Maya berusaha untuk bangkit kembali dari patah hatinya, namun sulit baginya untuk melupakan semua kenangan indah yang telah ia alami bersama mantan pacarnya. Ia sering mengingat kenangan mereka bersama dan merasa sedih karena hubungan itu kini telah berakhir.
Namun, suatu hari Maya bertemu dengan seorang teman lama yang ia kenal dari masa kuliah. Teman itu, bernama Dika, adalah seseorang yang selalu menemani Maya saat ia sedih dan butuh teman untuk berbagi cerita. Dika mendengarkan keluh kesah Maya tentang patah hatinya dan memberikan dukungan moral kepadanya.
Bersama Dika, Maya belajar untuk memulihkan diri dari luka hatinya. Dika mengajarkan kepada Maya bahwa terkadang, hal-hal buruk terjadi dalam hidup kita, tetapi kita harus selalu berusaha untuk bangkit kembali. Maya mulai merasa lebih baik setiap harinya, meskipun masih ada saat-saat ketika rasa sedih kembali muncul.
Suatu hari, Maya dan Dika pergi ke sebuah pesta ulang tahun teman mereka. Di sana, Maya bertemu dengan seorang pria yang menarik perhatiannya. Pria itu bernama Rian, dan Maya merasa ada kecocokan antara mereka.
Mereka mulai berbicara dan Maya merasa nyaman bersama Rian. Mereka saling bertukar nomor telepon dan berjanji untuk bertemu lagi di lain waktu. Maya merasa bahwa mungkin, ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya.
Meskipun masih terasa sulit untuk melupakan mantan pacarnya, Maya memilih untuk membuka hatinya lagi untuk cinta. Ia menyadari bahwa meskipun ia pernah merasakan luka hati yang dalam, ia masih bisa mencintai dan dicintai kembali. Kehadiran Dika dan Rian memberikan harapan baru bagi Maya untuk memulai kembali hidupnya dan melupakan luka hatinya yang lama.
Artikel 500 kata!
Ada beberapa hal yang membuat putus cinta menjadi sulit bagi anak milenial. Pertama, adanya media sosial yang terus mempertontonkan kebahagiaan orang lain. Banyak anak milenial yang merasa sedih dan kehilangan saat melihat mantan pasangan mereka sedang bahagia bersama orang lain di media sosial. Hal ini bisa memicu perasaan cemburu dan kekecewaan yang semakin memperburuk keadaan.
Kedua, adanya teknologi yang memudahkan komunikasi. Sebagai anak milenial, mereka biasanya terbiasa untuk selalu terhubung dengan orang lain melalui pesan singkat atau media sosial. Namun, setelah putus, kontak terus-menerus dengan mantan pasangan bisa membuat mereka sulit untuk move on. Bahkan, ketika mantan pasangan memilih untuk tidak membalas pesan atau telepon, anak milenial bisa merasa semakin terluka dan kesepian.
Ketiga, sulit untuk menemukan waktu yang tepat untuk berduka. Kehidupan anak milenial sering kali sangat sibuk dengan pekerjaan, kuliah, atau aktivitas sosial lainnya. Terkadang, mereka merasa sulit untuk menemukan waktu yang tepat untuk berduka dan menghadapi perasaan sedih yang mereka alami. Hal ini bisa membuat proses penyembuhan menjadi semakin lama dan sulit.
Editor: Nurfathana S