Menengok suasana Ramadhan di Bulukumba pada masa penjajahan Belanda

- 2 April 2023, 17:02 WIB
Ilustrasi warga Bulukumba pada tempo doeloe di zaman Hindia Belanda.
Ilustrasi warga Bulukumba pada tempo doeloe di zaman Hindia Belanda. /

Saat itu masyarakat Bulukumba jatuh-bangun dalam menghadapi persoalan sosial politik, di antaranya gerakan Dompea Ammatoa Kajang, gerakan DI/TII Sulawesi Selatan yang berbasis di Basokeng Distrik Tiro di bawah pimpinan Kahar Muzakkar hingga pengaruh G 30 S/PKI 1965 di Jakarta.

Penentuan Awal Ramadhan

Pada masa penjajahan Belanda, Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau Hoofdbestuur adalah yang menentukan awal Ramadhan.

Namun, organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), memiliki Hoffbestuur sendiri yang juga memainkan peran besar dalam menentukan awal Ramadhan. Kedua belah pihak menentukan perhitungan dengan cara masing-masing. 

Baca Juga: Sejarah penampakan UFO di Parepare hingga Bulukumba pada tahun 1955

Pada masa itu, awal Ramadhan juga disambut masyarakat dengan bunyi-bunyian yang keras seperti meriam, petasan, mercon, dan anak-anak yang membuat suara dengan pelepah pisang untuk menandakan awal Ramadhan.

Pemerintah Kolonial baru mengizinkan shalat ied berjemaah secara terbuka untuk kali pertama pada 1929.

Sebelumnya, umat Muslim melakukan shalat hanya berada di masjid kampung. Belanda masih membatasi ruang lingkup umat Islam, apalagi jika jemaah berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.

Baca Juga: Belajar cara merawat alam pada komunitas adat Ammatoa di Bulukumba

Pihak kolonial takut terhadap gerakan yang bisa memobilisasi massa, karena acara di tempat terbuka rentan mengancam pemerintah saat itu.

Baru setelah 1929, pemerintah kolonial memberikan kelonggaran kepada umat Muslim untuk melaksanakan shalat ied berjemaah. Namun, Pemerintah Hindia Belanda yang memberikan tempat pelaksanaan shalat beserta jumlah jemaah.***

Halaman:

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x