Di balik manisnya nira Bulukumba: Jejak di kebun aren Desa Bonto Haru Rilau Ale

5 Juni 2024, 18:32 WIB
Di balik manisnya nira Bulukumba: Jejak di kebun aren Desa Bonto Haru Rilau Ale /WartaBulukumba.Com

WartaBulukumba.Com - Hujan merintik menyapa Selasa sore, 5 Juni 2024. Namun, udara di Kabupaten Bulukumba terasa lebih segar dari biasanya. Ismail Tismin, pendamping lapangan Dana Mitra Tani (DMT) Bulukumba, memulai perjalanan dari Sekretariat DMT.

Bersama tim Sejagat Community Chronicle, mereka menaiki motor tiga roda, meliuk melalui jalanan sempit yang terbentang di kawasan DAS Balangtieng. Terlihat di antara mereka sosok Sri Puswandi, Ketua DMT.

Mereka bergerak dalam agenda mendokumentasikan kehidupan para penyadap aren di Desa Bonto Haru dan menyusuri kebun aren yang masih terpelihara di Desa Karama. 

Baca Juga: Geliat petani aren dan Dana Mitra Tani Bulukumba merengkuh DAS Balangtieng dalam gerakan hijau dan koperasi

Ketua Dana Mitra Tani (DMT) Bulukumba, Sri Puswandi dan pendamping lapangan DMT, Ismail Tismin bersama tim Sejagat Community Chronicle./WartaBulukumba.Com

Kebun-kebun aren di Desa Bonto Haru adalah surga tersembunyi. Pepohonan tinggi menjulang, daunnya bergerak lembut diterpa angin sore. Suara gemericik air mengalir dari sungai kecil di kejauhan menambah kesan syahdu.

Di bawah naungan alam ini, petani-petani aren bersiap untuk menyadap. Salah satu yang dikunjungi adalah kebun aren milik seorang petani bernama Kamaruddin.

"Sudah lama saya bersama aren ini. Pohon ini sudah seperti saudara," ujar Kamaruddin sambil menunjukkan salah satu pohon aren yang telah disadap.

Baca Juga: Jejak manis petani gula aren dan Dana Mitra Tani Bulukumba: Menyalakan tungku kesadaran ekologis dan koperasi

Dengan tangkas, seorang petani penyadap memanjat pohon setinggi lebih dari 12 meter, hanya dengan bantuan tangga kayu yang dirakit seadanya namun terlihat kokoh.

Proses penyadapan nira aren terlihat sederhana, namun memerlukan keahlian dan ketelitian yang tinggi. Dengan parang di tangan, petani itu membuat sayatan halus pada bagian pohon yang telah siap mengeluarkan nektar.

“Ini harus hati-hati, kalau terlalu dalam, bunganya bisa rusak,” tutur Kamaruddin.

Nira yang berhasil disadap kemudian ditampung dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu, dipasang di bawah sayatan.

Baca Juga: Harmoni hijau dan manis di DAS Balangtieng: Kisah Dana Mitra Tani dan petani gula aren di Bulukumba

Lebih dari sekadar tradisi menyadap nira

Menurut Ismail Tismin, penyadapan aren tidak hanya sekedar mencari nira.

“Ini soal tradisi dan keberlanjutan, aren ini memberi kehidupan bagi banyak keluarga di sini. Selain itu, keberadaannya juga penting untuk menjaga keseimbangan ekologi di kawasan ini,” tuturnya.

Ketika nira sudah berhasil dikumpulkan, proses selanjutnya adalah mengolah nira menjadi gula aren, yang merupakan sumber pendapatan utama bagi kebanyakan petani di sini.

Prosesnya dilakukan di sebuah pondok kecil di tepi kebun. Di dalamnya, terdapat dua buah tungku besar dengan panci raksasa di atasnya. Nira yang telah dikumpulkan dituang dan dimasak selama beberapa jam.

“Memasak nira ini butuh kesabaran. Harus terus diaduk agar tidak hangus dan kualitas gula yang dihasilkan bisa bagus,” jelas Sri Puswandi saat ikut mengaduk nira di atas tungku.

Asap yang mengepul membawa aroma manis yang khas, menyebar ke seluruh area pondok.

Proses pembuatan gula aren di desa ini tidak hanya menarik perhatian lokal, tetapi juga dari berbagai penjuru.

Penghasilan dari penjualan gula aren sangat fluktuatif dan sangat tergantung pada cuaca serta kondisi pasar.

“Kadang kami bisa mendapat hasil yang baik, tapi ada kalanya, hujan terus-menerus membuat kami tidak bisa menyadap. Itu yang paling kami khawatirkan,” ungkap Kamaruddin.

Dalam menghadapi tantangan ini, komunitas di Desa Bonto Haru tidak berdiam diri. Mereka mulai belajar diversifikasi produk. 

Kebun aren Desa Bonto Haru adalah cerminan dari kehidupan di mana setiap tetes nira tidak hanya menceritakan tentang rasa  manis namun juga tentang ketahanan, keberlanjutan, dan harapan.

Sebuah harmoni antara manusia dan alam yang terjalin lewat setiap sayatan di pohon aren dan setiap butir gula aren yang diproses. Layaknya nira yang mengalir, ini adalah tradisi yang terus bertahan menghadapi zaman.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler