WartaBulukumba - Para pelaku usaha dalam negeri akan menghadapi kondisi kompetitif yang kian keras.
Sementara itu kebijakan skema pembayaran local currency settlement (LCS) dipandang oleh sebagian pengusaha sebagai alternatif untuk mengurangi kebergantungan dan dominasi mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
Di sisi lain, skema pembayaran LCS akan membuat persaingan antara produk lokal dengan produk China semakin ketat.
Akademisi Unpad Yayan Satyakti mengungkapkan analisanya bahwa ada kekhawatiran kemungkinan produk ekspor Indonesia yang dijual kembali ke Indonesia oleh Tiongkok dengan nilai tambah yang lebih baik akan merugikan Indonesia dari sisi penciptaan nilai tambah.
Ia membeberkan komposisi ekspor Indonesia-China terdiri atas sumber daya alam tidak terbarukan dan tidak memiliki nilai tambah signifikan.
Komoditas ekspor dominan Indonesia ke China pada 2019, yakni batubara dan sejenisnya sebesar 29,63 persen, minyak kelapa sawit sebesar 13,03 persen, disusul besi dan baja 11,08 persen, dan bijih besi dan debu hasil smelter 8,3 persen, dan pulp wood 7,2 persen.
Baca Juga: Animasi Blues Clues sudah berusia 25 tahun
Pada 2020, ekspor Indonesia ke China didominasi besi dan baja 23,70 persen, minyak dan gas 22,16 persen, minyak kelapa sawit 11,23 persen, pulp wood 6,4 persen, dan bijih besi, debu hasil smelter 4,59 persen.
”Karena yang kita jual barang mentah, jika seperti itu akan negatif dari sisi penggunaan SDA tidak efisien,” katanya.
Yayan menilai upaya LCS tidak semata terkait dengan kepentingan ekonomi tetap sarat dengan hubungan secara geopolitik.
Melalui kebijakan tersebut pembengkakan nilai proyek dan perbedaan nilai tukar yang disebabkan perekonmian AS bisa ditekan. Sehingga ia menekankan Indonesia harus berhati-hati.
”Dengan sistem LCS secara teori akan menolong, mengurangi ketergantungan terhadap dolar, dan memiliki bargaining power. Dengan dolar sangat tergantung dengan kinerja perekonomian AS. Sementara kita juga mengetahui AS dengan Tiongkok sedang perang sehingga mitra dagangnya dicoba digeser ke yuan,” katanya.
Dengan demikian, kata Yayan, melalui kebijakan tersebut, Indonesia harus memperoleh manfaat dengan menghitung betul manfaat yang diperoleh jika menggunakan atau tidak menggunakan dolar AS.
Sederet pertanyaan besar muncul. Salah satunya adalah bagaimana dengan kesiapan sistem perbankan Indonesia.
”Sejauhmana masyarakat menggunakan yuan jika dilakukan mendadak, maka bisa jadi demand yuan meningkat signifikan, bagaimana stok yuan, siapkah? Jika tidak siap, bisa kena double, baik yuan maupun dolar AS. Khawatir kita mengalami demand of yuan lebih banyak karena kebijakan ini ketika ada shortage of supply karena aliran yuan tidak bagus malah jadinya bermasalah,” katanya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, mengatakan bahwa nilai tukar dolar AS bisa berfluktuasi dengan cukup besar, berbeda dengan mata uang RMB yang nilainya dipatok.
”Seperti yang kita ketahui, nilai tukar dolar AS bisa berfluktuasi dengan cukup besar, berbeda dengan mata uang RMB yang nilainya dipatok,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, Rabu 8 September 2021.
Ning Wahyu menilai, dengan skema pembayaran LCS, harga barang-barang impor dari China akan lebih stabil, baik untuk bahan baku maupun produk jadi.
Spekulasi akan semakin kecil dan kestabilan harga bisa terpantau untuk jangka panjang.
”Pengusaha juga bisa mengurangi biaya konversi dikarenakan hanya cukup satu kali melakukan konversi mata uang,” ujarnya.
Harga bahan baku dan produk jadi dari China juga akan lebih murah.
Hal ini juga akan memberikan keuntungan bagi pengusaha yang menggunakan bahan baku asal China dan pedagang yang menjual produk jadi dari China.
”Pada dasarnya, kebijakan ini akan menguntungkan kedua negara. Bagi pengusaha China, kebijakan ini juga akan bisa menekan biaya pertukaran mata uang,” tuturnya.
Dengan demikian, para pengusaha di China dapat menurunkan harga jual produknya. Ini tentu akan semakin meningkatkan daya saing produk mereka di pasar Indonesia.
Ia juga tak menafikan bahwa pembayaran LCS bisa menimbulkan masalah baru bagi Indonesia. Lantaran sejumlah produk lokal bersaing langsung dengan produk China.
”Ekspor dan impor ke dan dari negara-negara lain masih banyak yang menggunakan dolar AS ataupun mata uang lain. Namun demikian, hal ini merupakan langkah awal yang sangat baik dan diperlukan untuk stabilisasi ekonomi yang lebih baik,” tutur Ning.
Disclaimer: artikel ini telah tayang sebelumnya di Pikiran-rakyat.com berjudul "LCS Rupiah dan Yuan Bisa Bikin Persaingan Produk Lokal dengan Produk China Kian Ketat".***