Nasib terkini pengungsi Rohingya yang terkatung-katung ditolak masyarakat Aceh

- 12 Desember 2023, 19:10 WIB
Para pengungsi Rohingya beralas lantai tidur siang di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) untuk sementara waktu pada Selasa, 12 Desember 2023.
Para pengungsi Rohingya beralas lantai tidur siang di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) untuk sementara waktu pada Selasa, 12 Desember 2023. /Kilasaceh.com/anshori
 
WartaBulukumba.Com - Mereka telah jauh mengarungi lautan untuk melarikan diri dari kebiadaban genosida di negerinya dan Indonesia menjadi tanah tujuan. Saat ini jumlah pengungsi Rohingya di Aceh sebanyak 1.684 orang, yang tersebar di delapan titik penampungan.



"Sampai hari ini pengungsi yang ada di Aceh kurang lebih 1.684 orang, mereka tersebar di delapan titik," jelas Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki di Banda Aceh, dikutip dari Antara pada Selasa, 12 Desember 2023.
 
Ribuan pengungsi Rohingya bisa ditemukan di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Pidie, dan Kota Lhokseumawe.  Adalah kewajiban bagi pemerintah daerah yang telah diatur dalam Perpres Nomor 125 Tahun 2016, bahwa pemerintah kabupaten/kota harus menyiapkan lokasi penampungan untuk pengungsi.
 
"Ada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan, misalnya sanitasi, masalah MCK, kesehatan, rumah ibadah dan lain-lain," jelas Achmad Marzuki.
 
 
Ihwal penanganan di lokasi pengungsian, lanjut Achmad Marzuki, tentu yang namanya pengungsi, yang paling diutamakan ialah memberikan bantuan kemanusiaan. 
 
Kendati begitu, lanjut dia, pemerintah harus mengatur berapa lama para pengungsi tersebut bisa dipindahkan ke tempat yang lebih layak, karena mereka juga memerlukan akses kesehatan, akses kebersihan, dan lainnya.
 
"Jadi, untuk masyarakat sendiri juga sejauh ini kalau (Rohingya) sudah berada di laut, diterima. Namun setelah di darat kita (pemerintah) memang harus pikirkan tempatnya," ujarnya.
 

Warga Aceh terus menolak pengungsi Rohingya

Gaung penolakan terus disuarakan sebagian warga Aceh terhadap kehadiran pengungsi Rohingya di daerah mereka.
 
Menakik Bandaaceh.pikiran-rakyat.com pada Selasa, sebuah kapal pembawa 137 pengungsi Rohingya, yang terdiri dari 42 laki-laki dan 105 perempuan, kembali mendarat di pantai Blang Ulam Lamreh Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar sekitar pukul 08.30 WIB pada Ahad kemarin. Namun, Pada malam harinya, masyarakat setempat mengangkut para pengungsi ke halaman kantor gubernur Aceh.
 
Menumpang dua mobil truk dan satu pikap L-300 milik warga Lamreh, para pengungsi diturunkan di teras depan kantor Gubernur Aceh. Keputusan tersebut diambil setelah warga merasa frustrasi atas ketidakmampuan pemerintah dan UNHCR (Badan Pengungsi PBB) dalam menangani masalah keberadaan pengungsi Rohingya yang semakin membesar di wilayah mereka.
 
 
Upaya warga untuk mencari solusi bersama dengan pihak berwenang diklaim tidak membuahkan hasil, sehingga mereka mengambil langkah ekstrim. Bahkan, warga memberikan batas waktu hingga Ahad sore agar pengungsi segera dipindahkan. 
 
Keesokan harinya, Senin, pihak keamanan memindahkan para pengungsi Rohingya ke tugu taman Ratu Safiatuddin, sekitar 750 meter dari kantor Gubernur Aceh. Berdasarkan hasil rapat dengan asisten I, pengungsi Rohingya dipindahkan lagi ke Ladong.
 
"Sesuai hasil rapat dengan asisten I, kami diperintahkan untuk membawa saudara Muslim Rohingya akan kita angkut ke Ladong yang memang bangunan milik pemerintah Aceh. Sekitar 1 minggu disana sambil nanti kita cari solusi lagi dengan pihak UNHCR dan IOM,” kata Azman, Kabid Ketentraman dan Ketertiban Umum Satpol PP Aceh.

Apa itu krisis Rohingya?

Ketika ratusan ribu pengungsi Rohingya yang ketakutan membanjiri pantai dan sawah-sawah di selatan Bangladesh pada Agustus 2017, anak-anaklah yang menarik perhatian banyak orang. Saat pengungsi - hampir 60 persen di antaranya adalah anak-anak - membanjiri perbatasan dari Myanmar ke Bangladesh, mereka membawa cerita tentang kekejaman dan kebrutalan yang tak terucapkan yang mendorong mereka untuk melarikan diri.

Menakik penjelasan di laman Unicef.org, pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari serangan dan kekerasan dalam eksodus 2017 bergabung dengan sekitar 300.000 orang yang sudah berada di Bangladesh dari gelombang pengusiran sebelumnya, efektif membentuk kamp pengungsi terbesar di dunia. Enam tahun kemudian, sekitar setengah juta anak pengungsi Rohingya tinggal dalam pengasingan dari negara asal mereka. Banyak dari mereka lahir dalam situasi yang tak pasti ini.

Rohingya sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk perlindungan, makanan, air, tempat tinggal, dan kesehatan, dan mereka tinggal di tempat penampungan sementara di setting kamp yang sangat padat.

Bagaimana krisis Rohingya mempengaruhi anak-anak?

Meskipun layanan dasar telah disediakan, anak-anak masih menghadapi wabah penyakit, kekurangan gizi, kesempatan pendidikan yang tidak memadai, dan risiko terkait pengabaian, eksploitasi, dan kekerasan termasuk risiko kekerasan berbasis gender, pernikahan anak, dan buruh anak. 

Di Myanmar, sebagian besar warga Rohingya tidak memiliki identitas hukum atau kewarganegaraan dan tanpa negara tetap menjadi keprihatinan yang signifikan. Anak-anak Rohingya di Negara Bagian Rakhine, sementara itu, telah terkekang oleh kekerasan, pengusiran paksa, dan pembatasan atas kebebasan bergerak.

Hingga kondisi yang memungkinkan keluarga Rohingya kembali ke rumah dengan hak-hak dasar - keamanan dari kekerasan, kewarganegaraan, kebebasan bergerak, kesehatan, dan pendidikan - tercipta di Myanmar, mereka terjebak sebagai pengungsi atau orang yang terinternalisasi yang tinggal dalam kondisi yang padat dan terkadang berbahaya.***

Editor: Nurfathana S


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x