Pakar Hukum Tata Negara sebut Jokowi tidak cermat memahami UU Pemilu

- 24 Januari 2024, 22:21 WIB
Presiden Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah pada Ahad, 28 Juli 2019.
Presiden Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah pada Ahad, 28 Juli 2019. /Dok. BPMI Setpres

WartaBulukumba.Com - Gelombang polemik sontak mengalir deras di ruang publik dan diskursus di seputar hukum dan konstitusi. Bermula dari sebuah statement Presiden Jokowi yang menyebutkan bahwa "presiden boleh berkampanye dan berpihak dalam Pemilu 2024".

Meruyak pertanyaan sekaligus kebingungan di seputar etika politik dan netralitas yang harus ditunjukkan seorang pemimpin negara.

Dalam lanskap politik Indonesia yang dinamis, pernyataan terbaru Presiden Joko Widodo, yang menyetujui kampanye dan dukungan terbuka oleh presiden dan menteri untuk calon presiden dan wakil presiden, telah memicu debat panas.

Baca Juga: Debat Cawapres 2024: Mahfud MD singgung konsep Tuhan-Manusia-Alam dan proyek Food Estate yang gagal total

Jokowi dianggap mengabaikan pasal-pasal yang relevan

Sebuah tanggapan dilontarkan Ahsanul Minan, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).

Dia menguraikan, pernyataan Jokowi mencerminkan kekurangcermatan dalam memahami UU Pemilu. Ia mengacu pada Pasal 281 ayat (1) yang memungkinkan pejabat negara berkampanye dengan syarat tertentu, namun Jokowi dianggap mengabaikan pasal-pasal lain yang relevan.

"Dengan hanya merujuk pasal 281 maka presiden sebenarnya tidak mematuhi UU Pemilu itu sendiri karena tidak mempertimbangkan pasal pasal 282 No 7 tahun 2017 dan 283 ayat 1 dan 2," kata Minan, dikutip dari laman NU Online pada Rabu, 24 Januari 2024.

Baca Juga: Isu pemakzulan Jokowi, Stafsus Presiden sebut hal wajar

Minan menyoroti Pasal 282 ayat 7 dan 283 ayat 1 dan 2, yang mengatur larangan berpihak bagi pejabat negara secara umum. Kedua pasal ini, menurut Minan, tidak dipertimbangkan oleh Jokowi dalam pernyataannya, menunjukkan adanya kesalahan interpretasi atau pengabaian terhadap aspek hukum yang penting.

Komentar ini menjadi sorotan karena kontradiksi dengan sikap netralitas yang sebelumnya ditekankan oleh Jokowi kepada ASN, TNI dan Polri. 

Kontroversi ini memperlihatkan tantangan dalam menjaga netralitas politik di Indonesia, terutama di kalangan pejabat tinggi negara. Kejelasan hukum dan konsistensi interpretasinya menjadi kunci untuk memastikan integritas dan keadilan dalam proses demokrasi di Indonesia.

Selama pemerintahannya, Jokowi dikenal menekankan pentingnya netralitas bagi pejabat pemerintah pusat, daerah, TNI, Polri, dan ASN dalam urusan politik. Namun, pernyataan terbarunya tampak berseberangan dengan prinsip-prinsip ini, mengundang perdebatan dan kritik dari berbagai pihak.

Baca Juga: Poling online Pikiran-rakyat.com: 'Apa yang menjadi pertimbangan dalam memilih presiden?'

Mahfud Md mundur

Pernyataan Presiden Jokowi muncul setelah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan sekaligus cawapres Mahfud MD menyatakan “akan mundur” dari jabatannya.

Mahfud Md juga menyoroti pejabat publik yang disebutnya “memanfaatkan jabatannya” guna mendapat fasilitas negara selama kampanye Pemilu 2024.

 

Namun, menurut Presiden Jokowi, sebagian menterinya yang berkampanye selama Pilpres 2024 "boleh saja". Dia juga tak memasalahkan apabila mereka "memihak" capres tertentu.

“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Yang paling penting, presiden itu boleh lho kampanye, boleh memihak," kata Jokowi, dikutip dari BBC News Indonesia pada Rabu.

Namun demikian, imbuhnya, "Yang paling penting saat kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara.”

Jokowi menegaskan hal itu ketika bersama Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden Prabowo Subianto di sebuah acara di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu.

Menurutnya, presiden dan menteri adalah “pejabat publik sekaligus pejabat politik”.

“Masa gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh.. Boleh. Menteri juga boleh,” tutur Jokowi.

“Semua itu pegangannya aturan. Kalau aturannya boleh ya silakan, kalau aturannya enggak boleh ya tidak,” sambungnya.***

 

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah