Pancasila sebagai hikmah ada dalam Al Quran

- 9 Mei 2022, 12:06 WIB
Lambang Negara, Garuda Pancasila
Lambang Negara, Garuda Pancasila /BPIP

WartaBulukumba - Pancasila sebagai hikmah ada dalam Al Quran secara implisit.

"Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah." (QS Yunus ayat 1)

Ayat itu sangat compatible dengan Sila ke 4 Pancasila, 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".

Baca Juga: Hari Lahir Pancasila 1 Juni atau 18 Agustus?

Dalam sebuah wawancara cukup panjang dengan seorang praktisi hukum, Ali Wardi SH, tersibak beberapa butir pemikiran yang menarik terkait Pancasila dan Hikmah.

"Negeri ini menuju kehancuran, keruntuhan dan sejatinya masih dalam keterjajahan akibat  membodohi diri dengan mengikuti pola Penjajah, ialah Demokrasi," kata Ali Wardi dalam sebuah bincang-bincang dengan WartaBulukumba.com beberapa waktu lalu.

Ketua Bidang Politik dan Pemerintahan DPP Masyumi ini menjelaskan bahwa NKRI tidaklah pernah ada bila bukan Umat Islam yang menjadi tiang sekaligus benteng pengamannya.

"Umat Islam, meski dengan polemik dan kontroversi yang panjang, adalah entitas utama eksistensi Negara ini. Sekali lagi, tidak akan pernah ada Indonesia ini tanpa kerelaan dan pengorbanan begitu besar umat Islam," kata Ali Wardi.

Baca Juga: Pancasila sudah ada di Bulukumba ribuan tahun silam dalam tradisi demokrasi Ammatoa Kajang

Lalu Ali Wardi menguraikan secara luas alasan dari pernyataan itu.

Yang membuat umat Islam tetap mendukung dan bertahan sedemikian lama dalam ranah Indonesia ini adalah harapan. Ia ada dalam Pancasila, Piagam sekaligus dasar berdirinya negeri ini.

Harapan itu adalah Pancasila, sebuah dunia cita dalam pandangan dan visi para ulama pendiri negeri yang teramat luas ini.

Baca Juga: Dasar Negara Pancasila dan Islam dalam pemikiran Mohammad Natsir

Bukan Pancasila sembarangan, yang ditafsirkan secara liar oleh oknum tertentu dengan alat  politik dan kekuasaan. Pancasila yang terpola oleh residu peradaban kolonial, yang secara “semena-mena” ditunggangi kaum Nasionalis sekuler. Mereka yang diuntungkan oleh irama gendang sehingga sejak awal selalu dominan di tampuk kekuasaan.

Nasionalis sekuler sebenarnya hanya kaum minoritas yang sudah ter/didesain dan di di/terfasilitasi oleh sistem peninggalan yang harusnya sistem itu dibuang ke laut bersamaan perginya bangsa kolonial.

Mereka sesungguhnya adalah agen-agen peninggalan penjajah, agen peradaban barat yang berasal dari anak-anak negeri yang terpapar ideologi penjajah. Residu-residu yang “gagal” dimurnikan seiring moment kemerdekaan bangsa ini.

Bangsa ini selalu kalah dan terpecah belah oleh permainan politik tidak fair akibat mengikuti pola dan sistem peninggalan penjajah. Sesuatu yang menjadi benalu dan penyakit bangsa ini. Kita sejak lama menari diatas irama gendang mereka.

Harapan yang tenggelam oleh berjuta narasi yang diproduksi dalam berbagai bentuk, sekali lagi oleh pola yang sama dari “irama gendang” tadi.

Ketika menghayati dinamika sejarah dengan berbekal khasanah batin dan akal seorang muslim, jika menukikkan pandang kepada piagam tadi maka dengan jernih dan utuh kita bisa melihat harapan itu. Ia masih ada dan masih di tempatnya semula. Ialah Pantjasila itoe, belahan yang sesungguhnya masih sangat bernilai dari landasan induknya, Piagam Djakarta.

Dari kalimat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan Kebijaksanaan” maka terdapat aspek pemahaman yang selama ini dibaikan atau dengan ungkapan lain  terpendam dari orde ke orde, dari penguasa demi penguasa yang bercokol di negeri ini.

"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.". Terjemahan Surah Al-Baqarah 151

Dalam sila ke empat Pancasila itu maka  Kepemimpinan bangsa ini bukanlah dimaksudkan dan diserahkan begitu saja kepada orang banyak sebagaimana pola demokrasi yang sangat tidak beradab. Kepemimpinan yang dipilih orang banyak  dengan menunjuk seseorang yang mewakilinya. One man one vote. Ini sama sekali bukan pola dan bukan identitas peradaban Nusantara kita.

Dalam sistem model begini secara empiris sudah terbukti seekor kucing bahkan Anjing pun dapat menjadi pemimpin. Terdengar seperti lelucon namun inilah faktanya, apalagi manusia dungu yang berbekal rekayasa popularitas yang disponsori secara masif dan kolosal pula.

Kembali ke Pancasila, pada kalimat sila ke empat yang dijiwai sila pertama maka penekanannya adalah pada kepemimpinan yang bijaksana dan berhikmat kepada Tuhannya, Allah Subhana wata'ala. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dengan permusyawaratan perwakilan yang senantiasa mengacu dan dipandu oleh Allah, ketuhanan yang maha esa.

Kerakyatan yang dipimpin oleh mereka yang terpimpin oleh hikmat kebijaksanaan, inilah peradaban Nusantara itu. Mereka adalah para Ulama, para tokoh adat yang dituakan, tokoh golongan dan orang-orang yang ditunjuk dengan pola musyawarah dan mufakat dalam arti yang sebenarnya dan sudah menjadi tradisi mendarah daging dalam tubuh bangsa ini. 

Ialah mesin peradaban Nusantara, yang terbentuk dan sudah tumbuh abadi di negeri ini. Kepemimpinan yang terbentuk, tumbuh dan berkembang sedemikian rupa secara alamiah dalam rahim peradaban Nusantara.

Kepemimpinan inilah yang dimaksudkan, tersirat secara tegas dalam Pancasila. Orang-orang pilihan yang diutus mewakili rakyat awam untuk bertugas mengurus rakyat. Masyarakat yang sudah berabad-abad lamanya memiliki kultur dan struktur yang sudah demikian teratur.

Pancasila menjadi penghimpun suku-suku bangsa yang senasib di Nusantara untuk mengikat dalam sebuah Janji Suci berupa wadah Persatuan Indonesia yang majemuk.

Wakil-wakil yang terseleksi secara beradab itu, yang terpilih secara hikmat dan bijaksana inilah yang mengisi lembaga dewan dan majelis kepemimpinan negri ini. Mereka yang terpilih dan diharapkan mengendalikan bahtera Indonesia. Pola asli Nusantara inilah yang terpaku kokoh dalam sila ke empat itu namun terpendam hanya dalam batas harapan saja.

Kepada Wakil-Wakil yang diutus oleh komunitas kultural dan agamis nan berhikmat bijaksana itulah mestinya kepemimpinan bangsa ini diserahkan. Merekalah ahlinya. Merekalah nantinya memilih salah satu diantara mereka menjadi pucuk pimpinan.

Dalam batang tubuh UUD 45 kepemimpinan  memang sudah terlanjur dirumuskan berbentuk Republik dan Presiden yang dipilih secara periodik. Ini bisa dan harus diamandemen.

Kepemimpinan dalam Pancasila adalah bil hikmah, wicaksono, bukan orang yang ditunjuk oleh orang kebanyakan tapi dipilih oleh sistem masyarakat nusantara.

Pemangku hikmah dan kebijaksanaan itu bisa juga berupa kepemimpinan yang turun temurun dari garis darah dan trah yang baik dan unggul. Mereka adalah hasil seleksi alam dalam wujud sultan-sultan atau kepala suku/ kampung secara turun-temurun. Mereka sudah teruji dan terseleksi oleh peradaban.

Kita sudah terlalu lama terpola oleh prosesi pemilihan yang seragam dan periodik ala Demokrasi yang MUNAFIK, PENUH DUSTA, MAKAN WAKTU, MAKAN BIAYA TAK TERKIRA. Mustahil kita dapat menyelesaikan masalah bangsa dengan masalah pula. Ialah demokrasi itoe. Faktor utama bangsa ini terus tergadai dan berhutang. Tidak akan pernah merdeka dalam makna sebenarnya. Budak konspirasi kapitalis selamanya. Seriap saat butuh biaya untuk peneyelenggaraan sesuatu yang sesat dan sia-sia.

Ironisnya prosesi itu juga “melumat” moralitas bangsa seperti dimakan rayap yang sangat ganas. Prosesi yang meluluh lantakkan budi pekerti, akhlak bangsa yang sudah sangat indah dan berperadaban tinggi.

Sila ke empat  itu adalah maha karya ulama,  intelektual muslim yang sebenarnya. Mereka menyisipkan dan menitipkan kepada generasi penerus untuk mengarungi bahtera hidup bangsa ini dengan nilai-nilai dan senantiasa mewarnai penerapannya dengan panduan kitab hikmah, Al Quran dan Sunnah RasulNya.

Seluruh muslim sesungguhnya sadar bahwa meninggalkan panduan kepemimpinan bil-hikmah dan kebijaksanaan adalah pangkal bencana demi bencana yang terus menerus  dialami umat islam. Bagai si bisu bermimpi, teringat dan terpikirkan namun terkatakan tidak. Terhipnotis, terkesima oleh “irama gendang” peradaban durjana. Sampai kapan ?

Urusan maha penting menyangkut hajat hidup orang banyak dan kemaslahatan yang mestinya “tertuntun” kok diserahkan ke tangan orang awam kebanyakan. Orang-orang yang tidak tertuntun dan berkali-kali direndahkan oleh Allah dalam firman-firmannya. Mereka yang tidak disukai Allah, manusia-manusia  yang seharusnya dituntun oleh Penuntun. Untuk merekalah, orang kebanyakan itu, Allah mengutus para Nabi dan RasulNya yang kini diwarisi para ulama.

Demokrasi itu artinya menyerahkan segala urusan kepada orang banyak, suara terbanyak suara tuhan kata konsep kafir laknatullah itu..  Inilah sebabnya negeri ini tidak akan pernah mengalami rahmat dan keberkahan yang sesungguhnya.

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”

(Al An ‘am 116)

Kekuasaan demokrasi adalah suara terbanyak, siapapun, setiap orang punya satu hak. Tiada beda suara maling , koruptor, manusia bejad dengan seorang ulama, orang tua dan anak baru aqil baligh. Sama. One man one vote. Hitam putih negri diserahkan pada orang banyak. Ini menentang Allah

Demokrasi sangat rentan oleh propaganda dan pengaruh luar dan eiforia-euforia, trend, pasar, dan hal-hal sensitif yang mempengaruhi publik awam. Mereka dibawah kendali setan yang bersekutu dengan para musuh-musuh Allah lainnya, zionis hamba Dajjal.

Demokrasi sesungguhnya bencana bagi orang alim, arif bijaksana, ahli hikmah, cerdik cendekia yang dimuliakan dan punya tempat istimewa dalam Pancasila.

Para pemimpin yang sudah terseleksi sedemikian rupa oleh tatanan yang sudah tumbuh matang secara alami dan sangat manusiawi seiring dengan usia bangsa ini. Sistem yang sangat teruji berupa masyarakat adat, kerajaan, kesultanan, kekerabatan dan kesukuan. 

Mereka para pemimpin yang lolos seleksi alami yang menghiasi “taman-taman peradaban”, mereka adalah  tetua dan kepala suku, kepala kampung, sultan-sultan, amir-amirat, Kepala Mukim, Wali Nagari, pemuka-pemuka masyarakat yang adalah  mahkota-mahkota dan kehormatan peradaban Nusantara. Tapi dipaksa dihinakan dan menghinakan diri dengan sistem Demokrasi.

Para pemangku Hikmat dan kebijaksanaan inilah yang semestinya memimpin rakyat dengan sistem keterwakilan yang “proposional”. Merekalah yang berhak dan paling layak mewakili unsur unsur yang ada di segenap tubuh bangsa ini.

Merekalah yang bermusyawarah dan bermufakat secara rutin dan berkala dalam sebuah MAJELIS AGUNG yang bernama MPR DPR, yang memilih pemimpin diantara kalangan mereka untuk menjadi pucuk pimpinan untuk “ dipertuan agung” secara berkala demi memenuhi proporsionalitas, keadilan, pemerataan dan keseimbangan Nusantara ini.

Mereka juga menyusun arah pembangunan dan pengelolaan bangsa. Mereka menyusun perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang dengan hukum dan sistem yang Allah ridhai. Inilah Peradaban besar itu.

Rakyat tidak disibukkan dengan politik rendahan. Kehidupan akan secara konstan dapat mengarahkan dan mengerahkan segenap potensinya, perhatian dan kekuatan demi meraih kualitas hidup dalam kedamaian. 

Dengan pola dan sistem ini manusia Indonesia akan jadi unggul dan produktif dengan sendirinya. Manusia akan terdidik oleh mesin peradaban yang sehat dan unggul. Bangsa kaya raya yang mandiri dan merdeka dalam makna yang sesungguhnya.

Dalam makna ini maka, terpenuhilah makna Khilafah fil ardhi sebagai mana yang dikehendaki oleh Sang Khalik. Negeri ini tetap bernama Indonesia dengan Pancasilanya yang luar biasa, maha karya para pendiri negeri ini. Pancasila yang kini dilecehkan dan hendak diarak ke ideologi rendahan ciptaan manusia.

"Pancasila bukan ideologi, ia adalah piagam yang berisi kesepakatan dan kesepahaman yang bermuatan kalimat-kalimat yang menjadi sandaran untuk hidup bersama. Kata-kata sakti yang bersandar kepada langit," tandas Ali Wardi.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x