WartaBulukumba - Joning Art Space di Yogyakarta telah menjadi ruang penyaksi 'pelayaran' Pinisi dari Bulukumba selama delapan hari.
Seorang seniman muda Bulukumba, perupa yang bersemangat dalam berkarya, telah melarungnya di sana dalam bentuk 15 karya seni kriya logam.
Jauh sebelum pameran tunggal itu, Andi Muhammad Fadlullah Akbar yang akrab disapa Doel telah mengantarkan sendiri sepucuk surat kepada Bupati Bulukumba Andi Muchtar Ali Yusuf yang saat itu diterima oleh Humas Pemkab Bulukumba, Andi Ayatullah Ahmad.
Inti surat itu adalah mengundang secara khusus Bupati Bulukumba Andi Muchtar Ali Yusuf untuk datang ke pameran tunggal Doel di Yogyakarta.
Sayangnya, saat dibuka pada 5 November lalu orang nomor satu dari Kabupaten Bulukumba tidak sempat hadir di sana.
Andi Ayatullah Ahmad yang dikonfirmasi menjelaskan bahwa Bupati Bulukumba menyampaikan permohonan maaf bahwa dia tidak bisa hadir dalam pembukaan pameran tunggal tersebut karena sedang sibuk terkait persiapan pembahasan RAPBD 2023 dan sejumlah agenda lainnya.
"Kendati demikian, Bupati Bulukumba tetap berencana di kesempatan lain akan mengunjungi Doel dan mahasiswa Bulukumba lainnya di Yogyakarta," terang Andi Ayatullah Ahmad pada Sabtu, 12 November 2022.
Baca Juga: Sebelum pulang ke Bulukumba seniman-seniman Al Farabi Squad dijamu khusus oleh Bupati Pacitan
Padahal karya seni adalah anak yang lahir dari penciptanya, sebagaimana diungkapkan seorang seniman dan budayawan asal Bulukumba, Arif Rahman Daeng Rate, yang menorehkan sebongkah narasi di prolog katalog lukisan kriya logam karya Doel.
Arif Rahman Daeng Rate pun menuliskan bahwa ibarat wanita yang melahirkan seorang anak, maka tentu yang lahir tersebut adalah hal yang dirawat sejak lama dan dirawat seterusnya.
Lantas dia mengutip salah satu pandangan Zainal Beta, pelukis tanah liat dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Baca Juga: Pameran tunggal seniman muda Bulukumba pukau pengunjung di Joning Art Space Yogyakarta
"Gagasan tentang penciptaan seni nyatanya memang serupa melahirkan anak, melahirkan peradaban," ungkapnya dalam narasi prolog tersebut, sebagaimana dikutip WartaBulukumba.com pada Sabtu.
Siapakah Andi Muhammad Fadlullah Akbar alias Doel?
Kabupaten Kepulauan Selayar adalah tempat dia dilahirkan pada 6 Agustus 1999 silam.
Doel kemudian tumbuh dan besar di Kabupaten Bulukumba. Pada tahun 2015 tepatnya saat Kelas 1 SMA dia putus sekolah.
Pada tahun 2017 ia mencoba mengikuti ujian persamaan Paket C dan berangkat ke Yogyakarta.
Di Kota Budaya itulah Doel melanjutkan pendidikan dan dapat diterima di Universitas Sarjanawiata Tamansiswa di Jurusan Pendidikan Seni Rupa hingga hari ini.
Pameran Tunggal Doel d Joning Art Space
Selama delapan hari di sana, di salah satu area paling hangat untuk menyesap resap karya seni di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Pinisi dilabuhkan oleh seniman Bulukumba ini.
Dul tercatat sebagai seniman seni rupa asal Bulukumba yang pertama kali menggelar pameran tunggal di Yogyakarta dengan mengusung tema kedaerahan dengan menggunakan media yang berbeda yakni logam.
Di hari keempat pameran tunggal itu, seorang pemerhati budaya Sulawesi Selatan menatap lekat berlama-lama pada karya-karya Dul.
Dia adalah Dosen Etnomusikologi ISI Yogyakartta, Amir Razak, S.Sn., M.Hum. Setelah menatap lekat berlama-lama satu persatu pada karya-karya Dul, sederet tanggapan pun meluncur darinya.
"Sebagai pemerhati budaya Sulawesi Selatan saya salut dengan pameran tunggal ini," ungkap Amir Razak di Yogyakarta melalui wawancara daring dengan WartaBulukumba.com pada Selasa.
Dia mengakui bahwa sumber karya dari budaya Sulawesi Selatan masih sangat jarang dilakukan perupa dari Sulsel.
"Pameran karya kriya logam dengan konsep, ide, dan sumber karya dari budaya lokal atau identitas masyarakat Sulsel, jarang dilakukan oleh perupa Sulsel," ujarnya.
Baca Juga: Puisi-puisi sketsa sosial penyair Bulukumba Mahrus Andis
Di matanya, Dul telah memulai sebuah 'pelayaran' yang sangat penting untuk mengangkat budaya atau identitas dari Bulukumba.
Ihwal harapan, akademisi yang juga seniman dan budayawan ini menitip sebuah pesan penting.
"Harapan saya, Pemerintah Bulukumba perlu mengapresiasi karya-karya Dul. Ini adalah aset putra daerah yang mampu mendesiminasi pembuatan perahu Pinisi yang sangat populer dari Bulukumba," tandasnya.
Baca Juga: Puisi empat penyair Bulukumba terpilih masuk antologi 'Wasiat Botinglangi' 100 penyair Indonesia
Karya-karya Doel di Mata Budayawan dan Seniman Arif Rahman Daeng Rate
"Di semesta yang maha luas ini, segala gagasan berkelindan mengisi segala ruang. Manusia bahkan disebut sebagai tiruan dari dunia gagasan itu sendiri. Agaknya sulit untuk disangkal bahwa kecerdasan manusia dalam meniru menjadi angin segar bagi peradaban manusia yang terus berkembang," lontar budayawan ini dalam narasi prolog katalog pameran tunggal Doel.
"Seorang perupa sedang memindahkan rekaman ingatan tentang kampung halamannya tempat para pandai perahu memahat kayu menjadi tunggangan kokoh di samudra luas. Pinisi pada dasarnya adalah sebuah keutuhan yang kompleks," ulasnya.
Pemusik tradisi ini pun menyatakan bahwa Pinisi bukan hanya sebuah bidang dengan bentuk yang demikian rupanya.
Pinisi bukan hanya susunan kayu dengan bentuk tertentu dan membentang layar di tiangnya lalu berlayar di laut lepas. Lebih dari itu, pinisi adalah khazanah pengetahuan masyarakat pendukungnya.
Di baliknya terdapat lelaku dan ritual panjang untuk mewujudkan tubuhnya, ada tekonologi pengolahan kayunya, dan sistem navigasi saat ia berlayar.
Lantas budayawan Bulukumba ini mengutip sebuah syair tua dari zaman lampau.
Panre pattangara pasombalakna Bira
Pabassik pasingkolonna Ara
Pabbingkunna Lemo-lemo
Ahli layarnya yang terampil dari Bira
Ahli navigasi ulungnya dari Bira
Pandai kayunya yang andal dari Lemo-lemo
Potongan syair itu, menurut Arif Rahman, menjelaskan keistimewaan Pinisi di mana ia dibentuk dari tiga kampung tua di pesisir Bulukumba dengan keterampilan mereka masing-masing. Pada akhirnya Pinisi meski mungkin ia antara dikenal juga tak dikenal oleh masyarakatnya sendiri terus bergerak dengan caranya sendiri.
"Di kepala Andi Muhammmad Fadhlullah Akbar ia bergerak dan menemukan bentuknya melalui karya seni rupa. Tampaknya ia ingin mengokohkan ingatan tentang Pinisi pada seni rupa tersebut. Ini adalah sebuah upaya tersendiri membaca perubahan dan gerak zaman. Di masa lalu Pinisi direkam dalam kisah lisan, pahatan relief, dan naskah-naskah tua. Zaman berkembang dan ia menemukan tubuh Pinisi timbul perlahan pada seni rupa yang selama ini diakrabinya," ungkapnya.
Laantas apa yang sebenarnya sedang disampaikan oleh Andi Muhammad Fadlullah Akbar pada karya-karyanya ini?
Menurut Arif Rahman, ada beberapa hal yang bisa diteropong dari pelayaran Pinisi pada karya berupa lempengan logam dan lukisannya tersebut.
"Konon manusia diberi kekuatan tapi kekuatan dasar tersebut selalu diyakini berasal dari Sang Pencipta. Kekuatan-kekuatan ini yang tampaknya diserap oleh Fadlullah sebagai inspirasi besar dalam beberapa karyanya yang saling silang, bertautan satu sama lain," tuturnya.
Hal-hal yang berkembang di balik penciptaan Pinisi dianggap sebagai akulturasi nilai-nilai Islam dan kebudayaan lokal.
"Dalam contoh ini misalnya diyakini masyarakat pengrajin Pinisi bahwa dua tiang layar menyimbolkan dua kalimat syahadat. Sejatinya Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah sandaran dan pedoman bagi nakhoda pinisi. Oleh karenanya ia mesti berpegang teguh pada dua sisi ini. Narasi ini tergambar pada karya Sombala'na Lino, layar kemudi sebagai penunjuk arah berkehidupan di petala bumi adalah Allah SWT dan Nabinya," jelasnya.
Pinisi selain sebagai produk kebudayaan yang berbentuk rupa, juga adalah semesta spiritual dengan unsur kosmologi yang kuat.
Penciptaan Pinisi dimaknai sebagai sebuah proses layaknya manusia, dihamilkan;ditiupkan roh; dilahirkan; tumbuh kembang; mati.
Setidaknya inilah yang tergambar pada karya Doel berjudul "Awal Mula" dan "Menua dan Hancur".
Tutuki maklepa-lepa
Mabbiseang rate bonto
Tallangki sallang
Kinasakkokalimbubbuk
Berhati-hatilah berperahu
Mendayung di atas tanah
Jangan sampai tenggelam
Tersedak oleh debu-debu
"Di syair tua ini kita diingatkan agar berhati-hati berperahu tapi mengapa di atas tanah? Mengapa pula tenggelam dan tersedak debu? Tafsiran sederhananya adalah hidup ini tak lain adalah pelayaran panjang. Kita dituntut menjadi pelaut ulung sebagaimana salah satu karya Doel. Pelaut yang gagal akan tenggelam dan binasa oleh tipu daya dan gemerlap dunia," urai Arif Rahman Daeng Rate.***