Buhung Labbua di Bontotiro Bulukumba: Mata air abadi dari tongkat Dato ri Tiro

- 5 Mei 2023, 15:59 WIB
Buhung Labbua atau Permandian Hila Hila di Kecamatan Bontotiro Kabupaten Bulukumba, Sulsel.
Buhung Labbua atau Permandian Hila Hila di Kecamatan Bontotiro Kabupaten Bulukumba, Sulsel. /Darma

WartaBulukumba - Ke Timur Bulukumba di Jumat pagi, ada sinar matahari menghangatkan permukaan air kolam yang jernih. Mengalir dari mata air abadi, Buhung Labbua adalah lebih dari sekadar permandian biasa, lantaran dari sini semburat sejarah penyebaran Islam pertama kali memancar di daerah ini pada abad ke 16.

Terdengar suara riuh rendah orang-orang yang mandi, menyelam dan berenang dengan riang. Sebagian hanya terlihat duduk di area pinggir kolam, menikmati suasana yang menenangkan. Di antara para pengunjung ada yang datang dari luar Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Terdengar dari dialek mereka saat bercakap-cakap.

Saat mata menengadah ke atas, di arah utara akan terlihat bebukit karang menjulang tinggi. Ada segaris awan putih lembut menempel di langit.  Warna alam semakin memukau. Menemui panorama indah di timur Bulukumba ini adalah juga serupa pertemuan dengan keajaiban.

Baca Juga: Menengok cahaya Islam pertama kali berpendar di Bulukumba melalui masjid tertua di selatan Sulsel

Air yang mengaliri kolam permandian Hila Hila atau Buhung Labbua adalah sebuah mata air yang tak pernah kering meskipun musim kemarau datang menyapa.

Mata Air Abadi yang Berasal dari Tongkat Dato ri Tiro

Menurut catatan sejarah - sebagian kalangan mengkategorikannya sebagai legenda dari tradisi cerita rakyat Bulukumba - mata air Buhung Labbua berasal dari tongkat ulama besar penyebar agama Islam pertama kali di Bulukumba masa silam, yaitu Dato ri Tiro.

Dato ri Tiro atau Datuk Tiro adalah pemilik nama asli Abdul Jawad Khatib Bungsu atau Al Maulana Khatib Bungsu yang datang menyeberangi lautan dari Minangkabau, Sumatera Barat.

Baca Juga: Telusur Cahaya Islam sejak abad 17 dari masjid tertua di Bulukumba, Masjid Nurul Hilal Dato ri Tiro

Dato ri Tiro bersama dua orang kawannya yaitu Dato Patimang atau Khatib Sulaeman dan Dato ri Bandang atau Abdul Makmur.

Dato Patimang menyiarkan agama Islam di kerajaan Luwu dan Dato ri Bandang menyiarkan agama Islam di Kerajaan Gowa dan Tallo. Sedangkan Dato Tiro menyiarkan agama Islam di daerah Bulukumba dan sekitarnya.

Nama Dato ri Tiro kini diabadikan  di Masjid Islamic Center Dato Tiro di Kabupaten Bulukumba.

Baca Juga: Menelusuri sejarah awal masuknya Islam ke Bulukumba, ketika tasawuf bertemu mistisisme

Dato ri Tiro membangun Masjid Nurul Hilal di Bontotiro pada tahun 1605 Masehi.

 

Sebuah sumur panjang m engelilingi masjid dengan panjang sekitar 100 meter.

Suatu hari Dato ri Tiro ingin melaksanakan shalat namun tidak menemukan air suci untuk berwudhu.

Baca Juga: Masuknya Islam di Sinjai, menyibak peran penting Dato ri Tiro

Seketika Dato ri Tiro menancapkan tongkatnya ke tanah yang kemudian membentuk garis sehingga keluarlah mata air dari dalam tanah. Air menyembur dengan sangat deras hingga membentuk sungai yang kemudian dikenal saat ini dengan Buhung Labbua yang berarti 'sumur panjang'.

Masjid ini telah mengalami lima kali renovasi yakni renovasi pertama kali dilakukan pada tahun 1625, sedangkan renovasi terakhir kali dilakukan pada tahun 1998.

Sejak berdirinya mesjid ini bernama Mesjid Hila-Hila. Pada tahun 1997 namanya diganti menjadi Masjid Nurul Hilal Dato Tiro.

 

Baca Juga: Empat tempat wisata yang sangat menakjubkan ini ada di sebuah desa di Kabupaten Bulukumba

Makam Dato ri Tiro

Makam Dato ri Tiro selalu ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai penjuru Nusantara.

Makam Dato ri Tiro menempati lahan seluas 695 m2, berorientasi utara-selatan, berukuran panjang 2,90 m dan lebar 2 m.

Nisannya terbuat dari kayu raja dengan ornamen hias tumpal. Bentuk asli makam ini berupa batu kali yang belum dipahat, disusun membentuk segi empat panjang, memiliki cungkup dan dipagar menggunakan bambu yang telah dianyam. 

Kompleks Makam Dato ri Tiro ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan surat keputusan Nomor: PM.59/PW.007/ MKP/2010, tanggal 22 Juni 2010, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir. Jero Wacik, S.E.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x