Sejarah shalat tarawih yang mengalami evolusi jumlah rakaat sejak zaman Rasulullah SAW

22 Maret 2023, 20:22 WIB
Ilustrasi shalat tarawih . /Humas Bandung/
 
WartaBulukumba - Malam-malam di bulan suci Ramadhan adalah sederet waktu yang bercahaya, seperti lampu-lampu masjid yang tersusun berjajar. Langit gelap, indah, sepi. Di dalam masjid, sejuknya ketenangan tak terucapkan, ketika hanya suara imam yang memecah kesunyian. Hening. Terikat dengan doa-doa yang terbaik bagi kehidupan. Dalam shalat tarawih berjamaah di masjid, orang-orang menemukan ketenangan.
 

Dari sisi yang berbeda, yakni ruang dialektis, selalu ada pertanyaan mengapa atau bagaimana bisa shalat tarawih berbeda versi jumlahnya antara masjid yang satu dengan masjid lainnya?
 
Pada wilayah literatur, pencerahan itu mungkin kita bisa peroleh dengan menelusuri buku "Terjemah Kitab Fatawa Ramadhan Menjawab Berbagai Persoalan Puasa Ramadhan" oleh Al-Habib Abdullah bin Mahfudz bin Muhammad Al-Haddad, diterbitkan oleh Jejak Publisher pada 2021.
 
 
Kita juga bisa membaca buku "Panduan Lengkap Ibadah Menurut Al-Quran, Al-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama" yang disusun oleh Muhammad Al-Baqir, diterbitkan Noura Books pada 2016.
 
Kita juga bisa melengkapi ilmunya dengan membaca buku "Tuntunan Shalat Lengkap dan Benar" yang disusun oleh Dra. Neni Nuraeni M.Ag, penerbit Mutiara Media.

Secara bahasa, kata taroowiih, adalah bentuk jamak dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai “waktu sesaat untuk istirahat”. Namun “istirahat” yang dimaksud di sini adalah dalam bentuk duduk dengan jeda waktu agak lama di antara rangkaian raka’at-raka’at shalat.

Baca Juga: 7 amalan Asmaul Husna dalam dzikir dan doa untuk meminta rezeki berupa kekayaan, kesehatan dan umur panjang

Sejarah Shalat Tarawih

Mengutip laman Nu.or.id, sejarah pelaksanaan shalat tarawih di rumah dapat ditemukan dalam kitab hadits seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Malik dan Ahmad.
 
Di dalamnya ada cerita Siti Aisyah RA yang mengisahkan peristiwa yang terjadi pada 10 malam terakhir pada sebuah Ramadhan. Saat itu Rasulullah SAW melakukan shalat tarawih mengimami sejumlaj sahabat.
 
Di malam selanjutnya sebagian sahabat yang tidak ikut pada malam sebelumnya hadir sehingga shalat tarawih Rasulullah di masjid diikuti oleh lebih banyak jamaah dibanding pada malam sebelumnya. Pada malam ketiga, masjid penuh sesak dengan jamaah yang menanti Rasulullah. Tetapi Nabi Muhammad SAW tidak keluar rumah.
 

 
 
Lalu Rasulullah mengabarkan bahwa beliau mengetahui keinginan para sahabat untuk shalat tarawih bersamanya tetapi ia khawatir Allah menurunkan wahyu yang berisi perintah shalat tarawih sehingga shalat sunnah malam Ramadhan itu menjadi wajib.
 
Sikap diam diri di rumah menunjukkan rahmat, kasih sayang, dan perhatian Rasulullah SAW kepada umatnya sebagaimana Surat At-Taubah ayat 128. (Abdul Muhsin Abbad, Syarah Abu Dawud).
 
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
 
Artinya, “Sungguh, seorang rasul dari kaummu sendiri telah datang kepadamu, (seorang rasul yang) merasa keberatan atas kesulitanmu, yang sangat menginginkan (keimanan) bagimu, yang sangat berbelas kasih dan penyayang terhadap orang-orang beriman,” (Surat At-Taubah ayat 128).
 
 
Sebagian riwayat menyatakan bahwa para sahabat yang tidak sabar melempari pintu rumah Rasulullah SAW dengan kerikil kecil sehingga Rasulullah terpaksa keluar untuk mengabarkan kekhawatirannya akan turunnya wahyu yang mewajibkan shalat tarawih untuk umatnya.
 
Adapun redaksi hadits riwayat Siti Aisyah RA dapat dibaca sebagai berikut:
 
عَنْ عَائِشَةَ زوج النبي صلى الله عليه وسلم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ
 
Artinya, “Dari Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, Rasulullah SAW melakukan shalat (tarawih) di masjid pada suatu malam. Orang-orang bermakmum kepadanya. Malam berikutnya, Rasulullah SAW kembali shalat tarawih dan jamaahnya semakin banyak. Pada malam ketiga atau keempat, jamaah telah berkumpul, tetapi Rasulullah SAW tidak keluar rumah. Ketika pagi Rasulullah mengatakan, ‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Aku pun tidak ada uzur yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, tetapi aku khawatir ia (shalat tarawih) diwajibkan,’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Malik dan Ahmad).
 

 
 
Pada riwayat Abu Dawud, Siti Aisyah bercerita bahwa malam itu para sahabat shalat tarawih di masjid masing-masing. Sementara ia diminta oleh Rasulullah untuk menyiapkan tikar untuk shalat tarawih di rumah.
 
Kepada sahabat pada paginya Rasulullah mengatakan, “Wahai sekalian manusia, demi Allah aku semalam alhamdulillah tidak lalai (tidur) dan tidak samar bagiku kedudukanmu (semalam).”
 
Dari hadits ini, ulama menyimpulkan kebolehan shalat sunnah secara berjamaah. Tetapi shalat sunnah lebih utama dilakukan secara sendiri-sendiri kecuali shalat tarawih.
 
Ulama juga menyimpulkan kebolehan shalat sunnah di masjid sekalipun shalat sunnah di rumah lebih utama. Ulama juga menarik simpulan atas kebolehan mengikut seseorang untuk berjamaah meski yang bersangkutan tidak meniatkan shalatnya di awal sebagai imam. Demikian pandangan mayorias ulama. (Badruddin Al-Aini Al-Hanafi, Syarah Abu Dawud).
 

Dimana istilah untuk menyebut duduk setelah menyelesaikan 4 raka’at shalat di malam bulan Ramadhan dengan 2 salam, disebut dengan tarwihah, karena orang-orang beristirahat setiap empat raka’at.

Adapun secara fiqih menurut Kementrian Agama Kuwait, (al-Mausu’ah al-Fiqqyyah al-Kwaitiyyah; 27:135.), shalat tarawih didefinisikan sebagaimana berikut:

شهر رمضان ، م م ، على اختلاف بين 1 قيام

الفقهاء في عدد ركعاها ، وفي غير ذلك من مسائلها .

Qiyam Ramadhan (shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam bulan Ramadhan), dengan dua-dua raka’at, di mana para ulama berbeda pendapat tentang jumlah raka’atnya dan masalahmasalah lainnya.”

Baca Juga: Inilah keistimewaan kucing dalam Islam dan budaya Muslim

Sebelas Rakaat atau Dua Puluh Rakaat?

Dalam sejarahnya, shalat-shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan ini tidak dikenal dengan istilah shalat tarawih pada masa Rasulullah SAW dan khalifah pertamanya, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.

Mengutip laman Muhammadiyah.or.id, praktik salat tarawih di Masjid Nabawi mengalami evolusi dan perkembangan panjang. Diketahui, salat tarawih pertama kali dikerjakan Nabi Saw pada 23 Ramadhan 2 H. Kala itu Rasulullah Saw melaksanakannya di masjid, kadang di rumah. Hal ini untuk mengajarkan umat Islam bahwa shalat tarawih bukan sesuatu yang wajib dilaksanakan.

Pada zaman Rasulullah SAW praktik salat tarawih di Masjid adalah sebelas rakaat. Hal ini sejalan dengan hadis marfu’ yang isinya dialog antara Abu Salamah dengan ‘Aisyah tentang bilangan sholat tarawih. Al-Bukhari sebagai salah seorang rawinya memasukkan hadis ini dalam “Kitab Tarawih” dalam kitab Sahih-nya.

Beliau tidak memasukkannya dalam kelompok hadis-hadis witir dalam “Kitab Witir”. Jadi pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini tentang witir tidaklah tepat. Praktik sebelas rakaat di zaman Rasulullah SAwini berlanjut terus hingga zaman ‘Umar.

Baca Juga: Misteri bangsa Nisnas, makhluk sebelum Nabi Adam yang membangun Atlantis dan Lemurian?

Sahabat yang bergelar Al Faruq ini menertibkan pelaksanaan jamaah tarawih di Masjid Nabawi pada tahun 14 H/635 M supaya dilakukan sebelas rakaat.

Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa ‘Umar pernah mengubah kebijakannya. Bahkan tidak ada riwayat yang sahih bahwa dua khalifah sesudahnya yaitu ‘Usman dan ‘Ali pernah mengubah kebijakan itu. Karenanya, dapat diduga kuat bahwa selama masa Khulafa Rasyidin sholat tarawih di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat.

Salah satu ulama yang menyebut Umar sebagai pelopor sholat tarawih dua puluh rakaat adalah Ibn al-Mulaqqin.

Tetapi ulama dari Mazhab Syafii ini tidak menunjukkan bukti riwayat bahwa ‘Umar pernah mengubahnya dari sebelas menjadi dua puluh. Ia hanya menyimpulkan dengan memadukan asar Yazid Ibn KhuSaifah dengan asar Muhammad Ibn Yusuf.

Baca Juga: Waktu berlalu begitu cepat, ini penjelasannya dalam Al Quran dan Hadits Shahih

Jika memang asar Yazid Ibn Khusaifah (Nas 44-45) itu valid, hal tersebut hanya menunjukkan bahwa beberapa Sahabat di zaman ‘Umar melakukan tarawih dua puluh rakaat. Hanya itu. Tidak menunjukkan adanya perintah ‘Umar untuk mengubah salat tarawih secara resmi di Masjid Nabi saw menjadi salat dua puluh rakaat.

Ini artinya, sholat tarawih sebelas rakaat berlangsung terus hingga diubah oleh Mu‘awiyah pada akhir masa pemerintahannya (w. 60 H/680 M) atau beberapa tahun sebelum Perang al-Harrah (63 H/683 M). Sejak itu oleh khalifah pertama Dinasti Umayyah ini, salat tarawih di Masjid Nabawi adalah tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir dan ini berlangsung hingga abad ke-4 H.

Pada abad ke-4 H ini, di bawah panglima Jauhar al-Siqily, Dinasti Fatimiyah berhasil menaklukkan Dinasti Iksidiyah (dinasti yang berada di bawah kekuasaan Abbasiyah) sehingga secara otomatis Mekkah, Madinah, dan Jerussalem jatuh ke wilayah kekuasaan mereka. Dikuasainya tiga kota suci tersebut, kerajaan yang beraliran Syiah ini mengubah salat tarawih di Masjid Nabawi dari tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir menjadi dua puluh rakaat.

Saat wilayah Fatimiyah yang luas sedikit demi sedikit menyusut hingga lebih kecil dari wilayah Mesir sekarang, Madinah kembali dikuasai kalangan Sunni terutama Mazhab Maliki. Pada abad ke-8 H, Hakim Tinggi Madinah Imam al-‘Iraqi (w. 806/1403) kembali mempraktekkan shalat tarawih di Masjid Nabawi dengan tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir.

Baca Juga: Hari Pahlawan 10 November: Pekik 'Allahu Akbar' dan Resolusi Jihad dalam pertempuran Surabaya

Dalam pelaksanaannya dua tahap: dua puluh rakaat pada awal malam (selepas isya) dan enam belas rakaat pada akhir malam (menjelang subuh). Keadaan ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya.

Saat Perang Dunia I (1914-1918), penguasa Saudi memutuskan berkoalisi dengan Inggris. Setelah Dinasti Ottoman runtuh dalam Perang Dunia II, Abdulaziz dari kerajaan Arab Saudi menguasai seluruh Najd dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah tahun 1344 H/1926 M. Sejak dikuasainya wilayah Masjid Nabawi oleh pemerintahan Saudi hingga sekarang, salat tarawih dilaksanakan dalam formasi dua puluh rakaat.

Begitulah sejarah singkat perjalanan shalat tarawih di Masjid Nabawi dari masa ke masa. Apabila kita harus memilih praktik periode mana yang harus dicontoh tentu praktik pada masa Nabi saw yang harus kita ambil, karena yang menjadi hujah adalah praktik Rasulullah SAW sesuai sabda beliau: “shallau kama raaytuuni ushalli”, artinya sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku (Rasulullah SAW) shalat!***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler