AS tambah bantuan 50 jet tempur F-15 senilai Rp270 triliun untuk melanjutkan genosida di Gaza

- 18 Juni 2024, 19:56 WIB
Jet tempur F-15
Jet tempur F-15 / /The Drive

WartaBulukumba.Com - Pagi ke siang, bergeser ke senja, lalu beranjak ke malam, seolah tak ada bedanya di Gaza, Palestina. Langit cerah setiap saat bisa berubah kelam saat dikoyak oleh raungan mesin jet tempur, seperti burung pemangsa raksasa yang menghancurkan keheningan.

Ledakan-ledakan bom mengguntur tak kenal belas kasihan. Asap hitam menjulang, seperti naga jahat yang menghembuskan napas mematikan, menyelimuti kota dengan kegelapan.

Di antara reruntuhan yang berserakan, terdengar ratapan pilu mengapung di udara. Anak-anak, dengan mata yang telah kehilangan kilau masa kecilnya, berlari sambil memeluk boneka lusuh.

Baca Juga: Suara rintihan dari Gaza: Delapan bulan genosida menewaskan 37.296 rakyat Palestina

Di kamp-kamp pengungsian warga Palestina di Gaza, dentuman keras menggetarkan tanah dan membuat langit dipenuhi oleh asap tebal.

Di balik serangan ini, terdapat sebuah kisah politik yang rumit dan menyakitkan. Amerika Serikat (AS), di bawah tekanan pemerintahan Joe Biden, memutuskan untuk mendukung Israel penjajah dengan memberikan tambahan 50 jet tempur F-15, senilai lebih dari $18 miliar atau setara dengan 270 triliun rupiah.

Menurut laporan dari The Washington Post, keputusan ini tidak datang tanpa kontroversi. Gregory Meeks dan Senator Ben Cardin akhirnya setuju untuk mendukung penjualan senjata besar-besaran ini, meskipun harus menghadapi kritik dari berbagai pihak yang menentang kekerasan yang terus berlanjut di Gaza.

Baca Juga: 8 bulan perang di Gaza: Semua kelompok perlawanan Palestina masih tetap eksis

Keputusan ini menunjukkan betapa kompleksnya hubungan internasional yang melibatkan konflik di Timur Tengah.

Tekanan dari masyarakat internasional terus bertambah, dengan banyak yang berharap agar Israel penjajah mau menerima kesepakatan gencatan senjata yang diusulkan oleh Presiden Joe Biden.

Namun, di sisi lain, keinginan untuk mempertahankan pijakan keamanan di Jalur Gaza tetap menjadi prioritas utama bagi pemerintah Israel penjajah.

Baca Juga: Tentara AS terlibat langsung membantai 210 warga Palestina di Nuseirat?

Selasa pagi, tentara Israel penjajah melancarkan serangan terhadap personel keamanan sipil yang sedang bertugas di Rafah, menewaskan delapan orang.

Serangan menggunakan quadcopter dan artileri menghantam keluarga-keluarga yang tinggal di lingkungan Al Zytoun di tenggara Kota Gaza, menambah panjang daftar korban dan kerusakan yang terjadi.

Di Tepi Barat, situasi tidak jauh berbeda. Massa pemukim ilegal menyerang ambulans yang sedang membawa orang-orang Palestina yang terluka ke rumah sakit di kota Deir Dibwan, memperparah kondisi yang sudah memprihatinkan.

Kekerasan ini menciptakan rasa ketidakamanan yang mendalam bagi warga Palestina yang telah kehilangan banyak hal dalam hidup mereka.

Idul Adha, yang seharusnya menjadi hari penuh kebahagiaan, berubah menjadi potret duka di Gaza. Di saat tempat lain di dunia merayakan dengan meriah, masyarakat Gaza harus berjuang untuk bertahan hidup di tengah reruntuhan dan kelaparan.

Hari raya yang biasanya dirayakan dengan keluarga dan makanan lezat, kini hanya diisi dengan tangisan dan kehilangan.

Kisah sepotong apel yang menyegarkan di tengah kelaparan atau keinginan sederhana untuk melihat anak-anak bermain menjadi pengingat bahwa di tengah segala penderitaan, masih ada secercah harapan yang bisa menyinari kegelapan.

Cerita Ismail Al-Ghoul menggambarkan betapa sulitnya kehidupan di Gaza. Menurutnya, masyarakat di sana menghabiskan hari raya bukan dengan berkurban atau bersilaturahmi, tetapi dengan berpindah-pindah dari satu kuburan ke kuburan lain, mengunjungi puing-puing rumah yang hancur, dan pergi ke rumah sakit.

“Perjalanan dimulai saat fajar, bukan untuk mencari hewan kurban atau melakukan ritual, tetapi untuk mencari air, makanan, dan sedikit kegembiraan bagi anak-anak,” ungkap Ismail dengan penuh kepedihan.

Kisah Yousif Faris juga menambah kepedihan situasi di Gaza. Ia menceritakan bagaimana sepotong apel kecil yang luput dari pengawasan tentara Israel penjajah menjadi penyelamat di hari pertama Idul Adha.

“Yang mencengangkan di hari pertama Idul Adha bukanlah kami makan daging, amit-amit, yang rasa dan bentuknya hampir kami lupakan, melainkan sepotong apel yang lupa dicabut pohonnya oleh tentara Zionist. Setengah apel kecil menyegarkan tubuh saya yang sudah lama tidak makan makanan seperti ini. Gaza Utara kelaparan,” cerita Yousif dengan nada getir.

Gaza Utara, yang kini nyaris tidak berpenghuni karena serangan terus-menerus, menjadi saksi bisu kelaparan yang melanda masyarakatnya.

Mereka yang bertahan hidup harus rela mengais apa saja yang bisa dimakan, bahkan sepotong apel yang seharusnya menjadi makanan sehari-hari, kini menjadi kemewahan yang luar biasa.

Meqdad Jameel, dengan penuh haru, mengungkapkan keinginannya untuk merasakan kembali keramaian Idul Adha.

“Saya ingin merasakan ramainya Idul Adha, saya ingin anak-anak bermain ayunan di jalan saat matahari terbenam, dan saya ingin anak-anak yang mengganggu mengulangi takbir di masjid. Anak-anak dibunuh, menara masjid diubah menjadi batu nisan, dan ayunan digunakan di tenda,” ungkap Meqdad.

Ayunan yang seharusnya menjadi tempat bermain dan tawa anak-anak kini berubah menjadi tempat berlindung sementara.

Masjid, yang biasanya ramai dengan takbir dan doa, kini menjadi saksi bisu kekejaman perang. Semua ini menggambarkan betapa jauh harapan dan realitas masyarakat Gaza.

Lebih satu juta kasus penyakit menular

Lebih dari satu juta kasus penyakit menular dilaporkan di Jalur Gaza, termasuk hepatitis dan kekhawatiran akan penyebaran kolera akibat air yang terkontaminasi.

Menurut laporan dari Quds News Network pada Selasa, 18 Juni 2024, kondisi ini semakin memprihatinkan dengan 3.500 anak yang berisiko meninggal karena kekurangan gizi dan kurangnya suplemen nutrisi serta vaksinasi, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Gaza.

Anak-anak yang seharusnya berlari dan bermain, kini harus berjuang untuk hidup di tengah krisis kesehatan yang semakin mengerikan.

Di balik semua penderitaan ini, masyarakat Gaza tetap menunjukkan semangat yang tak terkalahkan.

Mereka berusaha bertahan dan berharap akan masa depan yang lebih baik, meski di tengah kegelapan dan kekejaman yang terus menyelimuti mereka.

Gaza mungkin hancur secara fisik, tetapi semangat warganya untuk bertahan hidup dan meraih masa depan yang lebih baik tidak akan pernah padam.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah