WartaBulukumba.Com - Gelombang polemik sontak mengalir deras di ruang publik dan diskursus di seputar hukum dan konstitusi. Bermula dari sebuah statement Presiden Jokowi yang menyebutkan bahwa "presiden boleh berkampanye dan berpihak dalam Pemilu 2024".
Meruyak pertanyaan sekaligus kebingungan di seputar etika politik dan netralitas yang harus ditunjukkan seorang pemimpin negara.
Dalam lanskap politik Indonesia yang dinamis, pernyataan terbaru Presiden Joko Widodo, yang menyetujui kampanye dan dukungan terbuka oleh presiden dan menteri untuk calon presiden dan wakil presiden, telah memicu debat panas.
Jokowi dianggap mengabaikan pasal-pasal yang relevan
Sebuah tanggapan dilontarkan Ahsanul Minan, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).
Dia menguraikan, pernyataan Jokowi mencerminkan kekurangcermatan dalam memahami UU Pemilu. Ia mengacu pada Pasal 281 ayat (1) yang memungkinkan pejabat negara berkampanye dengan syarat tertentu, namun Jokowi dianggap mengabaikan pasal-pasal lain yang relevan.
"Dengan hanya merujuk pasal 281 maka presiden sebenarnya tidak mematuhi UU Pemilu itu sendiri karena tidak mempertimbangkan pasal pasal 282 No 7 tahun 2017 dan 283 ayat 1 dan 2," kata Minan, dikutip dari laman NU Online pada Rabu, 24 Januari 2024.
Baca Juga: Isu pemakzulan Jokowi, Stafsus Presiden sebut hal wajar
Minan menyoroti Pasal 282 ayat 7 dan 283 ayat 1 dan 2, yang mengatur larangan berpihak bagi pejabat negara secara umum. Kedua pasal ini, menurut Minan, tidak dipertimbangkan oleh Jokowi dalam pernyataannya, menunjukkan adanya kesalahan interpretasi atau pengabaian terhadap aspek hukum yang penting.