Network
WartaBulukumba - Tradisi gotong royong menanam padi di Sulawesi Selatan pernah begitu marak. Setiap musim tanam tiba selalu ada bubur beras ketan hitam sebagai menu wajib yang terhidang di pematang.
Pelaksanaannya kini sudah tergerus jaman. Padahal sejatinya tradisi itu beranjak dari semangat dan praktik gotong royong warga kampung. Pun berbalut rasa terima kasih kepada Sang Maha Pencipta yang telah menyuburkan tanaman hingga menghasilkan panen berlimpah.
Pegiat seni di Bulukumba, Ichdar Yeneng Al Farabi, dedengkot Sanggar Seni Al Farabi, menuturkan bahwa "mappaolli" hanya tersisa teks meskipun hingga kini masih terus membekas di ingatannya.
"Sedari kecil saya akrab dengan teks ini, lingkungan di kampung halaman dulu sangat akrab dengan teks ini. Mappaolli, sebiah tradisi yang telah lama menghilang," tuturnya kepada Bulukumba.Pikiran-rakyat.Com, Kamis 5 November 2020.
Pada kenangan masa kecilnya, Ichdar menemukan dirinya sedang menikmati suasana mappaolli di kampungnya. Puluhan orang datang dari berbagai penjuru untuk membantu menanam padi dengan suka rela.
Di bawah bendera KJ PRO, Sanggar Seni Al Farabi akan mementaskan mappaolli dalam bentuk seni pertunjukan pada "Festival Pinggir Sawah". Perhelatan itu akan mencoba menghadirkan kembali tradisi mappaolli di jaman modern. Perhelatan seni itu juga akan berisi gemulai pertunjukan tari, denting musik akustik, sajian kuliner, dan permainan tradisional.
Baca Juga: Betapa Pentingnya Branding di Media
Festival Pinggir Sawah rencananya akan digeber pada tanggal 16-17 Desember 2020 di Dusun Masagena, Desa Tanah Harapan, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba.
"Setidaknya bisa merangsang memori masyarakat bahwasanya ada sesuatu yang hilang dalam tradisi pertanian kita yakni budaya gotong royong yang menjadi esensi dari tradisi mappaolli ini," harap Ichdar.***
