“Jilid dua tidak menyelesaikan masalah. Klimaks buku (novel) ini ada pada jilid satu,” tandas Lily.
Ketika membahas jilid satu novel tersebut pada acara Bazar Bedah Buku di Figor Cafe, Makassar, Sabtu, 25 Desember 2021, Lily melihat buku tersebut dari sudut pandang egalitarianisme.
Ia mengatakan, contoh tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam novel ini, tampak pada tokoh Esti yang digambarkan sebagai tokoh yang mandiri, bukan saja terkait ekonomi tapi juga dalam pengambilan keputusan.
Sebagai pegiat isu gender, Lily melihat bahwa keputusan untuk menikah itu dilakukan setara. Bila prosesnya tidak setara, justru posisi laki-laki dan perempuan sama-sama dirugikan.
Aktivis yang bergabung di Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SP-AM) mengatakan, di dalam masyarakat patriarki, tidak banyak perempuan yang punya posisi sosial seperti Esti.
“Pernikahan itu sejatinya kasih sayang, dan esensi mahar itu, berdasarkan teori-teori, sesungguhnya adalah kasih sayang,” kata Lily.
Novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan” dikatakan layak sebagai hadiah kepada teman-teman yang belum menikah, bahkan kepada orang yang berlainan agama, agar paham tentang konsep ta’aruf (pendekatan dan perkenalan, red).
“Dalam buku ini, pembaca juga memperoleh pemahaman terkait ta’aruf. Ta’aruf itu justru membuktikan bahwa kedua orang yang akan menikah, punya independensi bukan intervensi. Soal mahar, mahar itu kontekstual. Mahar pedang dan kain kafan merupakan sesuatu yang out of the box, yang tidak terjebak pada materialism,” kata Lily. (bersambung).***