WartaBulukumba - Menjelang senja, tidak ada bocah yang tidak masuk ke hutan. Di antara mereka ada pula yang sudah remaja. Mereka mencari kemiri. Ya, kemiri. Bocah-bocah itu akan membawa pulang kemiri untuk dijadikan bahan bakar pelita di rumah mereka. Begitu setiap sore hari di Palampang, salah satu kampung di wilayah utara Bulukumba masa silam.
Saat pelita sudah menyala maka itu pertanda gelap langit sebentar lagi menyelubungi Bumi. Akhirnya adzan Maghrib berkumandang meskipun suaranya samar-samar karena tanpa pengeras suara. Warga Bulukumba menikmati buka puasa dengan menu yang sangat sederhana. Seteguk air putih lalu menyantap nasi jagung, lauk ikan asin dan sayur.
Bulukumba di masa Hindia Belanda, sebagaimana di daerah lainnya di Indonesia saat itu, tenggelam dalam suasana prihatin dan kondisi serba terbatas.
Baca Juga: Menelusuri sejarah awal masuknya Islam ke Bulukumba, ketika tasawuf bertemu mistisisme
Sangat berbeda jauh dengan suasana Bulukumba hari ini. Ragam takjil yang lezat dengan mudah bisa diperoleh. Ibadah dengan tenang dan berjamaah bisa dilakukan setiap hari.
Sederet literatur bisa membantu kita menelusuri kembali seperti apa Bulukumba dimasa lalu.
Salah satunya buku berjudul "Perjalanan Pendidikan Rakyat Bulukumba Dalam Kemelut Sejarah" yang ditulis oleh Dg. Mapata, penerbit Media Sains Indonesia tahun 2023, membahasa sejarah Bulukumba dari sisi pendidikan.
Baca Juga: Menyingkap tradisi 'massuro baca' suku Bugis Makassar jelang Ramadhan, termasuk di Bulukumba