Atika: Seserpih cahaya di timur Bulukumba dari balik aroma bale tapa

- 27 Maret 2024, 00:16 WIB
Atika sedang melayani dan mengobrol dengan pembeli/WartaBulukumba.Com
Atika sedang melayani dan mengobrol dengan pembeli/WartaBulukumba.Com /

WartaBulukumba.Com - Saban hening pagi yang masih basah oleh embun, Desa Sangkala di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan bangun dari tidurnya.

Dari kejauhan, aroma ikan asap pelan-pelan memecah awal hari. Angin pagi membawa aroma asin yang berpadu dengan aroma ikan asap yang mulai menyebar dari sebuah gubuk di pinggiran jalan.

Di gubuk tersebut, Atika, seorang perempuan separuh baya dengan tangan yang terlatih, memulai harinya. Cahaya matahari menyelinap masuk ke gubuk sederhana, tempatnya mengolah sambil menjual ikan asap.

"Ye, masuk ki'," sapa Atika dengan ramah mengajak WartaBulukumba.Com yang sengaja menyambangi gubuknya pada Selasa sore, 26 Maret 2024.

Baca Juga: DAS Balangtieng Bulukumba: Beranda Komunitas mendukung ekonomi lokal dan pemulihan ekosistem

Kajang salah satu sentra produksi bale tapa di Bulukumba

Atika, perempuan penjual ikan asap di Desa Sangkala, Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Atika, perempuan penjual ikan asap di Desa Sangkala, Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. WartaBulukumba.Com

Kabupaten Bulukumba terkenal bukan hanya karena keindahan alam bawah lautnya, tetapi juga karena kekayaan kuliner khas daerahnya. Di sini, 'juku tapa' atau 'bale tapa' - nama lokal untuk ikan asap dalam dialek Konjo dan Bahasa Bugis - menjadi bagian penting dari warisan kuliner daerah.

Berbeda dari ikan asap pada umumnya yang biasanya menggunakan salmon atau bandeng, di Bulukumba, ikan asap dibuat dari ikan tuna atau tongkol yang besar. Ikan ini diolah dengan cara diiris tipis, ditusuk menggunakan lidi, lalu diolah melalui proses pengasapan yang unik.

Produksi ikan asap sangat mudah ditemukan di tiga kecamatan di kawasan timur Kabupaten Bulukumba yang merupakan sentra produksi bale tapa yaitu Herlang, Bonto Tiro dan Kajang.

Baca Juga: Setakik cerita dari pohon bissa paeng di Bulukumba: Penyelamat petani dan pencipta gula aren berkualitas

Proses pengasapan tradisional

Atika: Seserpih cahaya Bulukumba dari aroma bale tapa /WartaBulukumba.Com
Atika: Seserpih cahaya Bulukumba dari aroma bale tapa /WartaBulukumba.Com

Atika mengolah mengiris ikan, menyiapkan tusukan lidi, hingga proses pengasapan. Keunikan ikan asap Bulukumba ini terletak pada bahan kayu yang digunakan dalam proses pengasapan, menjaga agar ikan matang sempurna.

"Ye sendiri ja kerjakan semua," kata Atika saat ditanya tentang rutunitasnya menjual ikan asap.

Kecintaan masyarakat setempat terhadap juku tapa tidak hanya terbatas pada konsumsi lokal. Bahkan, produk ini telah menjangkau pelanggan internasional, termasuk warga Bulukumba yang bekerja di luar negeri seperti di Malaysia.

Atika menjual ikan asapnya dengan harga Rp20 ribu per tiga potong, dan kepala ikan dengan harga Rp20.000, memberikan nilai ekonomis yang signifikan bagi komunitas lokal.

Usaha ikan asap di Bulukumba, termasuk usaha yang dijalankan oleh Atika, bukan hanya merupakan cara untuk mencari nafkah, tetapi juga simbol kearifan lokal dan warisan budaya. 

Baca Juga: Mengulik potensi dua desa di Bulukumba yang dipilih Bank BRI sebagai Desa BRIlian

Proses pengasapan ikan ini bukan hanya pekerjaan, tapi sebuah seni dan warisan keluarga yang dia junjung tinggi.

Atika, sejak kecil, telah terbiasa dengan aroma asap yang menyeruak dari gubuk tua miliknya. Pengasapan ikan, metode pengawetan yang telah turun-temurun, bagi Atika bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi juga tentang mempertahankan sebuah warisan dan kearifan lokal.

Di balik senyumnya yang hangat, tersembunyi kisah perjuangan yang tidak ringan. Menghadapi pasang surut ekonomi, cuaca yang tak menentu, dan tantangan menjaga kualitas ikan asap, Atika tetap berdiri teguh. Kesulitan-kesulitan ini tidak hanya mengasah keahliannya dalam mengasap ikan, tapi juga menguatkan karakternya.

Hubungan Atika dengan para pembeli dan tetangganya pun mencerminkan kehangatan komunitas desa.

Mereka tidak hanya pelanggan, tapi juga bagian dari cerita hidupnya. Dengan ikan asapnya, Atika tidak hanya memberi makan, tapi juga membangun jembatan antara tradisi dan kebutuhan di meja-meja makan.

Atika, dengan gubuk asapnya, menjadi lebih dari sekadar penjual ikan asap. Dia adalah simbol ketabahan, harapan, dan ketahanan sebuah komunitas.

Dalam asap yang mengepul dan aroma ikan yang matang menggoda, terdapat cerita tentang kekuatan, cinta, dan kehidupan. Desa Sangkala, dengan segala kesederhanaannya, terus berdenyut, didorong oleh salah satunya semangat Atika yang tak pernah padam.***(Israwaty Samad)

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x