Mengulik Doel dan karya-karya seniman Bulukumba ini dalam pameran tunggal di Yogyakarta

- 12 November 2022, 10:00 WIB
'Sombala'na Lino', salah satu karya seni kriya logam seniman Bulukumba, Andi Muhammad Fadlullah Akbar.
'Sombala'na Lino', salah satu karya seni kriya logam seniman Bulukumba, Andi Muhammad Fadlullah Akbar. /Dok. Andi Muhammad Fadlullah Akbar

WartaBulukumba - Joning Art Space di Yogyakarta telah menjadi ruang penyaksi 'pelayaran' Pinisi dari Bulukumba selama delapan hari.

Seorang seniman muda Bulukumba, perupa yang bersemangat dalam berkarya, telah melarungnya di sana dalam bentuk 15 karya seni kriya logam.

Jauh sebelum pameran tunggal itu, Andi Muhammad Fadlullah Akbar yang akrab disapa Doel telah mengantarkan sendiri sepucuk surat kepada Bupati Bulukumba Andi Muchtar Ali Yusuf yang saat itu diterima oleh Humas Pemkab Bulukumba, Andi Ayatullah Ahmad.

Baca Juga: Pemerhati budaya Sulawesi Selatan di Yogyakarta: 'Pemda Bulukumba perlu mengapresiasi karya-karya Dul'

Inti surat itu adalah mengundang secara khusus Bupati Bulukumba Andi Muchtar Ali Yusuf untuk datang ke pameran tunggal Doel di Yogyakarta.

Sayangnya, saat dibuka pada 5 November lalu orang nomor satu dari Kabupaten Bulukumba tidak sempat hadir di sana.

Andi Ayatullah Ahmad yang dikonfirmasi menjelaskan bahwa Bupati Bulukumba menyampaikan permohonan maaf bahwa dia tidak bisa hadir dalam pembukaan pameran tunggal tersebut karena sedang sibuk terkait persiapan pembahasan RAPBD 2023 dan sejumlah agenda lainnya.

"Kendati demikian, Bupati Bulukumba tetap berencana di kesempatan lain akan mengunjungi Doel dan mahasiswa Bulukumba lainnya di Yogyakarta," terang Andi Ayatullah Ahmad pada Sabtu, 12 November 2022.

Baca Juga: Sebelum pulang ke Bulukumba seniman-seniman Al Farabi Squad dijamu khusus oleh Bupati Pacitan

Padahal karya seni adalah  anak  yang  lahir  dari  penciptanya, sebagaimana diungkapkan seorang seniman dan budayawan asal Bulukumba, Arif Rahman Daeng Rate, yang menorehkan sebongkah narasi di prolog katalog lukisan kriya logam karya  Doel.

Arif Rahman Daeng Rate pun menuliskan bahwa ibarat wanita yang melahirkan seorang  anak, maka tentu yang lahir tersebut adalah hal yang dirawat sejak lama dan dirawat seterusnya.

Lantas dia mengutip salah satu pandangan Zainal Beta, pelukis  tanah  liat dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Baca Juga: Pameran tunggal seniman muda Bulukumba pukau pengunjung di Joning Art Space Yogyakarta

"Gagasan tentang penciptaan seni nyatanya memang serupa  melahirkan anak, melahirkan peradaban," ungkapnya dalam narasi prolog tersebut, sebagaimana dikutip WartaBulukumba.com pada Sabtu.

Siapakah Andi Muhammad Fadlullah Akbar alias Doel?

Kabupaten Kepulauan Selayar adalah tempat dia dilahirkan pada 6 Agustus 1999 silam.

Doel kemudian tumbuh dan besar di Kabupaten Bulukumba. Pada tahun 2015 tepatnya saat Kelas 1 SMA dia putus sekolah.

Baca Juga: Dana minim, Al Farabi Bulukumba tetap berangkat wakili Indonesia Timur di Festival Ruwat Jagat Pacitan

Pada tahun 2017 ia mencoba mengikuti ujian persamaan Paket C dan berangkat ke Yogyakarta.

Di Kota Budaya itulah Doel melanjutkan pendidikan dan dapat diterima di Universitas Sarjanawiata Tamansiswa di Jurusan Pendidikan Seni Rupa hingga hari ini.

Pameran Tunggal Doel d Joning Art Space

Selama delapan hari di sana, di salah satu area paling hangat untuk menyesap resap karya seni di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Pinisi dilabuhkan oleh seniman Bulukumba ini.

Baca Juga: Pinisi, kriya logam dan seniman muda Bulukumba ini 'melayari' pameran tunggal di Joning Art Space Yogyakarta

Dul tercatat sebagai seniman seni rupa asal Bulukumba yang pertama kali menggelar pameran tunggal di Yogyakarta dengan mengusung tema kedaerahan dengan menggunakan media yang berbeda yakni logam.

Di hari keempat pameran tunggal itu, seorang pemerhati budaya Sulawesi Selatan menatap lekat berlama-lama pada karya-karya Dul.

Dia adalah Dosen Etnomusikologi ISI Yogyakartta, Amir Razak, S.Sn., M.Hum. Setelah menatap lekat berlama-lama satu persatu pada karya-karya Dul, sederet tanggapan pun meluncur darinya. 

Baca Juga: Mengulik sederet fakta mencengangkan di balik 4 karya seniman Bulukumba dalam pembukaan Porprov Sulsel

"Sebagai pemerhati budaya Sulawesi Selatan saya salut dengan pameran tunggal ini," ungkap Amir Razak di Yogyakarta melalui wawancara daring dengan WartaBulukumba.com pada Selasa.

Dia mengakui bahwa sumber karya dari budaya Sulawesi Selatan masih sangat jarang dilakukan perupa dari Sulsel.

"Pameran karya kriya logam dengan konsep, ide, dan sumber karya dari budaya lokal atau identitas masyarakat Sulsel, jarang dilakukan oleh perupa Sulsel," ujarnya.

Baca Juga: Puisi-puisi sketsa sosial penyair Bulukumba Mahrus Andis

Di matanya, Dul telah memulai sebuah 'pelayaran' yang sangat penting untuk mengangkat budaya atau identitas dari Bulukumba.

Ihwal harapan, akademisi yang juga seniman dan budayawan ini menitip sebuah pesan penting.

"Harapan saya, Pemerintah Bulukumba perlu mengapresiasi karya-karya Dul. Ini adalah aset putra daerah yang mampu mendesiminasi pembuatan perahu Pinisi yang sangat populer dari Bulukumba," tandasnya.

Baca Juga: Puisi empat penyair Bulukumba terpilih masuk antologi 'Wasiat Botinglangi' 100 penyair Indonesia

Karya-karya Doel di Mata Budayawan dan Seniman Arif Rahman Daeng Rate

"Di semesta yang maha luas ini, segala gagasan berkelindan mengisi segala ruang. Manusia bahkan disebut sebagai tiruan dari dunia gagasan itu sendiri. Agaknya  sulit  untuk  disangkal  bahwa  kecerdasan  manusia dalam  meniru menjadi  angin  segar  bagi  peradaban manusia yang terus berkembang," lontar budayawan ini dalam narasi prolog katalog pameran tunggal Doel.

"Seorang perupa  sedang memindahkan rekaman ingatan tentang kampung halamannya  tempat para pandai perahu memahat kayu menjadi tunggangan kokoh di  samudra luas. Pinisi pada dasarnya  adalah sebuah keutuhan yang  kompleks," ulasnya.

Pemusik tradisi ini pun menyatakan bahwa Pinisi bukan hanya  sebuah bidang dengan bentuk yang demikian rupanya. 

Pinisi bukan  hanya  susunan kayu  dengan  bentuk  tertentu  dan membentang layar di tiangnya lalu berlayar di laut lepas. Lebih dari itu, pinisi  adalah  khazanah  pengetahuan  masyarakat  pendukungnya. 

Di baliknya terdapat lelaku dan ritual panjang  untuk  mewujudkan tubuhnya, ada tekonologi pengolahan kayunya,  dan  sistem navigasi saat ia  berlayar. 

Lantas budayawan Bulukumba ini mengutip sebuah syair tua dari zaman lampau.

Panre  pattangara  pasombalakna  Bira

Pabassik  pasingkolonna  Ara

Pabbingkunna  Lemo-lemo

 

Ahli  layarnya  yang  terampil  dari  Bira

Ahli  navigasi  ulungnya  dari  Bira

Pandai  kayunya  yang  andal  dari  Lemo-lemo

Potongan syair itu, menurut Arif Rahman, menjelaskan keistimewaan Pinisi di mana ia  dibentuk  dari tiga kampung tua di pesisir  Bulukumba dengan  keterampilan mereka masing-masing. Pada  akhirnya Pinisi meski mungkin ia antara dikenal juga tak dikenal oleh masyarakatnya sendiri  terus bergerak dengan caranya sendiri.

"Di kepala Andi Muhammmad Fadhlullah Akbar ia bergerak dan menemukan bentuknya melalui karya seni rupa.  Tampaknya ia ingin  mengokohkan ingatan  tentang Pinisi pada seni rupa tersebut. Ini  adalah sebuah upaya tersendiri  membaca perubahan dan gerak  zaman. Di masa lalu Pinisi direkam dalam kisah lisan, pahatan relief, dan naskah-naskah tua. Zaman berkembang dan ia menemukan tubuh  Pinisi  timbul  perlahan pada seni rupa yang selama  ini diakrabinya," ungkapnya.

Laantas apa yang sebenarnya sedang disampaikan oleh Andi Muhammad Fadlullah Akbar pada karya-karyanya ini? 

Menurut Arif Rahman,  ada beberapa hal yang bisa diteropong dari pelayaran Pinisi pada karya berupa lempengan logam dan lukisannya tersebut.

"Konon manusia diberi kekuatan tapi kekuatan  dasar  tersebut  selalu  diyakini  berasal  dari  Sang  Pencipta.  Kekuatan-kekuatan  ini  yang  tampaknya  diserap  oleh  Fadlullah  sebagai  inspirasi  besar  dalam  beberapa  karyanya  yang  saling  silang,  bertautan  satu  sama  lain," tuturnya.

Hal-hal  yang  berkembang  di  balik  penciptaan  Pinisi  dianggap sebagai  akulturasi nilai-nilai Islam  dan kebudayaan  lokal. 

"Dalam contoh ini misalnya diyakini masyarakat pengrajin Pinisi bahwa dua tiang layar menyimbolkan  dua  kalimat  syahadat.  Sejatinya  Allah  SWT  dan  Nabi Muhammad SAW adalah sandaran dan pedoman bagi nakhoda pinisi. Oleh karenanya  ia  mesti  berpegang  teguh  pada  dua  sisi  ini.  Narasi  ini tergambar  pada  karya  Sombala'na  Lino,  layar  kemudi  sebagai  penunjuk arah  berkehidupan  di  petala  bumi  adalah  Allah  SWT  dan Nabinya," jelasnya.

Pinisi  selain  sebagai  produk  kebudayaan  yang  berbentuk  rupa,  juga adalah semesta  spiritual  dengan unsur kosmologi yang  kuat.

Penciptaan Pinisi  dimaknai sebagai sebuah proses layaknya manusia, dihamilkan;ditiupkan roh; dilahirkan; tumbuh kembang; mati. 

Setidaknya inilah yang tergambar pada karya Doel berjudul "Awal  Mula" dan  "Menua  dan  Hancur".

Tutuki  maklepa-lepa

Mabbiseang  rate  bonto

Tallangki  sallang

Kinasakkokalimbubbuk

 

Berhati-hatilah  berperahu

Mendayung  di  atas  tanah

Jangan  sampai  tenggelam

Tersedak  oleh  debu-debu

"Di syair tua ini kita diingatkan agar berhati-hati berperahu tapi mengapa di atas tanah? Mengapa pula tenggelam dan tersedak  debu? Tafsiran sederhananya adalah hidup ini tak lain adalah  pelayaran panjang. Kita dituntut menjadi pelaut ulung sebagaimana salah satu  karya Doel. Pelaut yang gagal akan tenggelam dan binasa oleh tipu daya dan gemerlap  dunia," urai Arif Rahman Daeng Rate.***

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x