LCS memicu produk lo­kal harus bersaing langsung de­ngan produk China

- 8 September 2021, 23:00 WIB
Ilustrasi bendera China
Ilustrasi bendera China /NDTV.COM
 
WartaBulukumba - Para pelaku usaha dalam negeri akan menghadapi kondisi kompetitif yang kian keras.
 
Sementara itu kebijakan skema pembayaran local currency settlement (LCS) dipandang oleh sebagian pengusaha sebagai alternatif untuk mengurangi kebergantungan dan dominasi mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
 
Di sisi lain, skema pembayaran LCS akan membuat persaingan antara produk lokal dengan produk China semakin ketat.
 
 
Akademisi Unpad Yayan Satyakti me­ngungkapkan analisanya bahwa ada kekhawatiran kemungkinan produk ekspor Indonesia yang dijual kembali ke Indonesia oleh Tiongkok de­ngan nilai tambah yang lebih baik akan merugikan Indonesia dari sisi penciptaan nilai tambah.
 
Ia membeberkan komposisi ekspor Indonesia-China terdiri atas sumber daya alam tidak terbarukan dan tidak memiliki nilai tambah signifikan.
 
Komoditas ekspor dominan Indonesia ke China pada 2019, yakni batubara dan sejenisnya sebesar 29,63 persen, minyak kelapa sawit sebesar 13,03 persen, disusul besi dan baja 11,08 persen, dan bijih besi dan debu hasil smelter 8,3 persen, dan pulp wood 7,2 persen.
 
 
Pada 2020, ekspor Indo­nesia ke China didominasi besi dan baja 23,70 persen, minyak dan gas 22,16 persen, minyak kelapa sawit 11,23 persen, pulp wood 6,4 persen, dan bijih besi, debu hasil smelter 4,59 persen.
 
”Karena yang kita jual ba­rang mentah, jika seperti itu akan negatif dari sisi penggu­na­an SDA tidak efisien,” kata­nya.
 
Yayan menilai upaya LCS tidak semata terkait dengan kepentingan ekonomi tetap sarat dengan hubungan secara geopolitik.
 
 
Melalui kebijakan tersebut pembengkak­an nilai proyek dan perbeda­an nilai tukar yang disebab­kan perekonmian AS bisa d­i­tekan. Sehingga ia mene­kan­kan Indonesia harus berhati-hati.
 
”Dengan sistem LCS secara teori akan menolong, mengurangi ketergantungan terhadap dolar, dan memiliki bargaining po­wer. Dengan dolar sangat tergantung de­ngan kinerja perekonomian AS. Sementara kita juga mengetahui AS de­ngan Tiongkok sedang perang sehingga mitra dagangnya dicoba digeser ke yuan,” kata­nya.
 
Dengan demikian, kata Yayan, melalui kebijakan ter­sebut, Indonesia harus memperoleh manfaat dengan menghitung betul manfaat yang diperoleh jika menggu­na­kan atau tidak mengguna­kan dolar AS.
 
 
Sederet pertanyaan besar muncul. Salah satunya adalah ba­gai­mana dengan kesiapan sistem perbankan Indonesia.
 
”Sejauhmana masyarakat menggunakan yuan jika dila­ku­kan mendadak, maka bisa jadi demand yuan meningkat signifikan, bagaimana stok yuan, siapkah? Jika tidak si­ap, bisa kena double, baik yu­an maupun dolar AS. Kha­wa­tir kita mengalami demand of yuan lebih banyak ka­rena kebijakan ini ketika ada shortage of supply karena aliran yuan tidak bagus malah jadi­nya bermasalah,” katanya.
 
 
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, mengatakan bahwa nilai tukar dolar AS bisa ber­fluktuasi dengan cukup besar, berbeda dengan mata uang RMB yang nilainya dipatok.
 
 
 
”Seperti yang kita ketahui, nilai tukar dolar AS bisa ber­fluktuasi dengan cukup besar, berbeda dengan mata uang RMB yang nilainya dipatok,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, Rabu 8 September 2021.
 
Ning Wahyu menilai, dengan skema pembayaran LCS, harga barang-barang impor dari China akan lebih stabil, baik untuk bahan baku maupun produk jadi.
 
Spekulasi akan semakin kecil dan kestabilan harga bisa terpantau untuk jangka panjang.
 
”Pengusaha juga bisa mengurangi biaya konversi dikarenakan hanya cukup satu kali melakukan konversi mata uang,” ujarnya.
 
 
Harga bahan baku dan produk jadi dari China juga akan lebih murah.
 
Hal ini juga akan memberikan keuntungan bagi pengusaha yang menggunakan bahan baku asal China dan pedagang yang menjual produk jadi dari China.
 
”Pada dasarnya, kebijakan ini akan menguntungkan kedua negara. Bagi pengusaha China, kebijakan ini ­juga akan bisa menekan biaya pertukaran mata uang,” ­tuturnya.
 
Dengan demikian, para peng­usaha di China dapat me­nu­runkan harga jual produk­nya. Ini tentu akan semakin meningkatkan daya saing pro­duk mereka di pasar Indo­nesia.
 
 
Ia juga tak menafikan bahwa pembayaran LCS bisa menimbulkan masalah baru bagi Indonesia. Lantaran sejumlah produk lo­kal bersaing langsung de­ngan produk China.
  
”Ekspor dan impor ke dan dari negara-negara lain masih banyak yang menggunakan dolar AS ataupun mata uang lain. Namun demikian, hal ini merupakan langkah awal yang sangat baik dan diperlukan untuk stabilisasi ekonomi yang lebih baik,” tutur Ning.
 

Editor: Muhlis

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x