Menengok suasana Ramadhan di Bulukumba pada masa penjajahan Belanda

- 2 April 2023, 17:02 WIB
Ilustrasi warga Bulukumba pada tempo doeloe di zaman Hindia Belanda.
Ilustrasi warga Bulukumba pada tempo doeloe di zaman Hindia Belanda. /

 

WartaBulukumba - Menjelang senja, tidak ada bocah yang tidak masuk ke hutan. Di antara mereka ada pula yang sudah remaja. Mereka mencari kemiri. Ya, kemiri. Bocah-bocah itu akan membawa pulang kemiri untuk dijadikan bahan bakar pelita di rumah mereka. Begitu setiap sore hari di Palampang, salah satu kampung di wilayah utara Bulukumba masa silam.

Saat pelita sudah menyala maka itu pertanda gelap langit sebentar lagi menyelubungi Bumi. Akhirnya adzan Maghrib berkumandang meskipun suaranya samar-samar karena tanpa pengeras suara. Warga Bulukumba menikmati buka puasa dengan menu yang sangat sederhana. Seteguk air putih lalu menyantap nasi jagung, lauk ikan asin dan sayur. 

Bulukumba di masa Hindia Belanda, sebagaimana di daerah lainnya di Indonesia saat itu, tenggelam dalam suasana prihatin dan kondisi serba terbatas.

Baca Juga: Menelusuri sejarah awal masuknya Islam ke Bulukumba, ketika tasawuf bertemu mistisisme

Sangat berbeda jauh dengan suasana Bulukumba hari ini. Ragam takjil yang lezat dengan mudah bisa diperoleh. Ibadah dengan tenang dan berjamaah bisa dilakukan setiap hari.

Sederet literatur bisa membantu kita menelusuri kembali seperti apa Bulukumba dimasa lalu.

Salah satunya buku berjudul "Perjalanan Pendidikan Rakyat Bulukumba Dalam Kemelut Sejarah" yang ditulis oleh Dg. Mapata, penerbit Media Sains Indonesia tahun 2023, membahasa sejarah Bulukumba dari sisi pendidikan.

Baca Juga: Menyingkap tradisi 'massuro baca' suku Bugis Makassar jelang Ramadhan, termasuk di Bulukumba

Saat itu masyarakat Bulukumba jatuh-bangun dalam menghadapi persoalan sosial politik, di antaranya gerakan Dompea Ammatoa Kajang, gerakan DI/TII Sulawesi Selatan yang berbasis di Basokeng Distrik Tiro di bawah pimpinan Kahar Muzakkar hingga pengaruh G 30 S/PKI 1965 di Jakarta.

Penentuan Awal Ramadhan

Pada masa penjajahan Belanda, Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau Hoofdbestuur adalah yang menentukan awal Ramadhan.

Namun, organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), memiliki Hoffbestuur sendiri yang juga memainkan peran besar dalam menentukan awal Ramadhan. Kedua belah pihak menentukan perhitungan dengan cara masing-masing. 

Baca Juga: Sejarah penampakan UFO di Parepare hingga Bulukumba pada tahun 1955

Pada masa itu, awal Ramadhan juga disambut masyarakat dengan bunyi-bunyian yang keras seperti meriam, petasan, mercon, dan anak-anak yang membuat suara dengan pelepah pisang untuk menandakan awal Ramadhan.

Pemerintah Kolonial baru mengizinkan shalat ied berjemaah secara terbuka untuk kali pertama pada 1929.

Sebelumnya, umat Muslim melakukan shalat hanya berada di masjid kampung. Belanda masih membatasi ruang lingkup umat Islam, apalagi jika jemaah berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.

Baca Juga: Belajar cara merawat alam pada komunitas adat Ammatoa di Bulukumba

Pihak kolonial takut terhadap gerakan yang bisa memobilisasi massa, karena acara di tempat terbuka rentan mengancam pemerintah saat itu.

Baru setelah 1929, pemerintah kolonial memberikan kelonggaran kepada umat Muslim untuk melaksanakan shalat ied berjemaah. Namun, Pemerintah Hindia Belanda yang memberikan tempat pelaksanaan shalat beserta jumlah jemaah.***

 

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x