WartaBulukumba.Com - Di pelukan lembah, DAS Balangtieng merebahkan diri, sebuah mozaik alam Bulukumba yang menghampar luas. Dengan topografi alam yang khas, di mana bukit-bukit berdiri gagah, menjadi penjaga abadi atas rahasia yang terpendam dalam lipatan tanahnya.
Bukit-bukit tersebut, berbalut hijau daun yang rimbun, merangkai kontur tanah yang berombak lembut, seakan menyapa langit. Di antara lekuk-lekuk bukit, lembah-lembah terukir, membentang seperti alur cerita yang tak pernah selesai diceritakan. Lembah ini, dalam keheningannya, menyimpan kisah-kisah tanpa suara, yang hanya bisa didengar oleh mereka yang mau mendengarkan bisikan alam.
Sungai Balangtieng, urat nadi yang memberi kehidupan, mengalir tenang melalui lembah, mengukir jalannya sendiri dalam kanvas alam yang luas. Airnya yang jernih bagai kristal, berkilauan di bawah sinar matahari, mengalir dengan ritme yang tenang namun pasti, menghidupi segala yang tersentuh olehnya. Sungai ini bukan sekadar aliran air; ia adalah pencerita yang tak pernah lelah, membawa kisah dari hulu hingga hilir.
DAS Balangtieng berada di empat kabupaten di Sulsel
Hutan yang lebat mengelilingi DAS Balangtieng, menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna, sebuah kerajaan hijau yang menyimpan keanekaragaman biologis. Di sini, setiap pohon, setiap daun, memiliki cerita untuk diceritakan, berbisik tentang zaman-zaman yang telah dilewati, tentang angin, hujan, dan matahari yang telah mereka saksikan.
Di malam hari, DAS Balangtieng berubah menjadi dunia lain. Langit bertabur bintang, berkilauan seperti permata. Suara hewan malam bergema, menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Udara dingin menyelimuti lembah, membawa ketenangan dan kedamaian yang hanya bisa ditemukan di tempat ini.
DAS Balangtieng bukan hanya sekumpulan bukit, sungai, dan lembah; ia adalah cerminan dari kehidupan itu sendiri, tempat di mana alam dan manusia bertemu, berbagi cerita, dan menjalani hidup bersama dalam harmoni yang sempurna.
Di tengah gemercik DAS Balangtieng, saat langit mulai menangis melalui rintik hujan, para penjaga nektar bumi, petani gula aren, bergegas melindungi perapian sederhana mereka dari pelukan tak kenal ampun hujan. Di sini, atap-atap pondok tungku berdesir, berbincang dengan tetes hujan, menyusun simfoni alam yang mendalam.