Fantastis! Segini harga sebuah kapal Pinisi Bulukumba yang banyak dipesan bule-bule luar negeri

15 Maret 2024, 19:03 WIB
Sebuah perahu Pinisi yang sedang dalam proses pembuatan. /Tangkapan layar Instagram.com/@ionacarina

WartaBulukumba - Di tepian jingga senja, di bawah langit biru timur Bulukumba, palu para "panritalopi" (pengrajin perahu) mengukir takdir dalam balutan angin laut. Di desa nelayan yang merindu, para pengrajin perahu seolah menari dengan kayu, mengikuti irama gelombang sebagai rahasia alam.

Ombak sesekali datang menciumi pasir, menyanyikan lagu cinta pada tiap potongan kayu yang mereka olah. Perlahan namun pasti, ritme waktu turut mencipta sebuah perahu Pinisi yang kini sudah mewujud dan tidak lama lagi akan mengarungi samudera.

Palu berdentang di antara bilah-bilah papan dan balok kayu, begitulah pemandangan sehari-hari di Desa Ara Tanah Beru, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Baca Juga: Warisan Budaya Dunia dari Bulukumba: Mengapa diberikan nama kapal Pinisi?

Warisan Budaya Dunia Tak Benda

Selain Pinisi, yang sebagian besar dipesan oleh bule-bule kaya dari luar negeri untuk digunakan sebagai kapal pesiar, masyarakat di desa ini juga banyak membuat perahu kargo, penongkol, dan gae.

Perahu Pinisi menemukan momentumnya secara global saat ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh UNESCO pada tahun 2017 lalu. 

Pengakuan atas Pinisi sebagai warisan dunia ditetapkan melalui persidangan oleh Badan PBB untuk Bidang Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan (INESCO) dalam sidang ke-12 Komite Warisan Budaya tak Benda di Pulau Jeju, Korea Selatan, pada Kamis 7 Desember 2017.

Baca Juga: Mengenal ritual adat 'Andingingi' yang selalu mengawali Festival Pinisi Bulukumba

Pembuatan Secara Tradisional

Sampai saat ini, para pengrajin tetap mempertahankan cara pembuatan perahu Pinisi secara tradisional. Tidak ada gambar ataupun kepustakaan lainnya dalam cara pembuatannya. Para pengrajin hanya mengandalkan ilmu yang diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun.

Perahu layar tradisional khas Bulukumba ini memiliki ciri khas berupa dua tiang utama serta tujuh buah layar. Tiga layar berada di bagian depan, dua di bagian tengah, dan dua di bagian belakang.

Pada zaman dahulu Pinisi digunakan untuk berdagang. Di era modern Pinisi digunakan sebagai perahu wisata. Di atas kapal  Pinisi banyak dijadikan sebagai restoran mewah.

Baca Juga: Melacak asal usul Pinisi Bulukumba yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia

Berapa harga sebuah kapal Pinisi?

Di Desa Ara ada banyak pengusaha pengrajin Pinisi. Para tenaga pengrajin sangat kompeten, dan merupakan asli masyarakat setempat.

Soal harga, perahu Pinisi memiliki nilai jual yang fantastis, tergantung dari ukurannya. Untuk kapal pesiar dan kapal wisata, harga sebuah kapal Pinisi berkisar antara 5 hingga Rp15 miliar lebih.

Harga ini sepadan dengan kualitasnya sebab bahan-bahan baku perahu Pinisi dibuat dari kayu kualitas super. Para pengrajin menggunakan kayu besi dan kayu berkualitas bagus.

Dalam pembuatan perahu Pinisi, atau perahu lainnya, bisa memakan waktu hingga 8 bulan lamanya. Bahkan bertahun jika ukurannya lebih besar.

Kapal kargo biasanya digunakan untuk pengangkut barang, sedangkan penongkol dan gae untuk nelayan manangkap ikan. Waktu pengerjaan juga ditentukan dari ketersediaan bahan, pasalnya dirinya sendiri tidak menggunakan kayu berkualitas rendah.

Proses Pembuatan Pinisi

Secara umum, ada tiga tahap dalam proses pembuatan perahu Pinisi dengan cara tradisional.

Pertama adalah penentuan hari baik dalam pencarian kayu fondasi. Kayu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan perahu bisa berasal dari empat jenis kayu, yaitu kayu besi, kayu bitti, kayu kandole dan kayu jati.

Selanjutnya, kayu yang hendak digunakan akan dipotong dan dikeringkan terlebih dahulu sebelum akhirnya dirakit. Perakitannya dengan memasang lunas, papan, mendempulnya, dan memasang tiang layar.

Dalam proses perakitan juga terdapat hal yang unik, yaitu saat pemotongan lunas harus menghadap timur laut. Proses pemotongan kayu harus dilakukan dengan gergaji tanpa henti. Pemotongan kayu memerlukan tenaga seseorang yang cukup kuat. 

Ritual Peluncuran Pinisi ke Laut

Setelah proses perakitan yang berlangsung hingga berbulan-bulan, tahapan terakhir dari pembuatan perahu pinisi adalah peluncuran perahu ke lautan.

Pada tahapan ini, terdapat sebuah upacara atau ritual khusus yang dinamakan dengan upacara maccera lopi (menyucikan perahu). Upacara ini dilakukan dengan prosesi pemotongan hewan.

Apabila bobot perahu kurang dari 100 ton maka hewan yang dikorbankan adalah seekor kambing, sedangkan jika lebih dari 100 ton hewan yang dikorbankan adalah seekor sapi.

Sejarah Perahu Pinisi

Sejauh ini belum ada catatan sejarah yang menyimpulkan sejak kapan Perahu Pinisi mulai ada.

Namun dari wikayah literatur legenda, tertuang dalam naskah Lontarak Babad I La Lagaligo, perahu Pinisi sudah ada sejak abad ke-14 M.

Pada naskah tersebut, diceritakan perahu ini pertama kali dibuat oleh putra mahkota Kerajaan Luwu yang bernama Sawerigading. Sawerigading membuat perahu pinisi dari pohon welengreng yang dikenal kuat dan kokoh.

Perahu ini dibuat oleh Sawerigading untuk melakukan perjalanan menuju Tiongkok. Ia berminat mempersunting seorang putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Setelah sekian lama ia menikahi We Cudai dan menetap di Tiongkok, Sawerigading ingin pulang ke kampung halamannya. 

Singkat cerita ia pun menaiki perahu buatannya untuk kembali ke Luwu. Namun, ketika berada di dekat Pantai Luwu perahu Sawerigading menghantam ombak hingga terpecah.

Pecahan-pecahan perahu Sawerigading terdampar ke tiga tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba, yaitu di Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Pecahan-pecahan perahu ini kemudian disatukan kembali oleh masyarakat menjadi sebuah perahu megah yang dinamakan dengan Pinisi.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler