WartaBulukumba - Sekali waktu di sebuah desa di utara Bulukumba. Aroma harum menghiasi udara. Di bawah sinar matahari yang lembut, seorang perempuan lanjut usia dengan tubuh yang terlihat masih kuat dan wajah yang hangat cerah, duduk di depan pammuttu tanah, sejenis wajan yang terbuat dari tanah liat. Tumpukan kayu bakar menyala di perapian yang juga terbuat dari tanah liat mengepulkan asap, menyatu dengan alam.
Perlahan, dia mengayuh wajan dengan lembut, membiarkan biji kopi berputar dalam tarian rahasia di atas api. Detik demi detik berlalu, dan kegelapan biji kopi berubah menjadi cokelat keemasan yang menggoda. Aroma kopi yang merebak semakin intens, mengisi udara di sekitar halaman TBM Rumah Nalar di Desa Anrang, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Seperti seorang penari yang mahir, perempuan itu, Puang Hasiming, menguasai seni menyangrai kopi secara tradisional dengan keahliannya yang tak tergoyahkan. Setiap detik adalah tanda-tanda cita rasa yang akan terungkap.
Dalam sekejap, kesabaran dan keahliannya membuahkan hasil. Kopi yang telah disangrai dengan penuh cinta dan keahlian dituangkan ke dalam wadah. Cita rasa yang unik dan khas dari kopi yang disangrai secara tradisional di desa ini, menjadi warisan yang tak ternilai.
Saat gelas pertama terisi dengan kopi itu, suasana desa seakan menyatu dengan aroma harum yang menguar. Sepotong kisah budaya dan kehidupan bersembunyi dalam setiap tegukan. Kehangatan kopi membelai lidah, mengantar kenikmatan yang tiada tara.
Dalam senyuman perempuan lanjut usia itu, tergambar kebahagiaan yang tak terucapkan. Kopi yang disangrai dengan penuh cinta dan keahlian, menjadi simbol kehidupan yang terus bersemi di desa mereka.