Kanem mengatakan bahwa jika pemerintah hanya berfokus pada angka, mereka berisiko menerapkan kontrol populasi yang telah ditunjukkan oleh sejarah sebagai "tidak efektif dan bahkan berbahaya".
“Dari kampanye sterilisasi paksa hingga pembatasan keluarga berencana dan kontrasepsi, kami masih memperhitungkan dampak jangka panjang dari kebijakan yang dimaksudkan untuk membalikkan, atau dalam beberapa kasus untuk mempercepat, pertumbuhan penduduk,” bebernya.
Baca Juga: 66 bocah Gambia tewas usai minum obat batuk sirup, penjelasan WHO sangat mengejutkan
Sebagai akibat dari penurunan angka kelahiran, laju pertumbuhan penduduk di seluruh dunia, yang mencapai puncak tercatat hanya di atas 2% per tahun pada akhir 1960-an, kini telah turun di bawah 1%.
Namun, gambaran global lebih bervariasi dari sebelumnya. PBB memperkirakan bahwa sekitar 60% orang tinggal di negara-negara dengan tingkat kesuburan di bawah tingkat penggantian yang diakui (ketika suatu populasi secara tepat menggantikan dirinya dari satu generasi ke generasi berikutnya) dari rata-rata 2,1 kelahiran untuk setiap wanita.
Di ujung lain spektrum, hanya delapan negara, termasuk Nigeria, Ethiopia, dan Filipina, yang diperkirakan menyumbang setengah dari semua pertumbuhan penduduk pada tahun 2050. Salah satu negara itu, India, diperkirakan akan melewati China mulai tahun depan dan menjadi negara terpadat di dunia.***