WartaBulukumba - Sapardi Djoko Damono dan puisi-puisi yang dilahirkannya dalam jagat kepenyairan Indonesia adalah juga magma bagi perjalanan sastra Indonesia di abad modern.
Tipografi dan diksi dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono masuk dalam pemilihan yang terkesan sangat hati-hati.
Metafora beranjak sekilas dari diksi yang ringan namun bertumpuk dalam aliran-aliran makna yang dalam.
Selain puisi "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono yang sangat terkenal itu, ada sederet karya puisi lainnya dari sastrawan Indonesia ini yang juga sangat cantik dan memikat.
Berikut tujuh puisi Sapardi Djoko Damono yang maknanya sangat dalam dengan diksi manis dan tipografi yang memukau.
Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
1978
Baca Juga: Keren! Seniman muda Bulukumba ini melukis dengan api
Kuhentikan Hujan
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak
Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
Baca Juga: Puisi 'Kepada Para Pengkotbah' penyair Bulukumba Andhika Mappasomba
Sajak Tafsir
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu.
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
Akulah Si Telaga
akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
— perahumu biar aku yang menjaganya.
1982
Hujan Dalam Komposisi, 1
Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari
daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela?
Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang
turun di selokan?
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan
hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan
yang berulang.
“Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di
balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa
pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik
air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau
memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu
tidur.”
Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan
tak lagi mengenalnya.
1969
Hujan Dalam Komposisi, 2
Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di
udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam
dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau
bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari
daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di
pekarangan rumah, dan kembali ke bumi.
Apa yang kita harapkan? Hujan juga terjatuh di jalan yang
panjang, menusurnya, dan tergelincir masuk selokan
kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus
mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini,
bercakap tentang lautan.
Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan,
Selamat tidur.
1969
Hujan Dalam Komposisi, 3
dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya
terpisah dari hujan
1969
Sapardi Djoko Damono memang telah tiada namun puisi-puisi sastrawan Indonesia ini masih tetap 'hidup'.***