Harga satu buah perahu Pinisi Bulukumba bisa capai Rp15 miliar

- 30 April 2022, 02:00 WIB
Kapal Pinisi Aku Lembata sedang berlabuh di pelabuhan laut Lewoleba
Kapal Pinisi Aku Lembata sedang berlabuh di pelabuhan laut Lewoleba /Vox Timor/Emanuel Bataona

WartaBulukumba - Perahu Pinisi sejak dahulu datang bukan hanya sebagai sebuah budaya dalam pelayaran sejarah yang panjang, namun juga datang sebagai sebuah industri dan ekonomi kreatif.

Perahu Pinisi menemukan momentumnya secara global saat ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh UNESCO pada 2017 lalu.

Perahu layar tradisional khas Bulukumba, Sulsel ini memiliki ciri khas berupa dua tiang utama serta tujuh buah layar. Tiga layar berada di bagian depan, dua di bagian tengah, dan dua di bagian belakang.

Salah seorang pengusaha pembuatan kapal Pinisi di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari, Syamsidar, mengaku, Pinisi bukan hanya jadi kapal berlayar semata.

Baca Juga: BSU Bantuan Subsidi Upah 2022 cair sebelum lebaran Idul Fitri, cek dua cara pencairannya 

Saat ini Pinisi juga jadi perahu untuk wisata. Itu karena Pinisi banyak dijadikan sebagai restoran.

Menurut Syamsidar, restoran mewah banyak dibangun di atas perahu Pinisi, digunakan wisatawan untuk berwisata sambil menikmati kuliner.

"Saya sendiri yang terbilang baru dalam usaha Pinisi, telah banyak mendapat pesanan. Salah satunya restoran yang dibangun di perahu Pinisi," ungkapnya, dinukil dari Jejak Sulsel pada Jumat, 29 April 2022.

Baca Juga: Jutsuka dari Bulukumba Sulsel! Jangan sampai keliru, ini bukan camilan Jepang

Soal harga, perahu Pinisi memang memiliki nilai jual yang fantastis, tergantung dari ukurannya.

"Tergantung ukurannya, yang pasti seperti yang kami kerjakan sekarang itu pesanan dari luar, mencapai Rp15 Miliar lebih," katanya. 

Harga ini sepadan dengan kualitasnya kata Syamsidar. Pasalnya, bahan baku perahu Pinisi tebuat dari kayu kualitas super.

Baca Juga: Yummy! Lezatnya Dodol Balimbing di Bulukumba Sulsel, salah satu bahannya adalah jenis premium

"Kami sendiri menggunakan bahan kayu berkualitas, menggunakan kayu besi dan kayu berkualitas bagus," katanya.

Syamsidar juga mengaku, tenaga pengrajin yang mereka gunakan, sangan kompeten, dan merupakan asli masyarakat setempat.

Dalam pembuatan perahu Pinisi, atau perahu lainnya, memakan waktu hingga 8 bulan lamanya. Bahkan bertahun jikaukurannya lebi besar.

Baca Juga: Tas dari daun lontar produksi UMKM Atap Konjo Bontotiro Bulukumba menjadi souvenir peserta VKN

Selain Pinisi, di Ara Tanah Beru kata Syamsidar, masyarakat juga banyak membuat perahu kargo, penongkol, dan gae.

Kapal kargo biasanya digunakan untuk pengangkut barang, sedangkan penongkol dan gae untuk nelayan manangkap ikan.

"Saat ini saya sedang mengerjakan kapal kargo pemuat barang, dan sudah berjalan 3 bulan lamanya. Alahmadulillah sudah rampung hingga 80 persen," katanya.

Baca Juga: 50 UMKM Bulukumba semarakkan Ramadhan Fest yang dihelat komunitas wirausaha terbesar di Indonesia

Syamsidar menjelaskan, jika waktu pengerjaan juga ditentukan dari ketersediaan bahan, pasalnya dirinya sendiri tidak menggunakan kayu berkualitas rendah.

"Kalau bahan lancar, juga cepat selesai. Soalnya saya sendiri pakai kayu kualitas bagus, untuk menjamin keselamatan dan kualitas," katanya.

Di Desa Ara kata Syamsidar, ada banyak pengusaha pengrajin Pinisi, dia adalah salah satunya yang jasanya banyak digunakan orang.

Baca Juga: Yummy! Sate ayam enak dan menggoda di Palampang, Jalan Poros Bulukumba-Sinjai

Harapan Syamsidar kepada pemerintah yakni ada upaya membuka ruang ke pengusaha Pinisi agar bisa menemukan pasar Internasional.

Legenda Perahu Pinisi

Sejauh ini belum ada catatan sejarah yang menyimpulkan sejak kapan Perahu Pinisi mulai ada.

Namun dari sudut legenda, tertuang dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, perahu Pinisi sudah ada sejak abad ke-14 M.

Pada naskah tersebut, diceritakan perahu ini pertama kali dibuat oleh putra mahkota Kerajaan Luwu yang bernama Sawerigading. Sawerigading membuat perahu pinisi dari pohon welengreng yang dikenal kuat dan kokoh.

Perahu ini dibuat oleh Sawerigading untuk melakukan perjalanan menuju Tiongkok. Ia berminat mempersunting seorang putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Setelah sekian lama ia menikahi We Cudai dan menetap di Tiongkok, Sawerigading ingin pulang ke kampung halamannya. 

Singkat cerita ia pun menaiki perahu buatannya untuk kembali ke Luwu. Namun, ketika berada di dekat Pantai Luwu perahu Sawerigading menghantam ombak hingga terpecah.

Pecahan-pecahan perahu Sawerigading terdampar ke tiga tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba, yaitu di Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Pecahan-pecahan perahu ini kemudian disatukan kembali oleh masyarakat menjadi sebuah perahu megah yang dinamakan dengan Perahu Pinisi.

Tahap Pembuatan Perahu Pinisi

Dinukil dari laman ditsmp.kemdikbud.go.id, ada tiga tahap dalam proses pembuatan perahu pinisi dengan cara tradisional yang dimiliki oleh suku Bugis.

Pertama adalah penentuan hari baik dalam pencarian kayu fondasi. Kayu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan perahu bisa berasal dari empat jenis kayu, yaitu kayu besi, kayu bitti, kayu kandole dan kayu jati.

Selanjutnya, kayu yang hendak digunakan akan dipotong dan dikeringkan terlebih dahulu sebelum akhirnya dirakit. Perakitannya dengan memasang lunas, papan, mendempulnya, dan memasang tiang layar.

Dalam proses perakitan juga terdapat hal yang unik, yaitu saat pemotongan lunas harus menghadap timur laut. Proses pemotongan kayu harus dilakukan dengan gergaji tanpa henti. Pemotongan kayu memerlukan tenaga seseorang yang cukup kuat. 

Prosesi Peluncuran Perahu Pinisi ke Laut

Setelah proses perakitan yang berlangsung hingga berbulan-bulan, tahapan terakhir dari pembuatan perahu pinisi adalah peluncuran perahu ke lautan.

Pada tahapan ini, terdapat sebuah upacara atau ritual khusus yang dinamakan dengan upacara maccera lopi (menyucikan perahu). Upacara ini dilakukan dengan prosesi pemotongan hewan. Apabila bobot perahu kurang dari 100 ton maka hewan yang dikorbankan adalah seekor kambing, sedangkan jika lebih dari 100 ton hewan yang dikorbankan adalah seekor sapi.

Sampai saat ini, Kabupaten Bulukumba, tepatnya di daerah Tana Beru, masih menjadi daerah yang memproduksi perahu pinisi ini. Uniknya lagi, para pengrajin tetap mempertahankan cara pembuatan perahu pinisi. Tidak ada gambar ataupun kepustakaan lainnya dalam cara pembuatannya, para pengrajin hanya mengandalkan ilmu yang diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun.

UNESCO Menetapkan Pinisi Sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda

Lembaga PBB, UNESCO, menetapkan pinisi sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan dan dilindungi.

Ditakik dari AntaraNews, 9 desember 2017, pengakuan atas Pinisi sebagai warisan dunia ditetapkan melalui persidangan oleh Badan PBB untuk Bidang Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan (INESCO) dalam sidang ke-12 Komite Warisan Budaya tak Benda di Pulau Jeju, Korea Selatan, pada Kamis 7 Desember 2017.***

 

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x