Pulau Rempang: Antara warisan sejarah dan investasi besar

- 18 September 2023, 22:29 WIB
Polisi amankan puluhan warga pasca unjuk rasa yang berakhir ricuh di Pulau Rempang.
Polisi amankan puluhan warga pasca unjuk rasa yang berakhir ricuh di Pulau Rempang. /Instagram.com/@fraksirakyat_id

WartaBulukumba.Com - Di bawah langit biru Kepulauan Riau, Pulau Rempang berdiri megah, menyimpan sejuta cerita dalam debur ombak di sepanjang tepiannya. Pulau ini adalah ladang kenangan, di mana jejak para pejuang Kesultanan Riau Lingga tersimpan kuat dalam sejarah.

Masyarakatnya, keturunan para prajurit, menjaga warisan leluhur dengan penuh keberanian. Namun, bayangan investasi besar menghampiri, menggoyahkan tanah tempat lahir mereka. Pulau Rempang adalah perjuangan antara sejarah dan masa depan, antara suara rakyat dan bisnis besar. Di bawah sinar matahari terbenam, pulau ini memancarkan pesona dan kegigihan, mengisahkan perjuangan yang belum selesai.

Pulau Rempang, yang terletak di gugus Kepulauan Riau, antara Batam, Rempang, dan Galang, telah menjadi sorotan karena perubahan kepemilikannya dan proyek besar yang direncanakan. 

Dalam wawancara online bersama pengamat dari Atlantika Nusantara Institute, Jacob Ereste, kita akan mencoba menjelajahi sejarah Pulau Rempang dan konflik yang tengah terjadi antara masyarakat lokal dan pemerintah terkait dengan proyek investasi besar di pulau ini. Tentu saja dari perspektif keilmuan dan wawasan seorang Jacob Ereste.

Baca Juga: Kemelut Rempang: Legislator PKS sampaikan 5 tuntutan kepada pemerintah

Sejarah Pulau Rempang

Pulau Rempang, sebagai bagian dari kekuasaan Badan Otorita Batam yang kemudian diubah menjadi Badan Penguasaan Kawasan Batam bersama Pemerintah Kota Batam, memiliki luas wilayah sekitar 165 kilometer persegi.

Pulau ini, yang merupakan pulau terbesar kedua di gugus Kepulauan Riau, menjadi lebih dikenal setelah dihubungkan oleh enam buah jembatan yang menghubungkan Batam, Rempang, dan Galang, yang kemudian dikenal sebagai Barelang.

"Riwayat Pulau Rempang mencakup kisah panjang dari masa Kesultanan Riau Lingga hingga masa pra-kemerdekaan Indonesia," ujar Jacob Ereste dalam bincang online dengan WartaBulukumba.Com pada Senin malam, 18 September 2023.

Baca Juga: Kisruh Rempang: Pengamat peringatkan kemarahan rakyat kian meluas jika pemerintah tetap lakukan penggusuran

Jacob Ereste lalu menuturkan telusur histori literatur, para penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari para Prajurit atau Lasykar Kesultanan Riau Lingga yang telah mendiami pulau tersebut sejak tahun 1720, semasa Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I. Mereka bahkan terlibat dalam perang melawan Belanda pada tahun 1782-1784.

"Generasi anak dan cucu para pejuang Kesultanan Lingga terus menempati pulau tersebut, mempertahankan warisan leluhur mereka. Penduduk Pulau Rempang yang berjumlah sekitar 5000 orang saat ini menghadapi ketidakpastian terkait dengan proyek investasi besar yang akan mengubah nasib pulau mereka," ungkap Jacob Ereste.

Konflik Investasi dan Kehidupan Masyarakat Lokal

Pada 26 Agustus 2004, lanjut Jacob Ereste, Group Pengusaha Artha Graha PT. MEG (Mega Elok Graha) memperoleh konsesi untuk membangun Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) di Pulau Rempang. Namun, proyek ini mangkrak hampir 20 tahun hingga mendapatkan investor dari China pada April 2023.

Baca Juga: Media-media asing sorot konflik Rempang: Anak-anak menjadi korban, polisi menangkapi warga

"Investor ini berencana membangun Pabrik Kaca dan Solar Panel terbesar kedua di dunia di Pulau Rempang dengan nilai investasi yang mencapai triliunan rupiah," kata Jacob Ereste.

Namun, urai Jacob Ereste lebih lanjut, perjanjian MoU yang diperbaharui antara PT. Mega Elok Graha dan pemerintah daerah, yang mencakup pengosongan tempat hunian warga Pulau Rempang, telah memicu kontroversi.

Jacob Ereste mengungkapkan, penduduk Pulau Rempang, yang telah tinggal di sana selama berabad-abad, merasa bahwa mereka memiliki hak untuk tetap tinggal di tanah kelahiran dan warisan leluhur mereka.

"Mereka tidak menolak investasi, tetapi mereka menolak untuk digusur dari tempat tinggal mereka tanpa mendapatkan kompensasi yang layak. Solidaritas datang dari berbagai penjuru negeri, karena masyarakat di tempat lain juga khawatir menghadapi situasi serupa," tuturnya.

Baca Juga: Konflik Rempang: UAS dan UAH angkat bicara, HRS juga bergerak

Dilema Investasi dan Hak Rakyat

Dalam konteks ini, menurut Jacob Ereste, dilema utama adalah sejauh mana pemerintah akan melindungi hak-hak hidup rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Investasi besar senilai triliunan rupiah dan janji penciptaan lapangan kerja besar-besaran menjadi faktor yang memperumit situasi.

"Masyarakat Pulau Rempang tidak menentang investasi, mereka hanya ingin mendapatkan perlindungan dan kompensasi yang adil. Sebagai bagian dari warisan sejarah suku bangsa Nusantara, hak mereka untuk tetap tinggal di pulau ini harus dihormati. Pembangunan yang manusiawi tidak seharusnya menggusur rakyat," ungkap Jacob Ereste.

Namun, lanjut Jacob Ereste, sikap Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam yang terkesan melemparkan masalah kepada Pemerintah Pusat dinilai tidak bertanggung jawab. Pelaksanaan kebijakan yang melibatkan pengosongan tempat tinggal warga harus mempertimbangkan hak dan kepentingan rakyat setempat.

"Dalam konteks ini, suara rakyat yang menolak penggusuran semakin keras dan luas, karena mereka tidak ingin situasi serupa terjadi di tempat tinggal mereka yang lain," kata Jacob Ereste.

Menurut pandangan Jacob Ereste, diperlukan pendekatan yang bijak dan adil untuk menyelesaikan konflik ini, dengan mempertimbangkan hak dan kepentingan rakyat Pulau Rempang serta nilai-nilai warisan sejarah yang mereka wakili.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah