Melihat Bulukumba dari Desa Bajiminasa: Para perempuan penjaga tradisi dan pejuang ekonomi keluarga

10 Juni 2024, 18:29 WIB
Melihat Bulukumba dari Desa Bajiminasa: Para perempuan penjaga tradisi dan pejuang ekonomi keluarga /WartaBulukumba.Com

WartaBulukumba.Com - Ketika malam melabuhkan sayapnya di atas Desa Bajiminasa, suasana desa di kawasan DAS Balangtieng Kabutaen Bulukumba, Sulawesi Selatan ini berubah menjadi tenang dan khidmat. Sedikit cahaya rembulan yang temaram menelusup melalui celah-celah dedaunan, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah berumput.

Di tengah ketenangan malam itu, terdengar suara-suara lembut dari sebuah rumah sederhana. Suara tersebut berasal dari pertemuan Dana Mitra Tani (DMT), yang kali ini mengundang para petani perempuan penghasil gula aren untuk berkumpul.

Seperti malam-malam sebelumnya, para petani perempuan datang dengan wajah-wajah yang lelah namun tetap ceria.

Baca Juga: Harmoni kolaborasi di DAS Balangtieng Bulukumba: April hingga Juni bersama Beranda Komunitas

Mereka telah menghabiskan siang hari dengan bekerja keras di sawah dan kebun mereka, menyiapkan air nira dari pohon aren yang tinggi menjulang.

Di dalam rumah mereka duduk melingkar, memulai pertemuan dengan tawa dan kelakar hangat.

“Pertemuan ini adalah momen kami untuk berbagi cerita dan pengetahuan,” ujar Ida, seorang petani perempuan yang telah lama bergelut dengan dunia gula aren.

“Setiap kali kami berkumpul, ada rasa kebersamaan yang kuat, seakan kami adalah satu keluarga besar.”

Baca Juga: Sinergi di DAS Balangtieng Bulukumba: Dana Mitra Tani dan penguatan petani aren dengan proker Juni 2024

Kisah Manis dari Dapur Kecil

pertemuan Dana Mitra Tani (DMT), yang kali ini mengundang para petani perempuan penghasil gula aren untuk berkumpul./WartaBulukumba.Com

Di balik manisnya gula aren yang dihasilkan para petani, terdapat proses panjang yang melibatkan banyak tangan dan hati.

Para perempuan ini bukan sekadar bekerja; mereka menghidupkan kembali tradisi yang telah ada sejak lama, memberikan sentuhan pribadi dalam setiap tahapan produksi. Dari memasak air nira di tungku hingga mengolahnya menjadi gula merah, setiap langkah penuh dengan ketelitian dan cinta.

"Mereka memulai hari dengan memanjat pohon aren untuk mengambil nira,” tutur Sri Puswandi, yang akrab disapa Wandi kepada WaraBulukumba.Com pada Senin, 10 Juni 2024.

Baca Juga: Pohon langka di Bulukumba ini tumbuh di Desa Orogading: Sahabat petani aren dari masa ke masa

“Proses ini tidak mudah, tetapi kami melakukannya dengan hati yang riang, karena kami tahu hasilnya akan membawa kebahagiaan bagi keluarga kami.”

Wandi menjelaskan, para petani perempuan sangat antusias terlibat dalam setiap tahapan produksi. Mereka tidak hanya memasak dan mengolah, tetapi juga memasarkan gula aren dan mengelola keuangan rumah tangga. Dalam pertemuan itu, mereka membahas standar kualitas produk, berbagi tips dan trik dalam proses produksi, serta merencanakan pembentukan koperasi yang akan membantu mereka mengelola usaha secara lebih profesional.

“Kami berdiskusi tentang cara meningkatkan kualitas gula merah yang kami produksi,” tambah Ida.

“Kami ingin memastikan bahwa produk kami tidak hanya enak, tetapi juga berkualitas tinggi dan aman untuk dikonsumsi.”

Gula Aren dan Kue Tradisional: Simbol Cinta dan Kebersamaan

Kuw tradisional roko’-roko’ lame/Dok. DMT

Pertemuan di malam hari itu tidak hanya diisi dengan diskusi serius, tetapi juga dengan rasa manis dari kue-kue tradisional yang dibawa oleh para petani perempuan.

Salah satu kue yang menjadi favorit adalah roko’-roko’ lame, kue tradisional yang terbuat dari ubi kayu, gula aren, kelapa, dan dibungkus dengan daun pisang. Kue ini bukan hanya enak, tetapi juga merupakan simbol dari kekayaan budaya dan kehangatan keluarga.

“Membuat kue ini adalah bagian dari tradisi kami, setiap kali ada pertemuan seperti ini, kami selalu membawa kue untuk berbagi. Rasanya manis dan lembut, sama seperti hubungan kami dengan satu sama lain," jelas Ida sambil tersenyum.

Aroma kue yang harum memenuhi ruangan, menyebar bersama tawa dan cerita yang mengalir tanpa henti. Para petani perempuan saling berbagi resep dan pengalaman, menceritakan bagaimana mereka pertama kali belajar membuat kue dari ibu dan nenek mereka. Bagi mereka, membuat kue tradisional bukan hanya soal memasak, tetapi juga tentang menjaga tradisi dan mempererat ikatan keluarga.

“Kue ini bukan hanya makanan, tetapi juga warisan budaya yang harus kami lestarikan,” kata Wandi.

Gotong Royong: Menghidupkan Api Semangat Bersama

Diskusi malam itu diakhiri dengan keputusan untuk bergotong royong membersihkan dan menata kawasan tungku masak air nira aren. Bagi para petani perempuan ini, gotong royong adalah bentuk nyata dari kebersamaan dan solidaritas.

Mereka percaya bahwa dengan bekerja bersama, mereka dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

“Kami selalu bekerja sama, baik dalam mengolah gula aren maupun dalam membersihkan lingkungan,” ujar Ida dengan penuh semangat. “Gotong royong adalah cara kami menunjukkan rasa cinta dan perhatian terhadap sesama.”

Di bawah sinar rembulan yang terus memancar, Desa Bajiminasa tetap terjaga dengan cerita-cerita manis dari para perempuan yang tak kenal lelah menjaga tradisi dan masa depan mereka. Dengan setiap butir gula aren yang mereka hasilkan, mereka tidak hanya menciptakan rasa manis, tetapi juga menanamkan harapan untuk masa depan yang lebih cerah.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler