Peringatan dini BMKG: Waspada gelombang tinggi di beberapa wilayah perairan Indonesia

- 13 Maret 2023, 05:00 WIB
Ilustrasi gelombang tinggi
Ilustrasi gelombang tinggi /Pixabay/Schäferle

WartaBulukumba - Lautan yang sepi dan tenang tiba-tiba bisa menjadi gelombang tinggi yang memukul keras pantai. 

Ombak yang menjulang tinggi datang dengan suara gemuruh yang menggema di telinga. Air laut terlihat berubah warna menjadi kebiruan yang gelap dan surut yang cepat menyapu pantai.

Pecahan karang dan kerikil terbawa arus air yang deras dan berputar-putar, membuat air terlihat lebih jernih. Meskipun pemandangan yang indah, namun gelombang tinggi yang tak terkendali ini bisa menimbulkan bahaya bagi para nelayan dan pelayaran.

Baca Juga: Ditolak di berbagai daerah namun Ustadz Hanan Attaki diterima penuh cinta di Bulukumba

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan mengenai gelombang tinggi yang berpotensi terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia pada tanggal 13-14 Maret 2023.

Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG, Eko Prasetyo, mengimbau masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di pesisir area yang berpotensi terjadi gelombang tinggi untuk tetap waspada.

"Potensi gelombang tinggi di beberapa wilayah tersebut dapat berisiko terhadap keselamatan pelayaran," kata Eko Prasetyo, dikutip dari Antara paad Ahad, 12 Maret 2023.

Baca Juga: BMKG ingatkan sebagian wilayah Indonesia hadapi musim kemarau yang lebih kering pada April 2023

Gelombang tinggi tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti pola angin di wilayah Indonesia bagian utara yang bergerak dari barat laut-timur laut dengan kecepatan angin berkisar antara 5 hingga 25 knot,.

Begitu halnya di wilayah Indonesia bagian selatan yang bergerak dari tenggara-barat daya dengan kecepatan angin berkisar antara 3 hingga 15 knot.

Kondisi ini menyebabkan peningkatan gelombang setinggi 1,25 hingga 2,5 meter di beberapa wilayah, seperti Selat Malaka bagian utara, perairan utara Sabang, perairan barat Aceh-Kep. Mentawai, perairan Pulau Enggano-Bengkulu, perairan barat Lampung, dan Samudra Hindia Barat Sumatra.

 

Baca Juga: Inilah 123 titik rukyatul hilal di Indonesia

Kemudian membentang ke Teluk Lampung bagian selatan, Selat Sunda bagian barat-selatan, perairan selatan Pulau Jawa-Pulau Sumba, Selat Bali, Lombok, Alas bagian selatan, Selat Sumba bagian barat, Samudra Hindia Selatan Jawa-NTT, perairan timur Bintan-Kep. Lingga, Laut Natuna, perairan Bangka Belitung, Selat Karimata, perairan Kalimantan Utara, Laut Sulawesi bagian barat-tengah, perairan Kep. Sangihe-Kep. Talaud, perairan Bitung-Kep. Sitaro, Laut Maluku bagian utara, perairan utara Kep. Halmahera, Laut Halmahera, perairan Raja Ampat-Manokwari, dan Samudra Pasifik Utara Halmahera-Papua Barat.

Sementara itu, gelombang yang lebih tinggi dengan kisaran antara 2,5 hingga 4 meter berpotensi terjadi di Laut Natuna Utara, perairan utara Kep. Anambas-Kep. Natuna.

BMKG mengimbau masyarakat untuk selalu waspada, terutama bagi nelayan yang beraktivitas dengan moda transportasi seperti perahu nelayan.

Baca Juga: Reformasi Mahkamah Agung 2023 juga merambah sistem digital

Pemanasan Global Seiring Cuaca Ekstrem

Dengan meningkatnya pemanasan global, tingkat keparahan dan frekuensi peristiwa cuaca ekstrem juga meningkat secara dramatis, ini termasuk peningkatan jumlah kejadian ekstrem majemuk.

Istilah terakhir menjelaskan skenario di mana cuaca buruk dan peristiwa iklim digabungkan bersama, membuat peristiwa tersebut lebih dahsyat daripada peristiwa cuaca dan iklim yang terpisah.

Kekeringan majemuk dan gelombang panas (DHW), misalnya, dapat menyebabkan kerusakan besar pada masyarakat melalui kerugian pertanian, kebakaran hutan, dan kematian. Dengan demikian, telah banyak penelitian tentang mekanisme DHW ini berdasarkan interaksi antara tanah dan atmosfer.

Baca Juga: Upaya persuasif TNI-Polri belum berhasil, pilot Susi Air masih disandera teroris Papua

Namun, sebagian besar penelitian sebelumnya terutama berfokus pada Eropa, dengan sedikit penelitian yang mengamati mekanisme DHW di Asia Timur bagian utara, wilayah yang telah mengalami peningkatan kejadian DHW sejak akhir 1990-an.

Sebuah tim peneliti yang dipimpin Profesor Kyung-Ja Ha dari Pusan ​​​​National University di Korea Selatan, turun tangan untuk menjembatani kesenjangan ini. Dalam makalah mereka yang diterbitkan pada 15 Desember 2022, di Volume 5 Ilmu Iklim dan Atmosfer npj, tim mengamati terjadinya DHW di Asia Timur bagian utara dengan mengeksplorasi penggandaan suhu-kelembaban tanah.

"erbedaan suhu dan curah hujan regional dapat berdampak besar pada gabungan peristiwa ekstrem. Dengan melihat hubungan antara kelembaban tanah dan suhu udara, kami dapat menemukan interaksi tanah-atmosfer yang berfungsi sebagai mekanisme terjadinya DHW di wilayah spesifik ini.," urai Profesor Kyung-Ja Ha, dikutip dari Prevention Web pada Kamis, 8 Maret 2023.

Tim mempelajari data yang disebutkan di atas, bersamaan dengan terjadinya DHW untuk wilayah di Asia Timur bagian utara, seperti sebagian Cina utara dan Mongolia timur, dari tahun 1980 hingga saat ini.

Mereka menemukan bahwa, sejak akhir 1990-an, kurangnya kelembaban yang terus-menerus di dalam tanah dari musim semi ke musim panas menyebabkan berkurangnya penguapan dan transpirasi air dari tanah, yang meningkatkan tekanan penguapan dan gelombang panas yang diperkuat, memicu senyawa DHW yang menyebabkan pengurangan kelembaban tanah.

Kopling kelembaban-suhu yang meningkat ini meningkatkan interaksi tanah-atmosfer, yang mengarah ke gabungan DHW di wilayah tersebut.***

Editor: Nurfathana S


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x