Aktor dan penyair Bulukumba Aspar Paturusi, setitik dari segelintir penakluk Ibu Kota                    

- 5 Mei 2022, 06:00 WIB
Aktor dan penyair Bulukumba Aspar Paturusi, setitik dari segelintir penakluk Ibu Kota                       
Aktor dan penyair Bulukumba Aspar Paturusi, setitik dari segelintir penakluk Ibu Kota                     /Dok. Aspar Paturusi

Sejumlah naskah dramanya dan ia sutradarai sendiri antara lain Samindara yang dipentaskandi TIM tahun 1982, Perahu Nuh II pentas di TIM tahun 1985 dan Festival Istiqlal tahun 1995, serta Jihadunnafsi yang dipentaskan di Makassar tahun 1986 dan TIM tahun 1991.

Ia adalah setitik dari segelintir seniman daerah yang dengan penuh percaya diri tampil sepanggung dengan sejumlah nama besar dari pentas teater nasional. Ia bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C Noer. Bersama Teater Saja-nya Ikranegara, ia bermain di Taipei di tahun 1984, Singapura dan Malaysia di tahun 1985.

Selain bermain teater dan menulis novel humanisme ia juga sukses menulis puisi. Karya buku antologinya “Apa Kuasa Hujan” berisi 134 judul puisi yang ia tulis sejak tahun 1971 sampai tahun 2002. Ia lama menunggu untuk bisa menerbitkan kumpulan karyanya “Apa Kuasa Hujan” sebagai buku, walau begitu, ia malah menikmatinya, “Tak ada yang cuma-cuma, tak ada yang instan. Semua membutuhkan proses dan waktunya bisa sangat panjang,” kata seniman yang pernah menjadi pengasuh siaran sastra di RRI Makassar ini.

Dua buah buku kumpulan puisi Aspar Paturusi: Badik, Puisi Untukmu (Garis Warna Indonesia: 2011) dan Secangkir Harapan (Kosa Kata Kita: 2012) yang kesemuanya dibubuhi kata pengantar yang mendalam oleh Maman S. Mahayana, menegaskan sebentuk jalan dan pilihan yang telah ditempuh oleh sang penyair.

Kata pengantar yang panjang dari kedua buku ini, Maman S. Mahayana hendak mendendangkan sebuah petak untuk menunjukkan kamar sastra seorang Aspar Paturusi. Ia mengemukakan resonansi pembacaannya terhadap puisi yang kesemuanya dalam kedua antologi ini pernah disiarkan Aspar Paturusi di akun facebook pribadinya.

Dikatakan kalau puisi Aspar Paturusi hendak mengatakan sesuatu langsung pada apa yang ingin dikatakan. Karena realitas itu sudah ada. Sehingga, tak perlu menulis ‘begini’  jika ingin mengatakan ‘begitu’ .

Peristiwa itu boleh jadi apa yang dialami oleh sang penyair secara langsung  maupun yang sedang ia dengar, amati, dan diikuti perkembangannya (resonansi). Kedua dasar inilah yang mendasari Aspar Paturusi menjejali proses lahirnya sebuah puisi. Simak saja salah satu puisinya, “Tukang Koran”:

 

TUKANG KORAN

pagi sekali kabar-kabar terbaring

Halaman:

Editor: Nurfathana S


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah