
Darah yang menggenggam tubuhnya adalah sisa murni
Setelah harga dikukuhkan
Setelah sele' dan kawali
Setelah leluhur menatap wajah sejarah yang dahsyat
Di depan armada Kompeni
Yang menikamkan keris saudara-saudaranya sendiri
Dan darah pun mengalir ke sepanjang Tanah Jawa
Di sepanjang Malaka dan Sumatra
Di mana-mana ia memberi kehidupan
Harganya yang sebenarnya
Baca Juga: Puisi-puisi sketsa sosial penyair Bulukumba Mahrus Andis
(III)
Hanya yang berdarah berhak berkata
Sebab hanya dengan darah kehidupan ditegakkan
Secara terhormat
Hanya dengan darah kehidupan mereka
Dan mengalir bukan sebagai buih
Atau barang rongsokan
Pada waktunya
Darahnya akan mengalir pada lembar-lembar buku
Pada puncak-puncak gunung
Pada tanah-tanah persawahan
Pada pabrik-pabrik yang gemuruh
Pada taman-taman bunga
Pada medan-medan baja
Pada bunyi dan gerak
Pada bintang-bintang
Yang selalu dibaca leluhurnya
Maka Karaeng menengok kembali ke samudera
Yang bergolak dalam tubuhnya
Menangkap sayup denting musim
Sebab hari kian tak pasti.
-Honolulu,1986-
Struktur puisi ini terasa utuh, menyatu antara fisik dan batin puisi.Terdiri dari tiga bagian dan masing-masing bagian berbicara sesuai amanah yang dititipkan oleh penyairnya. Bagian (I), penyair menggarisbawahi makna filosofis Karaeng sebagai konsep diri manusia yang mulia (Al karim), berkarakter, berani dan jujur. Karaeng, di mata penyair, adalah nakhoda di laut lepas, tegak di anjungan memandang masa depan yang penuh optimisme.
Dalam perspektif kehidupan modern, analogi Karaeng bermakna pemimpin atau tokoh penting di tengah masyarakat. Mari kita simak salah satu bait dari Bagian pertama puisi tersebut:
“...
Dia rindu pada kata/
Yang masih setia/
Leluhurnya tidak memperalat kata/
Tidak menunggangi kata/
Tidak memantra kata/
Jadi sampah/ Bersama dirinya ..."
Penyair menekankan makna “kata” di bait puisinya. Seakan puisi di atas ingin berbicara kepada kita bahwa harga diri di balik nama besar seorang Karaeng adalah perilaku istiqamah: satunya kata dengan perbuatan.
Leluhur para Karaeng sangat pantang memanipulasi kata-kata. Bagi seorang Karaeng, setia pada kata-kata adalah sumpah. Dan Karaeng (baca: turunan bangsawan, pemimpin, pemuka masyarakat atau tokoh agama) yang sering memainkan kata-kata menjadi mantra kemunafikan, hakikatnya adalah sampah.
Darah leluhur yang mengalir dalam tubuh seorang Karaeng berisi amanah kehidupan yang murni. Amanah yang lahir dari komitmen kemanusiaan atas nama “sirik na pace” (baca: martabat dan kepekaan rasa).
Karena itu, di mata penyair, Karaeng tidak hanya bermakna status dalam konteks strata sosial, tetapi juga, Karaeng adalah pejuang pembebasan nilai-nilai universal kemanusiaan dari penjajahan hawa nafsu. Karaeng harus selalu tampil menawarkan “harganya” untuk kehidupan yang luas.
Pada Bagian (II) puisinya, penyair mengangkat nilai kepribadian luhur yang wajib ada di dalam diri seorang Karaeng, seperti berikut:
“...
Darah yang menggenggam tubuhnya adalah sisa murni/
Setelah harga dikukuhkan/
Setelah sele' dan kawali/
Setelah leluhur menatap wajah sejarah yang dahsyat/
Di depan armada Kompeni/
Yang menikamkan keris saudara-saudaranya sendiri/
Dan darah pun mengalir ke sepanjang Tanah Jawa/
Di sepanjang Malaka dan Sumatra/
Di mana-mana ia memberi kehidupan/
Harganya yang sebenarnya ... “
Karaeng yang sesungguhnya adalah darah yang berwujud dalam kiprah manusia. Mochtar Pabottingi tampaknya amat memahami filosofi agama “khalifatan fil ardhi” pada diri seorang Karaeng.
Darah, dalam visi penyair, bukanlah sekadar simbolisme derajat manusia dalam relasi budaya- kearifan lokal. Melainkan, nilai-nilai keberdayaan individu untuk tampil menjadi khalifah (pemimpin) dan membangun kehidupan secara terhormat.
Di bait awal puisinya Bagian (III), Penyair menulis :
“...
Hanya yang berdarah berhak berkata/
Sebab hanya dengan darah kehidupan ditegakkan/
Secara terhormat ...”
Sebagai analis politik (secara khusus, perspektif kebangsaan), Mochtar Pabottingi tentu tidak kosong dari ekspektasi masa depan yang diinginkan. Harapan manusiawi penyair dilekatkan pada keniscayaan sosok Karaeng menjadi darah kehidupan yang lebih konkret dan universal bagi tanggung jawab kenegaraan.
Darah yang hidup dengan cita-cita. Darah yang mengalir bukan sebagai buih. Atau darah yang membeku bagai barang rongsokan. Tetapi darah yang dimaksud penyair adalah seperti pada bait akhir Bagian (III) puisinya berikut:
“...
Pada waktunya
Darahnya akan mengalir pada lembar-lembar buku/
Pada puncak-puncak gunung/
Pada tanah-tanah persawahan/
Pada pabrik-pabrik yang gemuruh/
Pada taman-taman bunga/
Pada medan-medan baja/
Pada bunyi dan gerak/
Pada bintang-bintang/
Yang selalu dibaca leluhurnya ...”
Dalam "Kata Penutup' ulasannya, Mahrus Andis mengatakan: "Penyair mengantar apresiasi kita dengan menghadirkan flashback sesosok Karaeng di bagian akhir puisinya. Pada dimensi semiotika-kultural inilah Mochtar Pabottingi menitipkan bahasa kerinduan manusiawinya. Dia menulis di ending “Karaeng” sebagai berikut:
“...
Maka Karaeng
menengok kembali
ke samudera/
Yang bergolak dalam
tubuhnya/
Menangkap sayup
denting musim/
Sebab hari kian tak pasti.
Di “hari kian tak pasti” ini, pembaca merasa tercubit. Para Karaeng, di level status apa pun namanya, dituntut turun gunung.
"Mochtar Pabottingi mengajak para Karaeng agar istiqamah menghadirkan “darah”-nya untuk kehidupan yang terhormat dan penuh kemuliaan (Al karim). Darah yang selalu mengalir dan terbaca oleh leluhur; sejarah peradaban umat manusia," tandas Mahrus Andis.***