Lima puisi WS Rendra, 'Puisi Surat Cinta' hingga 'Gumamku ya Allah'

- 19 April 2022, 06:00 WIB
WS Rendra
WS Rendra //* Mantra Sukabumi/Tangkapan Layar Instagram.com/ @fadjroelrachman

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa henti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?
Kita hanya menjadi alat birokrasi!

Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan –
menjadi benalu di dahan.

Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberikan pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.

Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?
Apakah ini? Apakah ini?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.

Mengapa harus kita terima hidup begini?
Seseorang berhak diberi ijasah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.

Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja?
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagai bendera-bendera upacara,
sementar hukum dikhianati berulang kali.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tata warna
yang ajaib dan tak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara.

Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakkan oleh angkatan kurang ajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.

Halaman:

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah