Secara bahasa, kata taroowiih, adalah bentuk jamak dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai “waktu sesaat untuk istirahat”. Namun “istirahat” yang dimaksud di sini adalah dalam bentuk duduk dengan jeda waktu agak lama di antara rangkaian raka’at-raka’at shalat.
Sejarah Shalat Tarawih
Dimana istilah untuk menyebut duduk setelah menyelesaikan 4 raka’at shalat di malam bulan Ramadhan dengan 2 salam, disebut dengan tarwihah, karena orang-orang beristirahat setiap empat raka’at.
Adapun secara fiqih menurut Kementrian Agama Kuwait, (al-Mausu’ah al-Fiqqyyah al-Kwaitiyyah; 27:135.), shalat tarawih didefinisikan sebagaimana berikut:
شهر رمضان ، م م ، على اختلاف بين 1 قيام
الفقهاء في عدد ركعاها ، وفي غير ذلك من مسائلها .
“Qiyam Ramadhan (shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam bulan Ramadhan), dengan dua-dua raka’at, di mana para ulama berbeda pendapat tentang jumlah raka’atnya dan masalahmasalah lainnya.”
Baca Juga: Inilah keistimewaan kucing dalam Islam dan budaya Muslim
Sebelas Rakaat atau Dua Puluh Rakaat?
Dalam sejarahnya, shalat-shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan ini tidak dikenal dengan istilah shalat tarawih pada masa Rasulullah SAW dan khalifah pertamanya, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Mengutip laman Muhammadiyah.or.id, praktik salat tarawih di Masjid Nabawi mengalami evolusi dan perkembangan panjang. Diketahui, salat tarawih pertama kali dikerjakan Nabi Saw pada 23 Ramadhan 2 H. Kala itu Rasulullah Saw melaksanakannya di masjid, kadang di rumah. Hal ini untuk mengajarkan umat Islam bahwa shalat tarawih bukan sesuatu yang wajib dilaksanakan.
Pada zaman Rasulullah SAW praktik salat tarawih di Masjid adalah sebelas rakaat. Hal ini sejalan dengan hadis marfu’ yang isinya dialog antara Abu Salamah dengan ‘Aisyah tentang bilangan sholat tarawih. Al-Bukhari sebagai salah seorang rawinya memasukkan hadis ini dalam “Kitab Tarawih” dalam kitab Sahih-nya.
Beliau tidak memasukkannya dalam kelompok hadis-hadis witir dalam “Kitab Witir”. Jadi pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini tentang witir tidaklah tepat. Praktik sebelas rakaat di zaman Rasulullah SAwini berlanjut terus hingga zaman ‘Umar.
Baca Juga: Misteri bangsa Nisnas, makhluk sebelum Nabi Adam yang membangun Atlantis dan Lemurian?
Sahabat yang bergelar Al Faruq ini menertibkan pelaksanaan jamaah tarawih di Masjid Nabawi pada tahun 14 H/635 M supaya dilakukan sebelas rakaat.
Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa ‘Umar pernah mengubah kebijakannya. Bahkan tidak ada riwayat yang sahih bahwa dua khalifah sesudahnya yaitu ‘Usman dan ‘Ali pernah mengubah kebijakan itu. Karenanya, dapat diduga kuat bahwa selama masa Khulafa Rasyidin sholat tarawih di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat.
Salah satu ulama yang menyebut Umar sebagai pelopor sholat tarawih dua puluh rakaat adalah Ibn al-Mulaqqin.
Tetapi ulama dari Mazhab Syafii ini tidak menunjukkan bukti riwayat bahwa ‘Umar pernah mengubahnya dari sebelas menjadi dua puluh. Ia hanya menyimpulkan dengan memadukan asar Yazid Ibn KhuSaifah dengan asar Muhammad Ibn Yusuf.
Baca Juga: Waktu berlalu begitu cepat, ini penjelasannya dalam Al Quran dan Hadits Shahih
Jika memang asar Yazid Ibn Khusaifah (Nas 44-45) itu valid, hal tersebut hanya menunjukkan bahwa beberapa Sahabat di zaman ‘Umar melakukan tarawih dua puluh rakaat. Hanya itu. Tidak menunjukkan adanya perintah ‘Umar untuk mengubah salat tarawih secara resmi di Masjid Nabi saw menjadi salat dua puluh rakaat.
Ini artinya, sholat tarawih sebelas rakaat berlangsung terus hingga diubah oleh Mu‘awiyah pada akhir masa pemerintahannya (w. 60 H/680 M) atau beberapa tahun sebelum Perang al-Harrah (63 H/683 M). Sejak itu oleh khalifah pertama Dinasti Umayyah ini, salat tarawih di Masjid Nabawi adalah tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir dan ini berlangsung hingga abad ke-4 H.
Pada abad ke-4 H ini, di bawah panglima Jauhar al-Siqily, Dinasti Fatimiyah berhasil menaklukkan Dinasti Iksidiyah (dinasti yang berada di bawah kekuasaan Abbasiyah) sehingga secara otomatis Mekkah, Madinah, dan Jerussalem jatuh ke wilayah kekuasaan mereka. Dikuasainya tiga kota suci tersebut, kerajaan yang beraliran Syiah ini mengubah salat tarawih di Masjid Nabawi dari tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir menjadi dua puluh rakaat.
Saat wilayah Fatimiyah yang luas sedikit demi sedikit menyusut hingga lebih kecil dari wilayah Mesir sekarang, Madinah kembali dikuasai kalangan Sunni terutama Mazhab Maliki. Pada abad ke-8 H, Hakim Tinggi Madinah Imam al-‘Iraqi (w. 806/1403) kembali mempraktekkan shalat tarawih di Masjid Nabawi dengan tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir.
Baca Juga: Hari Pahlawan 10 November: Pekik 'Allahu Akbar' dan Resolusi Jihad dalam pertempuran Surabaya
Dalam pelaksanaannya dua tahap: dua puluh rakaat pada awal malam (selepas isya) dan enam belas rakaat pada akhir malam (menjelang subuh). Keadaan ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya.
Saat Perang Dunia I (1914-1918), penguasa Saudi memutuskan berkoalisi dengan Inggris. Setelah Dinasti Ottoman runtuh dalam Perang Dunia II, Abdulaziz dari kerajaan Arab Saudi menguasai seluruh Najd dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah tahun 1344 H/1926 M. Sejak dikuasainya wilayah Masjid Nabawi oleh pemerintahan Saudi hingga sekarang, salat tarawih dilaksanakan dalam formasi dua puluh rakaat.
Begitulah sejarah singkat perjalanan shalat tarawih di Masjid Nabawi dari masa ke masa. Apabila kita harus memilih praktik periode mana yang harus dicontoh tentu praktik pada masa Nabi saw yang harus kita ambil, karena yang menjadi hujah adalah praktik Rasulullah SAW sesuai sabda beliau: “shallau kama raaytuuni ushalli”, artinya sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku (Rasulullah SAW) shalat!***