Menyingkap tradisi 'massuro baca' suku Bugis Makassar jelang Ramadhan, termasuk di Bulukumba

- 21 Maret 2023, 20:56 WIB
Ilustrasi massuro baca
Ilustrasi massuro baca /Foto: Mahbubah Uba

WartaBulukumba -  Selepas waktu sholat Maghrib di sebuah rumah di salah satu pelosok Bulukumba, di tengah keharuan doa bersama, terhampar sajian makanan khas seperti ayam nasu likku dan nasi ketan hitam putih yang mempersatukan generasi muda dan tua. Selain doa, ada kenangan yang terus terjaga terhadap orang-orang tercinta yang lebih dahulu menghadap ke Hadirat-Nya.

Suasana massuro baca merupakan momen yang sakral bagi masyarakat Muslim Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk di Bulukumba.

Kebudayaan suku Bugis dan Makassar dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu, yang terlihat dalam dialek, bahasa, dan adat istiadat yang mereka miliki. Tradisi massuro baca adalah membaca doa bersama- yang terus dilestarikan turun-temurun oleh masyarakat suku Bugis Makassar.

Baca Juga: Dai Bulukumba ingatkan hadits Rasulullah SAW tentang pemimpin yang seperti singa

Tradisi ini sendiri biasanya dilaksanakan di rumah keluarga, dengan dipimpin oleh seorang guru yang dipercaya sebagai pembawa doa. Biasanya, guru ini adalah khatib (puang katte) atau pendeta desa (puang Imang). Doa yang dibawakan adalah doa untuk leluhur serta keluarga yang sedang merantau. Jadi bukan hanya untuk orang yang sudah meninggal dunia.

Dikutip dari Etnis.id, Wekke (2013), salah satu peneliti Bugis mengungkapkan jika tradisi massuro baca cukup unik mengingat karakter masyarakat Bugis Makassar yang keras namun tetap bisa melebur dengan ajaran Islam. Dalam tradisi massuro baca pun demikian. Tradisi tersebut telah bercampur dengan pengaruh ajaran Islam.

Dalam tradisi massuro baca, cara pelaksanaannya tidak begitu rumit. Hanya membuat beberapa jenis makanan yang memang menjadi syarat dalam tradisi massuro baca.

Baca Juga: Mengapa komunitas adat Ammatoa Kajang di Bulukumba harus memakai pakaian hitam-hitam? Ini filosofinya

Hingga hari ini, sebagian besar masyarakat suku Bugis Makassar yang mayoritas beragama Islam masih tetap menjaga erat tradisi khas ini dalam menyambut bulan suci Ramadhan.

Pada tradisi massuro baca melekat silang pendapat secara klasik dari zaman dahulu hingga hari ini perihal hukumnya dalam Islam.

Sebagian mengharamkan dengan menggolongkan tradisi massuro baca termasuk bid'ah dengan disertai dalil penguat. Sementara sebagian ulama juga membolehkan dengan dalil yang kuat pula. Dari wilayah penjelasan budaya pun, tradisi ini dianggap sah-sah saja.

Baca Juga: 7 amalan Asmaul Husna dalam dzikir dan doa untuk meminta rezeki berupa kekayaan, kesehatan dan umur panjang

Kultural-Religius

Salah satu pandangan terhadap massuro baca yang bisa dijadikan referensi menarik, dengan melihat kapasitasnya sebagai seorang budayawan dan sastrawan sekaligus da'i senior di Bulukumba, yaitu Andi Mahrus, kita bisa memahami penjelasan dari dua ruang sekaligus, budaya dan Islam

Andi Mahrus menulis sebuah esai religius pada3 April 2021, berjudul "MASSIARA KUBURUQ" DAN "MASSURO BACA" MENJELANG RAMADAN.

Sastrawan dan kritikus sastra ini menguraikan kebiasaan masyarakat Sulawesi Selatan melakukan ritual "massiara kuburuq" dan "massuro baca" sebelum memasuki bulan suci Ramadhan adalah perilaku yang baik.

Baca Juga: Sejarah penampakan UFO di Parepare hingga Bulukumba pada tahun 1955

"Sebentuk tradisi budaya-Islam yang, tentu saja, bernilai manfaat. Apabila ritual semacam ini dilakukan dengan ikhlas tanpa tendensi peribadatan yang menyimpang dari syariat, maka pelakunya dijamin memperoleh pahala dari Allah SWT," urai Andi Mahrus.

Lebih menukik ke dalil yang ada, Andi Mahrus menuturkan bahwa di mata umat Islam, Ramadhan adalah bulan yang suci penuh rahmat. Menyambut Ramadhan dengan hati yang gembira adalah sunnah Rasulullah SAW.

Andi Mahrus mengutip hadits: "Man fariha bidukhuuli ramadhaana faharramallaahu jazadahu alanniiraani."

Artinya: "Barangsiapa yang merasa gembira memasuki/menyambut bulan Ramadhan, maka dijamin jazadnya tidak tersentuh api Neraka."

Baca Juga: Belajar cara merawat alam pada komunitas adat Ammatoa di Bulukumba

"Kegembiraan menyambut bulan suci yang penuh berkah tersebut, oleh sebagian masyarakat Bugis Makassar, biasanya diwujudkan dalam perilaku ritual kultural-religius. Dua hal di antaranya ialah melakukan ziarah kubur dan pembacaan doa-doa. Ziarah kubur, biasanya dilakukan dengan mendatangi makam keluarga untuk memanjatkan doa-doa keselamatan bagi ahli kubur. Selain itu, ada pula di antara mereka mengunjungi makam para wali yang diyakini memiliki kedekatan kepada Rahmat Allah SWT," jelasnya.

Adapun ritual massuro baca biasanya dilakukan di dalam rumah. Hakikat ritual ini, menurut Andi Mahrus, sesungguhnya adalah memohon keselamatan kepada Allah SWT dengan cara menggunakan jasa pembaca doa. Umumnya, pembaca doa adalah seorang imam atau tetua kampung yang diyakini bagus agamanya untuk memanjatkan doa-doa keluarga.

"Nilai-nilai religius yang terkandung di balik ritual massiara kuburuq dan massuro baca tersebut terletak pada niat masing-masing pelakunya. Dan niat seseorang, hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Karena itu, mari kita berprasangka baik dan berusaha menghindari tuduhan-tuduhan bid'ah, musyrik, atau pengikut syaitan terhadap saudara muslim yang melakukan ritual budaya-Islami seperti itu," pesan Andi Mahrus.

Baca Juga: Tahukah Anda? Inilah asal usul nama beberapa desa dan kelurahan di Bulukumba

Literatur 

Mencoba memahami tradisi massuro baca sebagai akulturasi budaya yang terlihat jelas dalam kehidupan suku Bugis dan Makassar, bisa kita telusuri dalam berbagai literatur yang komprehensif.

Buku "Capita Selecta: Kebudayaan Sulawesi Selatan" yang ditulis oleh By A. Zainal Abidin Farid yang diterbitkan Social Politic Genius (SIGn) pada 2017 akan cukup membantu meluaskan cakrawala pandang kita ihwal tradisi dari era animisme hingga Islam di era modern ini.
 
 
Dengan membaca buku "Latoa: satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis" karya Prof. Mattulada yang diterbitkan Gadjah Mada University Press pada 1985, bisa memantik cakrawala pandang kita lebih dalam dan jauh dengan pendekatan antropologi dan sejarah.
 
 
Kita juga bisa mengarungi samudera pengetahuan tentang Bugis dalam  buku "The Bugis" yang ditulis Christian Pelras diterbitkan penerbit Wiley pada 1996.
 
Christian Pelras menguraikan betapa salah satu bangsa maritim Asia Tenggara yang paling mempesona dan pada mulanya paling tidak dikenal ini justru citra mereka dalam legenda dan fiksi modern adalah navigator yang berani, perompak yang ganas, dan pedagang budak yang kejam, tetapi sebagian besar sebenarnya adalah petani, penanam, dan nelayan. Meskipun mereka adalah orang-orang Islam, mereka memelihara peninggalan pra-Islam seperti pendeta dan dukun kafir waria. Bangsawan mereka yang penuh warna mengklaim sebagai keturunan dari dewa-dewa kuno, namun kekuatannya berasal dari konsensus sosial.

Buku ini adalah yang pertama menggambarkan sejarah Bugis. Mulai dari asal-usulnya 40.000 tahun yang lalu hingga saat ini dan memberikan gambaran lengkap tentang masyarakat Bugis kontemporer.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x